The Truth Untold

2.6K 320 58
                                    



Park Jimin baru saja selesai meeting dengan rekan bisnisnya. Saat ini ia tengah duduk di sebuah kedai kopi bersama dengan Kim Namjoon, salah seorang manager senior perusahaannya. Kedai kopi itu terletak di Pusat Kota Tokyo. Malam ini terasa agak melelahkan dengan deretan meeting yang panjang. Hingga dua lelaki itu memutuskan mampir sebentar untuk menyegarkan kepalanya dengan asupan kafein.

Ucapan Namjoon sejak tadi tidak begitu Park Jimin dengarkan sebab ia tengah fokus pada ponselnya. Sedari tadi ia membuat panggilan videocall pada Kang Seulgi namun sudah kesekian kali belum juga di angkat. Park Jimin rindu wajah Kang Seulgi dan anak laki-lakinya yang begitu menggemaskan. Biasanya tak pernah terlewatkan barang semalam pun untuk sekedar video call jika Park Jimin sedang keluar kota atau keluar Negeri. Dan rasanya bagi Park Jimin sungguh aneh jika sehari saja ia tidak melihat dua kesayangannya itu. iya, Jangan tanya Park Jimin apakah sudah sayang dengan Kang Seulgi atau belum. Sekarang saja rasanya ia ingin cepat pulang untuk segera bertemu dengan mereka.

"Kenapa?" Tanya Namjoon, Park Jimin yang sedang menatap ponselnya fokusnya terpecah.

"Video call ku tidak di angkat?"

"Mungkin sedang tidak bisa mengangkatnya? Atau sedang menyetir?" Ucap Namjoon sambil menyeruput kopi Americanonya.

Park Jimin kembali mengalihkan tatapnya pada ponselnya. Lalu meletakkan smartphpone itu ke atas meja tepat disamping dompet miliknya. Ponsel itu menyala dan memperlihatkan wallpaper foto Jae yang tengah tersenyum dengan wajah belepotan krim putih kue ulang tahun.

Namjoon baru melihat foto anak laki-laki Park Jimin dan langsung memuji, "Oh Sungguh menggemaskan sekali?" Ucap Namjoon.

Park Jimin hanya tersenyum, senyuman khas miliknya dimana kedua matanya menghilang.

"Jadi bagaimana rasanya memiliki anak laki-laki?" Namjoon mengganti topik pembicaraan, sudah tidak lagi membicarakan tentang perusahaan ataupun sejenisnya. Jimin menatap lelaki  didepannya yang usianya satu tahun di atasnya. Park Jimin dengar Namjoon memiliki satu anak perempuan yang berusia dua tahun.

"Hmm..." Park Jimin berpikir sejenak, lalu senyum kembali menghias wajahnya, teringat akan Jaehwa.
"Rasanya? luas biasa." Jawab Park Jimin.

"Bukankah seru? Kau dapat mengajaknya bermain bola?"

"Benar. dan kau dapat mengajaknya berkuda ataupun latihan menembak jika usianya sudah 10 tahun." Celoteh Jimin.

"Bukankah mereka adalah kado terindah dalam hidup kita? Aku tidak bisa membayangkan orang-orang yang tidak menjaga anak-anak mereka. Yang menyia-nyiakan kehidupannya? Seperti ditelantarkan?"

Park Jimin diam.

Namjoon terus bicara tentang manusia, "Sebenarnya para orang dewasa atau orang tua harus peduli tentang resiko yang ia perbuat. Semua hal yang ia lakukan. Seperti halnya melakukan sex? Bukankah anak-anak lahir berawal dari melakukan sex?"

Park Jimin masih diam. Ia mendengar sambil menatap cangkir kopinya. Kepulan asap sudah tidak lagi berada di atas cangkir itu. Menandakan sudah tak lagi panas.

"Baru-baru ini aku menonton film bagus berjudul Capernaum."
"Film yang bercerita tentang anak yang memiliki orang tua lengkap namun sama sekali tidak diperhatikan kehidupannya. Bahkan perihal kasih sayang? Mereka tidak dapatkan. Mereka berjuang sendiri, membiarkan anak perempuan muda mereka untuk di nikahkan dengan seorang laki-laki hanya demi uang."
"Dan kau tahu Park Jimin? Hal yang paling menyedihkan adalah suaramu tidak di dengar. Anak laki-laki dalam film itu sangat sedih mengetahui kakak perempuannya tewas dan ia kehilangan kontrol lalu hampir saja membunuh suami dari kakak perempuannya."

LOVER [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang