24

1.4K 122 5
                                    

"Saya dengar dari Om Awan, kemarin malam kamu ke rumahnya, ya?"

Giana yang sedari tadi fokus mengikuti pergerakan jari Calvint pada laporan yang diberikannya serta merta mendongak. "Ya?" Mata Giana terbelalak lebar begitu juga mulutnya.

Calvint tersenyum geli, "Kenapa kaget gitu?"

Sontak Giana menutup mulutnya dan sesegera mungkin mengubah mimiknya menjadi datar. Walau begitu, detak jantungnya-entah mengapa-malah menggila akibat pertanyaan mendadak dari Calvint. Ia yang tadinya deg-degan karena takut laporannya ada yang tidak sesuai dengan keinginan Calvint, sekarang malah deg-degan dengan serangan mendadak itu.

Giana menolak menatap Calvint. "Gak. Saya tidak kaget." Nada suaranya mengkhianatinya. Dan ia merutuki hal tersebut.

"Ya, sudah. Sangkallah apa yang bisa kamu sangkal."-Calvint tersenyum manis, lalu menyerahkan laporan yang sudah ia teliti. Seperti biasa, pekerjaan Giana sempurna dan tanpa cela.-"Jadi?"

Giana menerima laporan itu dengan pandangan bertanya. "Apa ada yang salah dengan laporan saya ini?"

Calvint melongo untuk sedetik. Kemudian ia menggeleng prihatin. "Bukan. Bukan itu yang ingin saya katakan."

Sekali lagi, Giana mengerutkan keningnya bingung dengan ucapan sang atasan. Jadi? Apa maksudnya? Apa yang ingin dikatakan oleh Calvint kepada dirinya. Memangnya ada pembahasan lain yang tengah mereka bahas saat ini? Giana memutar kembali memorinya dari awal ia masuk ke ruangan ini sejak setengah jam yang lalu sampai detik sebelumnya.

Saat sebuah pemahaman mendarat di otaknya, matanya membola sempurna. Melihat hal itu, senyum miring terbit di wajah Calvint.

"Sepertinya kamu sudah mengerti ke arah mana pembicaraan barusan. Jadi, apa benar kamu kemarin pergi mengunjungi calon mertua?" Dengan iseng Calvint mengulang kembali topik mereka, tak lupa ia menekankan kata 'calon mertua' di akhir kalimatnya.

Wajah Giana memerah. Ia bergerak gelisah di tempatnya berdiri. "Bukan calon mertua! Dan ... ya, saya memang pergi ke rumah Pak Hendrawan. Tapi itu bukan keinginan saya, Bayu yang tau-tau mengantar saya ke sana," jelas Giana dalam satu tarikan napas. Ia memilih jujur karena berbohong pun percuma, Calvint bisa mencari tahunya sendiri. Apalagi, menurut Calvint, yang memberitahunya adalah Hendrawan sendiri.

Calvint tergelak puas. "Maaf. Tapi menurut Om dan Tante, kamu itu calon menantu. Jadi saya hanya ingin meledekmu sebentar, calon adik ipar."

Giana menatap Calvint jengah. "Bukan calon mertua, Pak. Dan saya juga bukan calon adik ipar Bapak," geram Giana. Biar saja bila dianggap kurang ajar terhadap atasan. Dia tak peduli. Toh, Calvint sendiri yang memulainya.

"Baiklah. Baiklah. Senang rasanya melihat ekspresimu yang satu itu, Gia." Calvint menyudahi kejailannya pada Giana karena takut gadis itu akan mengulitinya hidup-hidup-setidaknya begitulah yang terlihat dari aura yang dikeluarkan Giana.

"Saya senang bisa menghibur Bapak," sarkas Giana. Ia lalu melambaikan laporannya di hadapan Calvint karena Calvint belum mengomentarinya sama sekali. "Ini?"

"Sudah benar. Bagus. Kamu boleh keluar," komentar Calvint tenang. Tak ada lagi mimik jail di wajah itu. Kini wajahnya serius dan wibawa atasannya sudah kembali.

Giana membungkukkan badannya, "Terima kasih, Pak. Saya permisi." Giana pun keluar dari ruangan. Ia mengarsip laporan tersebut ke lemari arsip dan kembali ke kubikelnya.

"Gia, makan, yuk! Gue bikinin bekal." Bayu menarik lengan Giana. Kebetulan sudah jam dua belas lebih, yang berarti sekarang sudah waktunya makan siang.

Can I? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang