Multimedia: Khumaira Azzahra and Mauria Sadewa Mahardika
*-----*
Zahra terbangun saat mendengar debuman keras dari dalam kamar mandi, hal yang tentunya membuat si cantik jadi ingin cepat-cepat sampai di sana hanya untuk mendapati banyak sekali pecahan kaca di lantai "Mauria?" bisik gadis itu dalam suara serak khas baru bangun tidur.
Dengan langkah kecil karena takut mengenai pecahan kaca yang ada di mana-mana, Zahra melirik ke ruangan ganti baju hanya untuk mendapati bahwa Dika sedang tertunduk di sana sambil memangku tangannya di atas paha dan Zahra hampir saja menjatuhkan diri karena ia melihat bahwa tangan si gadis tomboy itu berdarah.
"Mauria?!!" tidak ada jawaban dari Dika dan itu membuat Zahra melangkah mendekat pada si gadis tomboy lantas segera meringis saat melihat semua darah di atas pangkuan si tomboy.
"MAURIA?!! Kamu kenapa?!!!" Zahra mengambil tangan si tomboy lantas membawanya ke dalam tangan miliknya agar darah yang keluar dari sana berhenti.
Namun, bukannya memberikan tangannya Dika justru menatap gadis cantik itu dengan tatapan lusuh tak terkira "Can you please go?"
Pertanyaan itu membuat Zahra mengerutkan kening tidak terima "Tangan kamu berdarah, Mauria. Aku harus merawatnya, kenapa kamu malah meminta aku untuk pergi?" kukuh gadis cantik itu sambil tetap saja memegang tangan si tomboy di dalam tangannya.
Dika mengambil tangannya yang terluka dan berbisik dengan nada lemah "Please... go"
Zahra menggeleng tidak sanggup pada permintaan gadis tomboy itu dan kembali membawa tangannya ke dalam genggaman "I couldn't!! I can't leave you. Not now, not ever! Please come with me"
Dika tetap kukuh dan berkeras kepala dengan meggeleng pada permintaan dari Zahra dan menatap gadis cantik itu dengan permintaan final "Please... leave, Khumaira Azzahra" ujar gadis tomboy itu seraya menunduk kembali pada tangannya yang masih saja mengeluarkan darah sambil lalu melanjutkan dengan tanpa nada "You couldn't make it better anyway" dan Zahra menjatuhkan dagunya karena ujaran itu.
"Woah.. I can't believe you said that"
"....."
"I just want to help, Mauria Mahardika Sadewa" final si cantik pada gadis tomboy yang masih saja tampak enggan untuk menuruti apapun yang diujarkan olehnya.
Dika menggeleng "Please Khumaira, leave me. I don't want you to see me like this" dan ujaran bernada permohonan disertai nada lemah di dalamnya itu membuat si cantik menyerah dan membiarkan Dika untuk menutupi punggung tangannya yang berdarah oleh dirinya sendiri.
Zahra melangkah mundur lantas menatap satu kali lagi kepada tangan dan darah milik Dika yang digenggam diantara perut dan lutut si tomboy yang berlipat "Is hurt to see you like this, Mauria. Don't ever do this to me again" ujar gadis cantik itu sebelum akhirnya pergi menuruti apapun yang diinginkan si tomboy.
*Beberapa jam kemudian*
Zahra terduduk di hadapan Rafael yang mengajaknya untuk makan siang bersama. Gadis cantik itu sedang malas menatap pada pemuda di hadapannya, jadi ia memutuskan untuk tetap berusaha fokus pada makanannya yang merupakan mie bakso dengan cita rasa pedas tak terkira.
Sambil meniupi kuah berwarna merah yang menghiasi mangkuk baksonya, gadis cantik itu memikirkan keadaan Dika yang tidak terlihat di kelas yang harusnya didatangi oleh mereka berdua beberapa saat lalu.
"Zahra?" ujaran bernada teguran itu membuat si cantik mau tidak mau jadi harus mengangkat pandangan untuk menatap Kakak kelasnya dan lalu menyerahkan senyum karena lelaki itu memberikan senyuman padanya.
"Kamu sedang memikirkan apa?"
Pertanyaan dari Rafael membuatnya jadi enggan untuk menyentuh bakso yang ada di mangkuk di hadapannya. Karena jika saja kalian tahu, ada Dika sedang menatap pada mereka di ujung ruangan. Tanpa bisa menahan diri, Zahra panik karenanya.
Bagaimana kalau makanan pedasnya terlihat oleh gadis tomboy itu? oh my... Zahra bisa mati.
"Weish!! Pantas saja kamu melotot ke kejauhan kayak gitu. Nyatanya ada si ganteng toh?" Zahra tersentak karena ujaran Kakak kelasnya itu. Rupanya, si lelaki juga tengah menatap pada sosok gadis tomboy yang menyerahkan senyum menungging kepada keduanya dengan disertai dua mangkuk makanan di tangannya.
Dika mendekat pada meja keduanya lantas kemudian mengambil tempat duduk di samping Rafael dan memberikan satu dari dua mangkuk yang ia bawa pada Zahra untuk menggantikan mangkuk yang ada di hadapan si cantik. Hal yang tentunya membuat Zahra sadar bahwa si tomboy tengah menegurnya sekarang "Makannya yang itu aja" ujar si tomboy kemudian.
Zahra menyerahkan senyum kecil pada si tomboy sebelum akhirnya melihat isi mangkuk miliknya yang ternyata tidak diberi saus sedikitpun.
Dengan sabar, Zahra mengambil napas panjang lantas menusuk satu dari banyaknya bakso yang ada di dalam mangkuk lantas mencelupkannya pada mangkuk milik Dika yang berkuah pedas "Jangan bikin aku marah, Khumaira" ujar si tomboy sebelum Zahra sempat mengambil satu gigitan kecil pun dari bakso yang sudah ia tusuk.
Memutuskan untuk menyerah, Zahra kemudian memberikan bakso yang sudah ia celupkan pada kuah milik Dika itu pada si gadis tomboy sehingga membuatnya jadi membuka mulut untuk menerimanya sesuka hati. "Ciye aku di anggurin" celetuk Rafael sehingga membuat keduanya jadi terkekeh karenanya.
Rafael merengut saat ia menemukan punggung tangan milik Dika dibungkus oleh perban. Lelaki itu kemudian mengambil tangan kanan Dika sehingga membuat si tomboy jadi merebut kembali apa yang jadi miliknya "Kenapa?" ujarnya kemudian.
Si tomboy justru mengedigkan bahu enggan menjawab "Ada masalah apa Dika?" ulang Rafael dengan nada yang meminta jawaban.
Dika masih menggeleng "Sepertinya dia memukul kaca kak" dan jawaban dari Zahra itu membuat Dika maupun Rafael membelalakkan mata karenanya.
"Memukul kaca, Dika? Seriously?" alis tebal milik si lelaki terangkat satu.
Dika mengedigkan bahu masih enggan untuk membahas apapun tingkah bodoh yang membuat ia jadi begini.
"Kalau kamu mau menghajar sesuatu, carilah benda hidup. Abang rela kamu pukul berkali-kali" ujar lelaki itu disertai dengan senyum menungging sebelum akhirnya melanjutkan perkataannya yang sempat menggantung "Kalau saja kamu memang berani melakukannya" lanjutnya disertai kekehan kecil yang membuat Zahra ngeri entah kenapa.
Karena tawa milik si pemuda nyatanya tidak menyebar keseluruh penghuni meja, lelaki itu akhirnya menatap pada Dika dan Zahra dengan bergantian sebelum akhirnya membuka mulut "Zahra khawatir padamu, Dika. Jangan lakukan hal-hal bodoh seperti itu. Aku tahu kalian memiliki perasaan khusus pada satu sama lain. Jangan menyangkal padaku karena mata milik kalian berdua tidak bisa bohong pada satu sama lainnya. Kalian saling mencintai" Rafael menarik napas panjang sebagai jeda dari apapun yang akan di obrolkan olehnya "Abang tahu ini pasti jadi hal sulit untuk kalian berdua, tapi tolong jangan pernah melukai satu sama lain hanya karena suatu hal yang membuat hatimu terluka"
*-----*
Riska Pramita Tobing.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG SIN (COMPLETED)
Teen Fiction"Bagaimana mungkin Tuhan membiarkan perasaan cinta ini tumbuh pada seorang hamba yang bahkan tidak bisa aku cintai?" BIG SIN by Riska Pramita Tobing