Bayu terdiam di tempatnya duduk. Ia memutar otaknya cepat, mengulangi setiap adegan yang baru saja terjadi. Ia tak merasa ada yang salah dengan perkataannya. Akan tetapi, kenapa Giana begitu marah?
"Tunggu!" Mata Bayu membulat seolah mengingat sesuatu yang penting.
"Ada batas yang gak boleh kamu lewati kalau masih ingin tetap menjadi teman," gumamnya mengulangi kalimat terakhir Giana sebelum hengkang dari tempatnya sembari mengusap dagunya dengan jari telunjuknya.
Keningnya berkerut dalam. Otaknya bekerja cepat memikirkan segala kemungkinan yang ada. "Apa maksudnya itu? Apa gue kelewatan? Tapi sepertinya enggak, deh. Ya, sudah lah. Nanti gue minta maaf aja."
Pemuda itu beranjak dari tempat duduknya dan melangkah gontai menuju gedung perkantorannya. Saat memasuki gedung, ia menyapa satpam dan resepsionis yang ia kenal dan juga beberapa kenalannya yang juga baru sampai. Begitu sampai di ruangannya, ia segera melangkah mantap menuju kubikel Giana.
"Loh?" serunya heran saat mendapati kubikel Giana tak berpenghuni.
Ditolehkan kepalanya ke arah kanan dan ditoelnya wanita yang duduk santai sembari menyumpal telinganya dengan earphone. "Kak, Giana ke mana?"
Sierra mendongak, menatap Bayu sejenak sebelum melongokkan kepalanya ke dalam kubikel Giana. "Eh? Kok tumben belum datang? Tapi UPS sama printer udah idup, kok. Harusnya udah datang. Mungkin di toilet."
"Mungkin aja," gumam Bayu sembari berpikir, "thanks, Kak. Gue balik dulu kalau gitu," lanjutnya sambil menepuk pelan pundak Sierra.
Lima belas menit lagi sudah mau jam delapan tepat. Namun, Giana yang sudah ia tunggu lima menit lamanya tak kunjung kembali ke kubikel. Jangankan orangnya, tas yang tadinya ada di sana bahkan sekarang sudah lenyap tak bersisa. Bayu menjadi semakin gelisah.
Bayu melirik jam di tangannya, lalu menatap nyalang kubikel Giana yang masih kosong. Tiga menit menuju jam delapan, tetapi pemilik dari kubikel itu belum kembali. Ia yakin sekali kalau Giana sudah sempat sampai di kantor bahkan sudah sampai di kubikelnya karena tas ransel milik Giana telah raib.
"Bay, lo udah belajar sampai mana? Kerjaan lo masih ada, 'kan?"
Bayu sedikit kaget saat suara Haykal menginterupsi pemikirannya mengenai Giana. Detik selanjutnya, Bayu menatap Haykal heran. "Masih, tapi kenapa lo tanya, Kak?"
"Giana gak kasih tau lo kalau hari ini dia gak masuk?" tanya Haykal tanpa menjawab pertanyaan Bayu.
Kerutan di dahi Bayu semakin dalam. "Giana? Gak masuk?" ulangnya heran. Jelas-jelas tadi Giana sarapan bersamanya dan mereka terlibat perdebatan. Akan tetapi, sekarang Haykal bilang Giana tidak masuk? Kalau tidak masuk, yang tadi pagi itu siapa? Setannya Giana?
"Iya. Giana gak masuk. Tadi dia permisi pulang sama Pak Calvint. Udah. Lo kerjain aja kerjaan lo dulu. Kalau ada yang gak lo ngerti, lo boleh tanya gue. Kalau gak mau tanya gue, lo boleh langsung tanya ke Pak Calvint," jelas Haykal, lalu kembali duduk di kubikelnya.
"Kenapa?" gumam Bayu tak mengerti. Setelah berpikir cukup lama dan tak menemukan jawabannya, Bayu memilih mempercepat kerjanya agar bisa pulang tepat jam lima sore. Kemudian ia akan langsung ke rumah Giana.
**
Giana meringkuk di atas ranjangnya dililit oleh selimut tebal. Di wajahnya terdapat bekas air mata yang masih belum mengering. Sementara itu, di lengan kanan yang terjulur keluar-tidak terbalut selimut-terdapat bekas gerosan-goresan dan juga bekas darah yang mulai mengering.
Giana mengerang saat suara gedoran pintu mengganggu tidurnya. Gadis itu merenggangkan tubuhnya, lalu menendang-nendangkan kakinya kesal. Tak pernah ia mendapatkan tamu setaksabaran itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I? [COMPLETED]
Literatura FemininaElsa Giana Saraswati atau yang kerap kali disapa Giana diutus oleh sang atasan menjadi tutor bagi salah seorang karyawan magang. Namun, karyawan magang ini bukanlah karyawan biasa. Melainkan putra tunggal dari bos besar tempat dirinya bekerja. Wala...