11

1.9K 201 18
                                    

Giana sudah bertekad, ia akan meminta maaf atas kekasarannya tempo hari pada Bayu. Pagi-pagi begitu sampai di kantor, Giana segera menghidupkan semua peralatan elektronik yang diperlukan, lalu ia duduk di kubikelnya dengan gelisah-menunggu kedatangan Bayu.

Sepuluh menit berlalu, orang yang ditunggunya pun datang. Giana segera berdiri dari tempatnya duduk. Matanya mengikuti setiap gerakan Bayu dengan tatapan datar-tetapi dari sudut pandang Bayu terlihat seperti marah.

"Pagi, Gi! Pagi-pagi udah serem aja," komentar Bayu agak rikuh karena pandangan Giana masih belum lepas dari gerak-geriknya. Ia rasa, jika tatapan Giana bisa memancarkan laser, mungkin saja ia sudah menjadi potongan-potongan daging yang tak berbentuk lagi.

Giana terdiam. Ia memandang Bayu kesal. "Siapa yang marah?" ketusnya tak terima.

"Lah? Itu ... marah," balas Bayu kebingungan. Ia tak tahu harus mengartikan keketusan Giana sebagai apa jika bukan sebagai rasa marah.

Giana menarik napas dalam dan menyemburkan kata-katanya dalam satu tarikan napas, "Maafkan aku soal tempo hari. Aku keterlaluan, maaf atas sikap kekanakanku." Ia kemudian berbalik dan memfokuskan diri pada komputernya.

"Dan aku tidak sedang marah," gumamnya kecil, namun masih dapat ditangkap oleh indra pendengaran Bayu.

Bayu terkekeh kecil. "Permintaan maafmu diterima. Aku juga mau minta maaf atas kelancanganku. Maaf atas ketidaksopananku. Kamu memang berhak marah karena kurasa ... aku terlalu ikut campur?"

Giana mendongak demi mendapatkan Bayu yang sudah bersender di kubikelnya sambil tersenyum manis. Tanpa bisa dicegah, kedua otot pipi gadis itu tertarik hingga membentuk sebuah senyum kecil nan tipis.

"Kamu cantik kalau tersenyum seperti itu," gumam Bayu terpesona. Matanya mengunci senyum Giana yang sudah memudar dan merekam senyum tersebut di dalam otaknya, lalu menyimpannya sebagai salah satu memori yang berharga.

"Sepertinya hari ini adalah hari keberuntunganku. Ini pasti hari yang baik," ucap Bayu senang sebelum meninggalkan Giana yang termangu tak mengerti.

Giana memilih tak memikirkan ucapan Bayu lebih lanjut dan hanya fokus pada pekerjaannya. Ia harus bisa menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin karena ada sebagian waktunya yang terpotong untuk memberikan penjelasan atas pekerjaan pemuda tersebut.

Giana yang terlalu fokus-hampir sudah melupakan sekitarnya-terlonjak kaget ada yang menyentuh bahunya. Ia mendongak dan mendapati Bayu menatapnya bersalah.

"Maaf. Kaget, ya?" tanya pemuda itu tak enak.

Giana hampir saja mengangguk, tetapi anggukan itu tertahan karena malu. Ia pun segera mengalihkan topik pembicaraan. "Kenapa? Ada yang mau ditanyakan?"

Bayu menggeleng pelan hingga membuat Giana mengangkat alisnya heran. Pemuda itu menunjuk ke arah pintu dan berucap pelan, "Udah jam makan siang. Diajak makan siang bareng sama mereka. Mau ikut?"

Giana menatap jam yang tertera di sudut kanan monitor miliknya. Sudah pukul 12 lewat 10 menit rupanya. Giana menggeleng pelan. "Pergi saja," ucapnya pelan.

"Bayu! Ayo! Lama banget, sih, kamu? Buat apa kamu ngajakin Giana?" Siska yang rupanya sudah tak sabar mendekati Bayu dan bergelayut manja di lengan pemuda tersebut.

Giana menatap Bayu yang menatapnya memelas dengan tatapan kasihan. Ia yakin sekali bahwa pemuda itu sebenarnya tak ingin, namun tak kuasa untuk menolak. Giana menghela napas panjang.

"Kalau memang tidak mau, tolak saja. Seperti yang sudah pernah kubilang. Ini hidupmu, kamu berhak untuk mengambil pilihan. Jangan melulu ikutin apa kata orang," ucap Giana tanpa menoleh ke arah Bayu.

Can I? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang