25

1.4K 131 5
                                    

Seminggu sudah waktu berlalu. Giana dan Bayu sama-sama konsisten pada keputusan mereka. Bayu semakin gencar mengejar Giana. Dan Giana semakin dingin menolak Bayu. Walau begitu, kerjaan mereka tak terganggu sama sekali. Bayu dan Giana tetap melakukan tugas mereka dengan baik. Siapapun yang melihat keduanya akan ikut merasa geregetan.

"Kalian lagi main drama 'kejar dan tangkap aku', ya?" tanya Siska pada Bayu saat mereka berdua tanpa sengaja bertemu di ruang fotokopi.

Bayu menatap Siska heran. "Siapa?"-Bayu menunjuk dirinya sendiri-"Saya?"

Siska memutar bola matanya malas. "Siapa lagi? Kamu dan Giana, lah!"

Bayu tertawa. Merasa geli dengan sebutan adegan yang tengah ia dan Giana mainkan. Kejar dan tangkap? Yang benar saja! Ia bahkan merasa dirinya semakin lama semakin jauh dari Giana. Jika saja tidak ada kerjaan yang bersinggungan dengan gadis itu, gadis itu akan mengabaikannya seluruhnya-sepenuhnya seperti orang asing.

"Kenapa ketawa?" Siska mengambil hasil fotokopiannya dan merapikannya, lalu memasukkannya ke dalam map fotokopi.

Bayu menggeleng pelan. "Gak, gak apa. Kak Siska udahan?"
tanya Bayu saat melihat Siska mulai mengangkat map fotokopinya dan mencatat berapa lembar fotokopiannya ke sebuah kertas.

"Iya, udahan." Siska menatap Bayu sejenak dan menerawang selama beberapa detik. "Kalau bisa, kamu jangan ngegas banget. Dia bukan tipe yang bisa diburu-buruin. Nanti kabur."

Bayu tertegun. Bukan karena senyum Siska yang saat itu terlihat sangat tulus, tetapi karena nasihat tulus dari Siska. Ketika ia memikirkan kembali apa yang sudah ia lalui, ia membenarkan perkataan Siska. Giana, karena luka masa lalunya, takut untuk memiliki hubungan. Semakin ia gencar mendekatinya, semakin tebal dan tinggi pula tembok yang dibangun oleh gadis itu.

Baiklah. Mulai sekarang, ia akan menggunakan cara lain. Bukan dengan terang-terangan seperti itu. Akan tetapi, ia akan mendekati Giana perlahan tapi pasti.

"Oke. Lakukan dengan pelan-pelan!" gumamnya dengan semangat baru yang mulai berkobar.

"Apanya yang pelan-pelan, Mas? Fotokopinya?" tanya Sri-pegawai fotokopi.

Bayu meringis malu. "Iya, Mbak. Soalnya mesinnya rada berulah." Ia tak sepenuhnya berbohong karena mesin fotokopi yang ia gunakan memang sering macet.

"Iya, Mas. Kalau mesin itu emang agak gimana gitu. Mas pindah aja ke mesin sana. Lagian gak ada yang pakai juga, 'kan?" Sri menggerakkan dagunya ke mesin sebelah Bayu dengan tangan yang bergerak lincah memfotokopi dokumen staf lainnya.

"Gak usah, Mbak. Ini sudah mau selesai, kok." Begitu lembar terakhir keluar dari mesin, Bayu menghela napas lega diam-diam. Dengan cekatan ia membereskan fotokopiannya dan memasukkannya ke dalam map.

"Saya sudah selesai, nih. Saya duluan, ya, Mbak. Oh, iya. Ini yang punya bagian Akuntan saya bawa saja, ya. Makasih." Sebuah anggukan sopan diberikan oleh Bayu dan dibalas dengan senyum ramah.

Bayu menaiki tangga dua anak tangga sekaligus. Saat hampir mencapai lantai 3, ia hampir aja menabrak seseorang. Ia pun buru-buru menggumamkan kata maaf dan menundukkan badannya berkali-kali.

"Bayu?"

Suara yang familiar menyapa telinga Bayu membuat Bayu mendongak. "Ah! Papa? Dan?"

Gadis yang disebelah Hendrawan tersenyum menawan. Ia segera bergerak ke depan dan merangkul lengan Bayu mesra membuatnya merasa risi. "Maaf, saya rasa tidak sopan mengandeng lengan seseorang yang tidak Anda kenal dan bertingkah sok akrab."

Senyum menawan itu masih menempel sempurna. Ia bahkan tak merasa terganggu atau terluka dengan nada sinis Bayu. Malah gadis itu semakin menempel padanya.

Can I? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang