Kini Giana tengah duduk dengan kikuk bersama kedua orang tua Bayu di meja makan. Sedari tadi ia memaksa dirinya untuk tersenyum sopan-walau dirinya tak yakin yang ia pamerkan sekarang adalah seringaian ataukah memang senyuman.
"Makan yang banyak, ya, Sayang. Kamu kurus banget," ucap Marie sembari menyendokkan paha ayam ke dalam piring Giana.
Giana tersenyum sungkan. "Terima kasih, eum ... Bu."
Hendrawan tertawa kecil melihat betapa canggungnya Giana. Ia sudah pernah bertemu dengan gadis itu dan setahunya gadis ini adalah gadis yang sangat tegas. Sangat berbeda dengan dirinya yang terlihat canggung dan juga sungkan seperti saat ini.
"Jangan tegang begitu, Gia! Kami gak akan makan kamu, kok," canda Hendrawan membuat makanan yang seharusnya masuk ke kerongkongan malah salah jalur menuju tenggorokan.
Wajah Giana memerah akibat terus-terusan batuk. Bayu dengan sigap memukul-mukul kecil punggung Giana serta menyodorkan segelas air yang diminum gadis itu dengan cepat.
"Santai aja, Gi."-Bayu mengelus pelan punggung Giana yang batuknya sudah mereda.-"Pa, jangan ganggu Giana, deh! Jail banget, deh!"
Hendrawan yang tadinya merasa bersalah, semakin merasa bersalah akibat omelan dari Bayu. "Maaf, Papa kan cuma bercanda aja. Biar Gia gak tegang banget. Habis dia beda banget sama kemarin. Waktu kemarin itu, dia tegas banget, kalau diibaratkan hewan dia itu kayak harimau. Tapi hari ini, dia terlihat ketakutan kayak tikus kecil yang lagi masuk ke dalam perangkap harimau."
Giana bisa merasakan rasa panas merambat dari wajah hingga ke lehernya. Ia bahkan tak perlu capek-capek mengecek di depan kaca untuk melihat wajahnya yang memerah karena rasa wajahnya benar-benar amat sangat panas.
"Kemarin?" Bayu dan Marie menatap Hendrawan dengan rasa penasaran yang tak perlu ditutup-tutupi.
Hendrawan hanya mengangkat bahu tak acuh dan menatap Giana ramah. "Santailah, Gia! Anggap ini rumah sendiri dan kami orang tua kamu. Makan yang banyak dan jangan terlalu tegang. Nanti yang ada kamu bakal sakit perut."
"Baik, Pak. Terima kasih," ucap Giana sopan. Nada suara Hendrawan begitu ramah dan hangat. Pria paruh baya itu juga tersenyum kepabakan padanya hingga rasa canggungnya perlahan mencari. Bukan hanya Hendrawan, Marie juga sangat hangat dan ramah padanya.
Makan malam itu dilewati Giana dengan perasaan yang lebih ringan. Setelah makan, Giana digiring oleh Hendrawan ke ruang tengah untuk mengobrol santai. Walau lagi-lagi rasa canggung dan gugup melandanya, rasa itu melarut juga dengan cepat akibat kehangatan yang diberikan oleh kedua pasangan paruh baya itu.
"Kamu kalau gak kerja ngapain aja?" tanya Marie sambil memakan buah mangga yang telah dipotong.
Giana menelan mangga yang sudah selesai dikunyahnya. "Kalau lagi tidak kerja biasa di rumah aja, Bu. Beres-beres rumah, lalu nyuci. Setelah itu, hanya bisa berselancar di internet dan baca macam-macam. Kebanyakan artikel mengenai mental health atau cerita pendek atau novel."
Marie mengangguk paham. Baru saja ia membuka mulut, tetapi ada seseorang yang menyelanya.
"Wah! Kamu baca-baca mengenai mental health? Ternyata kamu di luar dugaan, ya? Oh, iya. Ngomong-ngomong, panggilnya jangan 'Bapak' sama 'Ibu', dong. Panggil 'Om' sama 'Tante' aja. Atau kalau kamu mau yang lebih akrab, panggil 'Papa' sama 'Mama' aja." Hendrawan masuk tiba-tiba ke dalam perbincangan Marie dan Giana.
Giana tersenyum sungkan. "Tidak, Pak. Saya tidak bisa."
Marie segera merangkul Giana. "Jangan sungkan! Kamu kan bukan karyawan kami sekarang, maksudnya sekarang bukan lagi jam kerja. Panggil 'Om-Tante' aja kalau kamu masih merasa gak enak. Tapi sebenarnya Mama lebih senang, loh, kalau kamu mau panggil 'Mama' biar sama kayak Bayu."
Malu-malu Giana membuka mulutnya, "Tan ... te."
Marie tersenyum puas. Hendrawan yang melihatnya hanya bisa mencibir pelan. "Om?"
Giana menatap Hendrawan ragu. Terlihat dari mimiknya yang kebingungan. Tak pernah terlintas di pikirannya untuk memanggil atasannya sendiri dengan sebutan 'Om'. Bayu yang melihatnya pun segera membuka suara.
