Prinsip yang mengagumkan.

35K 1.4K 59
                                    

Farel berjalan dengan sangat santai melintasi loby kantor R&D Art. Melempar senyum pada beberapa karyawan yang kebetulan hilir mudik disana. Ia memanggil ransel hitam dan memegang segulung kertas karton hasil gambarnya yang telah ia kerjakan seminggu ini untuk di presentasikan pada client hari ini.

Ini pertama kalinya, ia memegang proyek sendiri.

"Selamat siang, Pak Rezky". Sapa Farel saat tiba di luar loby, yang kebetulan sang atasan sedang berdiri menunggu sesuatu.

"Eh, Farel. Selamat siang. Mau keluar?". Balas Rezky dengan nada ramah.

"Iya Pak, mau ketemu client diluar". Jawab Farel.

"Sendiri?".

"Iya, Pak Dika ngasih proyek single buat saya". Jawab Farel menyebut nama CEO perusahaan mereka. Yang tidak lain adalah Ayah dari Rezky.

"Oh, good luck kalau gitu!". Kata Rezky menepuk bahunya memberi semangat.

"Makasih Pak". Jawab Farel.

Sebuah mobil sedan BMW hitam berhenti di depan mereka. Rezky langsung berpamitan lebih dulu. Dan Farel hanya mengangguk.
Setelah GM nya itu pergi, Farel juga melangkah menuruni anak tangga menuju parkiran motor.

Ia lebih suka mengendarai motor jika bekerja. Kemacetan ibu kota sangat lah melelahkan, apalagi mengemudi mobil. Naik motor lebih cepat, karena bisa nyelip-nyelip karena ramping.

Setelah mengendarai motor selama dua puluh menit kurang lebih. Farel menghentikan motornya di parkiran sebuah Caffe yang terletak tidak lah jauh dari gedung kantor tempat ia bekerja. Ia melepaskan helm nya, dan kemudian melangkah masuk kedalam.

"Selamat siang mas, mau pesen apa?". Seorang barista yang berdiri di balik meja menyapa saat ia sudah berdiri di depannya.

"Coffe latte satu". Jawab Farel. Si pelayan mengangguk.

Farel pun langsung berbalik mencari meja kosong.
Ia berjalan menuju lantai dua, karena di lantai pertama penuh.

Menemukan meja yang cocok di sudut, di dekat dinding kaca yang menampilkan pemandangan jalanan depan Caffe. Tempat duduknya juga cukup privasi karena memiliki sekat dengan meja lainnya.

Ia meletakkan ranselnya di sofa kosong disampingnya. Lalu mengeluarkan beberapa file, laptop dan juga gulungan karton dalam tabung nya.

Ia melirik jam di pergelangan tangan kirinya, ternyata ia datang lebih awal dari janjian dengan client. Membuatnya memilik waktu untuk merenungkan sekitar.

Di lantai dua, tidak terlalu ramai. Hanya beberapa meja yang terisi. Kopi pesanannya juga tiba tidak lama kemudian. Bersamaan dengan mendengar suara dua perempuan mengobrol di belakang punggungnya.

"Putus lagi?". Farel tidak terlalu perduli dengan obrolan dua perempuan di balik punggungnya. Ia memilih untuk menyibukkan diri dengan laptop yang sudah ia buka.

"Kali ini kenapa?". Si perempuan tadi bersuara lagi. Ia bisa mendengar obrolan keduanya karena memang di lantai dua cukup sepi. Jarak dengan pengunjung lain juga lumayan jauh.

"Dia minta cium, gue gak ngasih. Yaudah dia milih putus!. Yaudah. End!. Loe tau gue gimana. Gak ada dalam kamus gue di sentuh sebelum menikah. Kita ini perempuan, pihak yang paling di rugikan dalam hubungan pacaran!. Dan laki-laki adalah makhluk yang tidak pernah ada puasnya. Di kasih sekali, besok minta lebih. Benar kan?!".

Farel tertegun sendiri mendengar jawaban itu. Itu sebuah pemikiran yang sangat masuk di logika. Sangat amat jenius menurutnya. Dan ia sangat amat menyetujui jawaban tersebut.

"Gue pacaran bukan untuk buang-buang diri. Sorry ya, kamus pacaran gue gak lebay dan Bucin. Najis banget!.". Lanjut perempuan yang berbeda. Suara perempuan itu persis di belakang punggungnya. Farel bahkan mulai penasaran, membuatnya jadi seperti menguping dua perempuan yang sedang mengobrol. "Ardi itu sadar banget dia ganteng, jadi mungkin mikir kalau gue cinta banget sama dia. Mikir gue sama dengan cewek-cewek yang pernah dia pacarinya. Seolah mengatas namakan cinta. Bullshit! Bil. Kalau cinta seharusnya menjaga, bukan merusak.".

SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang