Adegan kejar-kejaran yang tak terelakkan itu membuat Giana lari tanpa melihat ke arah mana kakinya melangkah. Semakin jauh ia berlari, semakin gelap dan sempit pula gang yang ia lalui. Kakinya yang saling berpacu tak mau kalah dari degup jantungnya yang berpacu. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang guna memastikan jaraknya dengan si pengejar masih jauh.
Giana panik bukan main saat melihat jaraknya dengan si pengejar semakin terkikis, dirinya semakin sering menoleh ke belakang agar memastikan si pengejar ber-hoodie hitam tersebut tak bisa menggapai dirinya. Jantung Giana serasa mencelos saat melihat tangan tersebut berusaha menggapainya. Ia segera menoleh ke depan dan ....
Brak!
Tubuhnya terjengkang ke belakang tepat setelah ia menghantam sesuatu yang keras. Pandangannya menggelap dan ia merasakan nyeri luar biasa pada hidung dan tulang pipinya bagian kanan. Cairan hangat menetes dari kedua lubang hidungnya.
"Aww! Pasti sakit banget!" Kalimat prihatin dengan nada geli itu dapat ditangkap dengan jelas oleh indra pendengaran Giana.
"Sini biar gue lihat!" Sebuah tangan besar nan hangat menyentuh dagunya lembut dan menariknya maju. Giana bisa merasakan napas hangat seseorang di wajahnya. Pandangannya masih gelap sehingga ia tak bisa melihat wajah pemuda tersebut.
Tangan tersebut telah lepas dari wajahnya dan embusan napas tersebut juga telah menjauh yang berarti pemuda tersebut telah mundur dari posisinya tadi. Giana membeku, ia kembali teringat alasan terjadinya adegan kejar-kejaran dengan pemuda tersebut.
"Wah! Tenang, Lady! Gue gak bermaksud jahat sama lo," ucap pria itu saat menyadari Giana mengambil posisi siaga.
Giana menggeleng berusaha mengenyahkan awan hitam yang menghalangi pandangannya sembari menekan hidungnya yang terasa nyeri. "Apa maksudnya itu? Anda mengejar saya tadi!" Giana memilih untuk menyerang terlebih dahulu.
"Maaf, Mbak. Mbak gak apa?" Seorang wanita tergopoh-gopoh mendatangi Giana yang masih setia terduduk. "Astaga! Darahnya!" serunya kaget saat melihat darah masih mengucur dari hidung Giana.
Pandangan Giana telah kembali, ia melihat wanita paruh baya itu terlihat sangat menyesal. Giana tersenyum manis dan menepuk pundak wanita itu pelan. "Saya tidak apa-apa, Bu. Ibu tenang saja. Darahnya akan berhenti, kok, nanti."
"Bagaimana? Lihatlah darahmu! Apakah hidungmu terluka?" tanya wanita itu cemas.
Giana dengan halus mendorong tangan wanita tersebut, lalu menggenggamnya pelan. "Jangan! Nanti tangan Ibu kotor. Saya tidak apa-apa. Sesampainya di rumah, saya akan kompres dengan air dingin."
"Sudahlah! Ayo berdiri!" Sebuah uluran tangan berhenti tepat di depan wajah Giana membuat gadis itu mendongak. Ia melihat pria tersebut menatapnya-menuntut agar uluran tangannya disambut. Giana menyambutnya lantaran tak ingin ribut di belakang rumah orang.
Setelah berdiri, Giana baru sempat memperhatikan sekitarnya. Rupanya yang menghantam wajahnya tanpa belas kasihan merupakan pintu belakang rumah wanita paruh baya tersebut. Pantas saja tulang pipi serta hidungnya serasa remuk.
"Masih pusing? Perlu gue gendong?" Pria tersebut menahan tubuh Giana yang oleng. Giana menggeleng pelan. Tangan kanannya ia masukkan ke dalam tas untuk mencari sapu tangan yang selalu dibawanya, sementara tangan kirinya ia gunakan untuk menekan hidungnya.
Giana segera menyeka darah yang mengalir ke dagu dan lehernya dengan tangan kanan dan tangan kiri yang masih setia menekan hidung. Ia menatap pemuda tersebut tajam. "Kenapa Anda mengejar saya?" tuntut Giana sebal.
"Lo yang lari duluan pas gue mau nyapa. Udah gitu, sebelum lo lari. Lo tabok gue dulu 'kan pake tas lo ini?" balas si pemuda tak kalas sebal sembari memukul tas ransel yang sudah berada di punggung Giana.
"Ngapain nyapa? Saya kan gak kenal Anda!" tukas Giana tajam.
Pemuda itu mengusap tengkuknya salah tingkah. "Gue kira lo mabok. Terus ketiduran di tengah jalan. Rupanya lo nangis. Sorry." Pemuda itu tak menatap wajah Giana lagi. Ia cukup tahu bahwa Giana tak ingin orang-orang melihat wajah menangisnya.
"Kalau udah tau kenapa ngejar? Lihat akibat perbuatan Anda!" tuduh Giana merasa tak puas.
Pemuda itu menghela napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. "Sorry. Tapi gue gak bisa ngebiarin cewek nangis sendirian. Jadi gue ngejar lo."
"Terus itu tangan tadi kenapa mau narik-narik?" cecar Giana kembali.
"Gue pengen narik lo biar gak hantam pintu itu. Tapi ...." Ucapan pemuda itu terhenti dan kedua tangannya terangkat dengan telapak tangan menghadap ke atas dan mengarah ke Giana.
Wajah Giana memerah. Jika saja ia tak parnoan, mungkin ia tak akan mengalami hal ini. "Saya minta maaf karena salah paham. Terima kasih atas niat baiknya walau berakhir dengan buruk."
"Sudahlah! Itu tak penting," Pemuda tersebut mengibaskan tangannya seolah mengusir nyamuk di udara. "yang terpenting sekarang itu pendarahan hidung lo. Tadi pas gue cek, emang gak patah. Cuma ada baiknya kita ke dokter aja sekarang. Ayo naik!" Pemuda itu berjongkok di depan Giana sembari membuka tangannya ke belakang.
"Tidak! Tidak apa-apa. Saya bisa sendiri," tolak Giana cepat. Ia hanya ingin sampai di rumah dan segera tidur.
"Jangan ngebantah! Cepet naik! Lo kira gak pegel apa jongkok gini?" titah pemuda tersebut tak mau dibantah. Pada akhirnya, Giana naik ke punggung pemuda itu tanpa melakukan perlawanan lebih lanjut.
Pemuda tersebut menggendongnya keluar dari gang kecil nan gelap dan segera menuju jalan besar. Mereka menghentikan taksi pertama yang lewat, lalu menuju ke rumah sakit. Sesuai perkataan pemuda itu, tulang hidung Giana tidak patah-hanya sedikit retak. Tulang pipi Giana baik-baik saja walau pipi Giana lebam dan bengkak.
"Terima kasih," ucap Giana tulus. Kini mereka berdua tengah berjalan menuju perumahan kumuh tempat tinggal Giana. Diam-diam, Giana meneliti penampilan pemuda itu dari tempatnya berdiri. Celana jeans hitam yang dihiasi rantai dari kantong belakang menuju pinggang, hoodie hitam hitam, topi adidas berwana senada, sepatu kets hitam yang sudah lumayan lusuh, ditambah masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya-benar-benar sosok yang patut dicurigai.
"Sudah puas mengagumi? Sekarang kita harus ke mana? Kiri atau kanan?" Suara bass itu menohok Giana tanpa ampun.
Giana menghadap ke depan dengan cepat, wajahnya memerah dan terasa gerah. "Kanan. Ekhm ... sampai di sini saja. Rumahnya ada di depan sana. Yang pagar warna biru. Terima kasih atas kebaikan Anda." Giana segera berlari meninggalkan pemuda itu tanpa menoleh kembali.
Pemuda itu masih saja berdiri di tempatnya dengan pandangan terpancang pada sosok Giana yang membuka pagar, lalu pintu, dan menghilang dibaliknya. Masker hitam yang sedari tadi melekat di wajahnya, kini ia melepasnya. Seulas senyum puas ia pamerkan.
"Tak kusangka kita bertemu kembali seperti ini, Elsa."
-----------------------------
1008.02042020
Yeay! Update lagi.
Mohon maaf atas jadwal yang berubah. Karya ini update untuk menggantikan karya Bronies karena authornya sedang sakit.
Tolong support karya Brondong Series yang lainnya juga.
Jangan lupa besok ada Tante Sonya yang bakal menemani Jumat santai kalian.
Bagi yang mau ketemu sama Tante Sonya, silakan main-main ke lapak "Don't Be Afraid - Isarsta "
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I? [COMPLETED]
ChickLitElsa Giana Saraswati atau yang kerap kali disapa Giana diutus oleh sang atasan menjadi tutor bagi salah seorang karyawan magang. Namun, karyawan magang ini bukanlah karyawan biasa. Melainkan putra tunggal dari bos besar tempat dirinya bekerja. Wala...