"Eh? Udah jam segini. Ayo gue anterin pulang, Gi!" Bayu menarik Giana bangkit dari duduknya. Giana menurut saja lantaran masih bingung.
"Loh? Bay? Dia belum manggil papa dengan sebutan 'Om' loh. Kok disuruh pulang aja?" tanya Hendrawan tak terima.
Bayu menatap Hendrawan galak. Ia berjalan mendekati Hendrawan dan berbisik pelan, "Pa, papa gak lihat Giana bingung? Kasihan, 'kan? Jangan bikin Giana takut buat datang ke sini lagi, dong!"
Akhirnya, Hendrawan pun memilih mengalah. Ia membungkam mulutnya rapat-rapat kata-kata Bayu barusan. Ia masih memiliki 'lain kali' agar dipanggil 'Om' atau bahkan 'Papa' oleh Giana. Ia hanya harus bersabar saja. Ia sangat menyukai gadis itu, bahkan sejak saat pertama kali mereka bertemu. Ia berharap, gadis itu akan menjadi menantunya kelak. Ia juga yakin-amat sangat-bahwa istri tercintanya juga jatuh hati pada gadis itu.
"Saya pamit, Pak, Bu,"-Giana meneguk saliva susah payah saat dipelototi oleh pasangan tersebut, ia salah memanggil-"maaf, Tan ... te, ... eum ...."
"Sudahlah! Om ngerti kamu kesusahan. Tapi satu hal yang perlu kamu ingat, di luar jam kerja, kamu bukan karyawan Om. Apa kamu mengerti?" Hendrawan mengelus puncak kepala Giana dengan lembut disertai dengan senyum kebapakan miliknya.
"Iya, saya mengerti. Saya akan berusaha. Selamat malam. Semoga hari Anda berdua menyenangkan. Terima kasih untuk makan malamnya. Saya senang bisa bertemu Anda berdua dan saya menikmatinya," ucap Giana sambil tersenyum tulus membuat kedua orang tua itu semakin jatuh dalam pesonanya.
Sebelum Bayu masuk ke dalam mobil, Hendrawan menariknya dan berbisik pelan, "Kamu pintar milih calon istri. Semoga hubungan kalian lancar. Papa pengen dengar kabar bahagia secepatnya."
Bayu mengedipkan sebelah matanya. "Tentu. Makasih, Pa. Aku berangkat dulu, Pa, Ma." Bayu mencium tangan kedua orang tuanya dan masuk ke dalam mobil yang sudah ada Giana di dalamnya.
"Hati-hati, ya, nyetirnya. Jangan ugal-ugalan. Giana harus pulang sampai rumah tanpa lecet, ya, Sayang," titah Marie yang hanya dibalas Bayu dengan anggukan kecil dan satu kali klakson.
Setelah mobil bergerak menjauh, sepasang suami istri itu pun masuk ke dalam rumah sambil berpelukan.
"Mama suka sama Gia, Pa. Dia anak yang baik, tapi gak tau kenapa ... sepertinya dia nyimpan banyak luka. Dia sangat menghindari topik tentang keluarganya," ucap Marie sambil mengenang wajah gadis yang baru saja meninggalkan rumahnya.
"Dia anak yatim piatu ...."-Dengan cepat Marie menoleh dan menatap menuduh pada Hendrawan. Hendrawan serta merta mengangkat kedua tangannya ke atas dan menggeleng tegas.-"Papa gak ngelakuin background check, kok. Papa denger ini dari Calvint. Ingat? Calvint kan kepala bagian di divisinya jadi Calvint tau sedikit banyak tentang Giana."
Marie mengangguk paham. "Oh, jadi dia karyawan yang pernah diceritakan Calvint itu? Dia gadis yang hebat, ya? Gadis yang kuat."
Hendrawan mengangguk setuju. Ia pernah mendengar kisah Giana sekilas. Gadis itu hidup sebatang kara sejak usianya masih muda. Walau begitu, dia tak menyerah dan meneruskan hidupnya dengan tenang. Ia berhasil sekolah hingga jenjang sarjana dengan usaha sendiri. Bekerja dan belajar di waktu yang sama bukanlah sesuatu yang mudah. Itu sebabnya, ia menjadikan putra semata wayangnya itu menjadi junior dari Giana. Sepertinya, ia memang tak salah memilih orang.
------------------------------
1107.29062020Halo! Ada yang nungguin Giana? Mudah-mudahan ada, ya. Hehehe
Maaf atas keterlambatannya.
P. S. Kuotaku lagi sekarat. Mohon maklum, ini akhir bulan 😅😅😅P. S. S makasih buat yang udah baca dan vote ceritaku. Semoga ini bisa menghibur kalian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I? [COMPLETED]
ChickLitElsa Giana Saraswati atau yang kerap kali disapa Giana diutus oleh sang atasan menjadi tutor bagi salah seorang karyawan magang. Namun, karyawan magang ini bukanlah karyawan biasa. Melainkan putra tunggal dari bos besar tempat dirinya bekerja. Wala...