Jakarta, 4 Maret 2019
"Meeting? Okay, atur saja jadwalnya. Dimanapun terserah kau, dahulukan kepentingan mereka. Segera pesankan tiket dan kabari saya"
Pria itu pun kembali dari luar restoran setelah mengangkat telepon dari seseorang yang diketahui adalah sekretarisnya. Memang seperti inilah kegiatannya, selalu sibuk dimanapun berada.
Aku memandang punggungnya, tegap dan terlihat gagah, menyempurnakan visualnya yang sudah tampan dengan rambut rapi dan suit andalannya. Dia kembali ke restoran Italia tempat kami menghabiskan waktu bersama, mata kami bertemu, kulihat sedikit senyum terukir diwajahnya. Begitu tampan, itulah hal yang selalu aku ucapkan sejak aku mengenalnya.
Dia Mark Lee, suamiku.
"Sayang, maaf ya, urusan kantor" ujarnya kemudian kembali duduk di hadapanku.
"It's okay, Mark" balasku dengan senyum.
"Oh ya tadi sampai mana kita bicara?" dia mengingatkanku soal obrolan yang terputus sesaat setelah handphone-nya berbunyi.
"Ella kemarin baru melahirkan, anaknya perempuan, lucu sekali" ungkapku.
"Oh ya? Sepupumu yang satu itu sepertinya tidak kenal lelah ya, tahun kemarin bukankah dia juga melahirkan?"
"Ya, aku rasa itu suatu kebanggan untuknya. Aku pun ingin merasakannya, Mark" aku sudah tidak tahan bertele-tele. Sedari tadi Mark selalu mengalihkan pembicaraan ketika aku mulai menyenggol hal itu.
"Suatu saat kau akan merasakannya honey, tenang saja"
"Suatu saat? Sampai kapan Mark? Ini sudah tahun keempat kita menikah"
"Honey, kita pernah membicarakan ini kan?"
"Kau direktur utama, kurang apa lagi?"
"Ayahku menjadi komisaris ketika berusia 40 tahun, itu rekor termuda di keluargaku. Aku, tentu saja ingin lebih baik dari itu" hal ini juga sudah sering aku dengar, setiap kali aku memohon padanya, dia selalu memberiku alasan yang sama.
"Sebentar lagi kau juga akan mendapatkannya, sayang" balasku.
"Aku ingin stabil dulu, tidak mudah bagiku, pasti banyak yang iri denganku. Ren, tolong jangan banyak menuntut, tolong dukung suamimu ini" ya, memang selalu aku yang salah kalau begini. Istri yang menuntut, katanya.
"Baiklah Mark, tapi tolong pertimbangkan ini sekali lagi, kita sudah menua" bujukku lagi, setidaknya suatu saat dia akan memikirkan ini.
"Ya, pasti. Aku tidak mungkin tidak memiliki keturunan juga kan? Siapa yang akan meneruskan perusahaan nanti?" Candanya, memang selera humornya berbeda. Aku pun hanya ikut tersenyum kecil.
~Mistress Diary 01~
Kami sudah siap dengan piyama. Kalau sudah malam begini memang waktunya untuk tidur. Sebelum tidur biasanya aku akan membawakan susu hangat untuknya, agar tidurnya nyaman.
"Mark, sudah malam, mau bermalam dengan laptopmu lagi huh?" aku menyerahkan segelas susu itu kepadanya, lalu menunggunya mengembalikan gelas itu kepadaku.
"Terimakasih sayang. Dan ya, memang laptop ini meminta aku temani sepanjang malam" aku menepuk pundaknya pelan, lalu memijat ringan.
"Kau juga manusia, ayo istirahat" ajakku.
"Sebentar lagi, ya" bujuknya.
"No, it's time to sleep now"
"Ah okay, I can't deny since it's my beautiful wife who was nagging"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistress Diary [NCT Fanfiction] ✓
Fanfic[✓] ❝My beloved husband, you was. My love loosen gradually, and now it's all gone❞ Start March, 29th 2020 End June, 27th 2020 Notes: cerita ini hanya fiksi. Karakter idol dalam cerita murni imajinasi penulis. Tolong jangan sangkutpautkan dengan kara...