34

1.4K 122 2
                                    

"Pagi, Gi! Udah masuk aja," sapa Haykal setelah meletakkan tasnya di atas meja. Ia berjalan ke arah Giana yang sedang fokus mengerjakan bertumpuk-tumpuk faktur. "Baru keluar dari RS. Jangan terlalu diforsir, Gi,"

"Gak, kok, Kak. Gak diforsir," balas Giana santai, "Ngomong-ngomong, pagi juga, Kak," lanjutnya ceria. Ia menoleh ke arah Haykal dan memberikan sebuah senyum manis dan singkat membuat Haykal terpana.

Haykal terdiam beberapa saat hingga suara Giana menariknya kembali ke Bumi. "Eh? Apa?"

"Kak Haykal kenapa? Kok bengong?" Giana menaikkan sebelah alisnya.

Sekali lagi Haykal terpana dengan ekspresi Giana yang belum pernah dilihatnya selama lima tahun bekerja dengan gadis itu. Sebuah guncangan kasar menyentaknya. Saat ia menoleh ke kanan, ia sudah mendapati wajah semigrah Bayu yang menatap Giana.

"Kok tadi gak nungguin aku, sih, Ca?" rajuk Bayu seperti seorang anak kecil.

Giana menghela napas panjang, "Kamu lama, Gilang. Lagian buat apa kamu jemput aku? Aku kan biasanya berangkat sendiri."

Bayu melongo. Matanya membulat tak terima. "Gak bisa dong! Masa aku mau-mau aja biarin calon istri aku berangkat kerja sendiri. Calon suami macam apa aku?" ucap Bayu—tak lupa ia tekankan kata 'calon istri' dan 'calon suami'.

Haykal yang sedari tadi sibuk meneliti ekspresi baru Giana menoleh dengan cepat ke wajah Bayu. Hatinya mencelos mendengar ucapan Bayu. Apalagi ucapan Bayu tak dibantah sama sekali oleh Giana. Itu membuat hatinya hancur berkeping-keping. Mulutnya mendadak kering. Lidahnya kelu untuk mengucapkan apapun. Tubuhnya kaku dan otaknya macet.

"Wah! Kalian mau nikah?" Siska yang baru saja datang, turut berkomentar  dengan nada riang. Walau terselip sedikit nada iri, tetapi Siska tak memperlihatkannya sama sekali.

Bayu mengangguk antusias. "Iya, nih, Kak. Nanti kalau udah ada undangannya saya kasih ke kakak, deh."—Bayu kemudian menoleh ke arah Haykal dan memamerkan senyum kemenangannya.—"Kak Haykal juga. Nanti gue kasih. Harus datang, loh."

Giana menginjak kaki Bayu gemas dan melotot tak kentara pada pemuda itu yang dibalas dengan kerlingan nakal. Pemuda itu menggerakkan bibirnya tanpa suara, "sengaja".

Haykal yang masih kaget tak langsung merespons. Ia terdiam selama beberapa detik sebelum mengangguk kecil. "Ya, tentu."—Seulas senyum bahagia ia paksakan.—"Selamat, ya. Semoga hubungan kalian langgeng."

Bayu mengangguk mantap. "Kalau itu mah ... harus, Kak. Harus langgeng. Gue gak bakal lepasin Gia lagi setelah pencarian gue selama hampir lima belas tahun. Cuma dia satu-satunya wanita di hidup gue."

Giana tak dapat menyembunyikan rona merah di wajahnya. Bibirnya tertarik membentuk senyuman bahagia. Saking malunya, Giana tak menyadari banyak mata yang tertegun melihat ekspresi barunya.

"Ternyata lo bisa senyum juga, ya?" celutuk Desi takjub membuat Giana salah tingkah. Ia segera membuang muka dan memilih fokus kembali ke pekerjaannya—mengabaikan orang-orang yang masih sibuk merumpi mengenai perubahan dirinya tepat di belakangnya. Walau ia merasa amat risi, ia memilih untuk mengabaikan hal itu agar bisa menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.

"Ca, ayo pulang," ajak Bayu untuk kesekian kalinya yang hanya ditanggapi Giana dengan gumaman tak jelas. Matanya masih sibuk beralih dari layar komputer ke faktur yang tengah diinputnya—berulang kali.

Bayu menghela napas panjang. Ia memutuskan untuk menyerah karena mengajak Giana yang tengah fokus bekerja adalah hal yang sia-sia. Setengah jam berlalu, Giana masih sibuk beralih dari satu faktur ke faktur lainnya membuat Bayu kesal. Sekarang juga sudah terlalu malam—pukul 21.00 tepat.

Bayu yang kesal pun memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia membereskan faktur yang sudah dikerjakan oleh Giana dan membawanya ke lemari arsip, lalu kembali ke kubikel Giana dan membereskan faktur yang belum—serta yang sedang dikerjakan—Giana. Kemudian menyimpannya ke lemari arsip. Senyum puas tercetak di wajahnya saat melihat Giana mengomeli tindakannya sembari mematikan komputer.

"Nah! Ayo pulang," ajak Bayu ceria mengabaikan kekesalan Giana. "Sebelum pulang, makan dulu," lanjutnya dengan wajah tanpa dosa.

Giana memilih diam. Ia tak merespons satu patah kata pun. Walau begitu, ia juga tak menolak ke mana pun Bayu membawanya pergi. Ketika sampai di rumah makan sederhana di dekat kontrakannya, Giana pun masih setia dengan diamnya. Membiarkan Bayu memilihkan makanan untuknya. Saat makan pun, Giana masih mendiamkan Bayu. Bahkan ketika mereka berdua berjalan pulang ke kontrakan Giana pun, keduanya masih diliputi keheningan.

"Sampai!" seru Bayu dengan senyum manis yang menempel di wajahnya. Ia sama sekali tak terganggu dengan sikap diam dan wajah kesal Giana. Malah hal itu membuatnya merasa sangat amat senang.

Giana membuka kunci pintu dan masuk begitu saja. Saat pintunya akan tertutup, sebuah tangan kekar menahannya. Kemudian lengan kekar itu segera menariknya ke dalam pelukan. Tubuh Giana sempat kaku sesaat sebelum akhirnya menyerah dalam pelukan hangat itu. Kekesalannya rontok begitu saja. Gugur hingga tak bersisa.

Sebuah kecupan ringan mendarat di pipi Giana membuat gadis itu tersipu malu. Ia menundukkan wajahnya hingga membuat si pelaku terkekeh geli. Bayu meletakkan dagunya di bahu Giana dan berbisik pelan.

"Selamat malam. Mimpi indah. I love you."

Dentuman di balik dada kiri atas Giana semakin menggila. Perut Giana tergelitik. Hatinya menghangat, begitu pula wajahnya. Sebuah senyum bahagia tercetak di wajah manis itu dan menular ke wajah Bayu.

Saat Bayu hendak mengurai pelukannya, Giana menahan lengan tersebut. Kemudian berbisik pelan—amat sangat pelan—"Love you too."

Mata Bayu membelalak lebar. Tak pernah ia sangka akan mendapatkan jawaban seperti itu dari Giana. Rona bahagia tercetak jelas di wajah tampannya. Segera dibaliknya tubuh Giana dan membawanya ke dalam dekapannya. Ia mengecup puncak kepala gadis itu lama.

"Gilang, lepas," pinta Giana sembari mendorong Bayu sekuat tenaga. Bukan karena ia tak suka dipeluk oleh Bayu. Bayu memeluknya terlalu kuat hingga ia kesulitan bernapas. Semenit perjuangannya yang sia-sia, Giana memilih untuk melancarkan cubitan di pinggang Bayu. Dan berhasil ... dekapan erat Bayu—yang nyaris membunuhnya—terlepas diiringi dengan ringisan kesakitan pemuda itu.

"Sakit tau? Kenapa dicubit, sih, Ca?" protesnya sembari merengut. Tangannya sibuk mengusap-usap pinggangnya yang terasa pedas.

Giana tersenyum senang. "Biar aja. Lagian cubitan itu gak sebanding sama nyawa aku yang nyaris melayang karena bekapan kamu."

Bayu merengut. Tak terima dekapannya disebut bekapan. Melihat Giana yang menatapnya balik dengan berani seolah menantangnya, muncul sebuah ide jail. Dengan cepat—dan tanpa peringatan—Bayu mengecup bibir Giana. Giana mematung akibat tindakan yang sama sekali tak diduganya selama beberapa detik.

Giana tersadar saat mendengar tawa puas yang meluncur dari bibir Bayu. Belum sempat ia layangkan omelan, Bayu sudah memotongnya terlebih dahulu.

"Aku pulang dulu, ya. Kamu mandi sana. Bau!" Bayu menutup hidungnya dengan wajah jijik.

Giana menggeram. Ingin rasanya ia melempari pemuda itu dengan sandal dan juga kata-kata sadis. Akan tetapi, yang keluar dari mulutnya sangatlah berbeda dari niat awalnya.

"Hati-hati di jalan, Gilang. Kalau sudah sampai kasih tau, ya?"

Bayu terkekeh. Ia mengangguk sembari membentuk huruf 'O' dengan melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya.

-------------------------------
1084.26082020

Adakah yang juga merasakan kekesalanku karena gak wp tiba-tiba gak bisa update cerita??

Can I? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang