"Pagi!"
Giana hampir saja berteriak kaget saat sebuah suara bass menyapa telinganya, beruntung refleks tangannya lebih cepat dari suaranya. Ia berhasil membungkam mulutnya sebelum berteriak histeris. Ia yang sedang menunggu lift sembari melamun pun menjadi mendadak segar akibat sapaan ceria tersebut.
"Kaget, ya?" tanya Bayu sembari memamerkan senyum menawannya.
Giana mendelik, tetapi tetap diam. Ia kembali menatap layar yang bertuliskan angka di mana lift tersebut tengah berada. Saat pintu lift terbuka, ia melangkah masuk ke dalam.
"Kamu gak mau naik?" tanya Giana saat Bayu tak ikut naik dengannya.
Bayu menyeringai lebar. "Akhirnya lo ngomong juga," desah pemuda itu puas membuat kening Giana berkerut.
"Jangan ngerutin kening lo kayak gitu sering-sering! Entar cepet keriput, loh!" canda pemuda itu.
"Bukan urusan kamu!" Giana turun dari lift dan segera masuk ke ruangan. Menuju UPS dan menghidupkannya, lalu beralih menghidupkan printer. Setelahnya, ia menghidupkan komputernya. Kemudian ia mengambil kerjaannya dari lemari arsip dan menaruhnya di meja.
"Ngomong-ngomong, kenapa lo dari kemaren pake masker mulu, sih?" tanya Bayu setelah melihat Giana duduk tenang di kubikelnya.
Giana menoleh dan menatap Bayu risih. "Bukan urusan kamu! Kamu mau langsung kerja, atau nanti aja pas jam delapan?" Giana segera mengalihkan topik.
Sadar akan ketidaksukaan Giana akan topik tersebut, Bayu pun memutuskan untuk tak membahas hal tersebut lebih lanjut. "Terserah lo aja. Gue ikut aja mau lo gimana. Mau sekarang silakan, nanti juga gak papa. Gue gak masalah, kok." Bayu pun berjalan menuju kubikel Giana dan menarik beberapa faktur untuk dilihatnya.
"Ya, udah sekarang aja. Di tempat kamu aja. Biar sekalian aku ajarin cara input ke jurnal." Giana mengangkut setumpuk faktur yang tadi dikerjakannya di meja Bayu. Bayu mengangguk, lalu membantu Giana memindahkan faktur tersebut.
"Mau mulai dari kas besar dulu atau kas kecil dulu?" Giana mengangkat wajahnya untuk menatap Bayu dan meminta persetujuannya.
"Bagusnya? Gue ikut lo aja," balas Bayu tanpa niat.
"Kamu ini cowok, harus bisa menentukan pilihan. Jangan terbiasa dipilihin! Ini hidupmu, kamu yang menentukan, bukan orang lain," ucap Giana tegas membuat Bayu tertegun.
"Ah, i-iya," gagap Bayu yang masih tetap terpaku. Seumur hidupnya, ia tak pernah diperbolehkan untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Sekolah, kuliah, kerja, semua sudah ditentukan sedari awal. Bahkan baju, sepatu, gaya rambut juga sudah ditentukan untuknya. Begitulah selama ini ia menjalani hidupnya, diarahkan tanpa pernah sekali pun mengarahkan hidupnya mau ke mana.
Giana menghela napas panjang, lalu menatap Bayu intens. "Jadi?" Sebelah alisnya ia angkat. Satu menit berlalu, Bayu masih diam. Ia terlihat bimbang.
"Bayu? Jadi?" Giana mulai tak sabar dengan diamnya Bayu.
"Gak apa nih kalau gue yang milih?" tanya pemuda itu tak yakin.
"Tentu saja! Ini kan yang akan kamu kerjakan nantinya. Jadi harus keputusan kamu," jelas Giana gemas.
Bayu mengangguk mengerti. "Kalau gitu, lo ada saran gak buat gue? Maksudnya lo kan udah kerjain ini semua, jadi lo kan pasti lebih tau apa kelebihan dan kekurangannya. Biar gue bisa pertimbangkan mana yang mau lebih dulu gue pelajari."
"Kas kecil itu walau lebih sedikit, tapi faktur eksternalnya lebih banyak. Kamu harus teliti saat kamu mau memisahkan faktur eksternal dan internalnya. Sebelum dilepaskan hekternya, hitung dulu jumlah yang di klaim oleh mereka. Jika kurang, tanya pada orang kas. Kalau lebih, belum pernah sih. Lalu kas besar lebih banyak. Nominalnya juga lebih besar dari kas kecil. Kas besar, kebanyakan memiliki faktur pajak. Sebelum kamu mulai kerjakan, kamu harus lihat apa ada stempel di setiap bagiannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Can I? [COMPLETED]
ChickLitElsa Giana Saraswati atau yang kerap kali disapa Giana diutus oleh sang atasan menjadi tutor bagi salah seorang karyawan magang. Namun, karyawan magang ini bukanlah karyawan biasa. Melainkan putra tunggal dari bos besar tempat dirinya bekerja. Wala...