Bayu menatap Giana khawatir. Pasalnya sudah tiga hari belakangan, Giana terlihat sedang tak fokus. Gadis itu sering terlihat melamun hingga banyak pekerjaannya menjadi kacau. Seperti halnya saat ini, Giana diminta untuk menyerahkan laporan pengeluaran bulan Juni, tetapi yang diserahkannya adalah laporan bulan Mei.
"Kita harus bicara sebentar." Bayu menarik tangan Giana dan menyeretnya menuju atap begitu jam istirahat dimulai.
"Kamu tuh kenapa? Aku perhatikan sejak kita pisah sama cewek gila itu, kamu jadi lebih pendiam dan juga sering gak fokus." Bayu meremas bahu Giana pelan.
Giana mendongak, lalu menatap sekeliling dengan linglung seolah jiwanya baru saja kembali ke dalam tubuhnya. Saat menyadari dirinya di atas atap, dia menatap Bayu heran dan tanpa sadar menyuarakan keheranannya dengan keras. "Kok bisa di atap?"
Bayu menjambak rambutnya frustrasi. Helaan napas gusar lepas ke udara. Setelah yakin dirinya sudah lebih tenang, Bayu menatap Giana khawatir. "Kamu kenapa? Kalau ada apa-apa cerita, Gia."
"Saya tidak apa-apa," balas Giana sambil menolak menatap Bayu. Ia melihat ke atas langit berusaha mengurai kekusutan di otaknya. Biasanya ia akan merasa tenang setelah melihat langit, tetapi kali ini ia malah menjadi semakin gelisah. Tubuhnya limbung akibat sekelebat bayangan tak menyenangkan menyapa otaknya sejenak. Beruntung Bayu segera menahannya.
Bayu menarik napas dalam dan mengembuskannya secara perlahan. "Kalau kamu gak mau bicara sama aku, aku harus bawa kamu ke Noah. Beresin barang-barang kamu sekarang."
Kembali lagi Bayu menyeret Giana yang sudah tenggelam dalam dunianya sendiri. Keadaannya kali ini benar-benar kacau, wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar ketakutan. Begitu Bayu menarik Giana ke ruangan Calvint untuk meminta izin pulang, Calvint segera menyanggupinya.
"Noah, lo ada di mana?" Bayu men-dial nomor Noah dalam ponsel pintarnya.
Bayu mengangguk tegas, tetapi sesaat kemudian tersadar bahwa lawan bicaranya tak dapat melihat responsnya. "Oh, oke. Gue ke sana sekarang."
"Ngapain kita ke tempat Noah?" tanya Giana bingung.
Bayu tersenyum singkat. "Karna kamu butuh Noah."
Giana hanya terdiam. Ia tak mengerti mengapa Bayu terlihat begitu sedih dan tertekan. Ia menatap Bayu menyelidik. Melihat Bayu dari samping begini, entah mengapa Giana merasa Bayu begitu familiar.
"Kamu sudah selesai menganggumiku, Nona? Kalau belum, bisa dilanjutkan nanti saja soalnya kita sudah sampai," canda Bayu sambil mengedipkan sebelah matanya pada Giana.
Wajah Giana memerah. Buru-buru ia melepas sabuk pengamannya, lalu berlari menuju tempat praktik Noah.
"Kenapa? Ada apa?" tanya Noah kaget saat Giana mendobrak pintu masuk dengan keras.
Giana menggeleng pelan. "Bukan apa-apa."
Noah mempersilakan Giana duduk. "Kamu kenapa? Muka kamu pucat. Udah berapa hari kamu gak tidur?"
Giana mengelupas kulit yang ada di sekitar kuku jarinya dan menatap Noah bersalah. "Maaf."
Noah menggeleng pelan. "Aku tanya bukan buat nuntut permintaan maaf dari kamu, Gia."
Giana mengangguk pelan. Ia mengerti-amat sangat mengerti. Akan tetapi, ia masih tak bisa menceritakannya. Bukan tak bisa, ia tak tahu harus mulai dari mana. Noah memang mengetahui masa lalunya, tetapi tidak semua. Masih ada beberapa hal yang ia simpan untuk dirinya sendiri karena ia belum berani untuk membukanya.
Noah meremas bahu Giana pelan. "Ya, sudah. Kalau kamu gak bisa cerita. Aku juga gak bisa apa-apa."
Giana memaksakan dirinya untuk tersenyum. "Aku ... aku ... gak tahu. Harus mulai dari mana ... aku gak tahu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Can I? [COMPLETED]
ЧиклитElsa Giana Saraswati atau yang kerap kali disapa Giana diutus oleh sang atasan menjadi tutor bagi salah seorang karyawan magang. Namun, karyawan magang ini bukanlah karyawan biasa. Melainkan putra tunggal dari bos besar tempat dirinya bekerja. Wala...