Suara tuts papan ketik yang ditekan saling bersahutan seolah menjadi sebuah harmoni yang sangat indah di ruangan tersebut. Beberapa menit berlalu, irama entakkan sepatu yang keras turut serta memeriahkan orkestra itu. Tanpa perlu bertanya, mereka sudah tahu bahwa pemilik entakkan tersebut tengah kesal.
Entakkan tersebut berhenti di depan sebuah kubikel yang berisi seorang gadis yang tengah menatap komputernya serius dengan tangan yang menari lincah di atas tuts papan ketik.
"Gi, lo dipanggil sama Pak Calvint." Nada suara tersebut terdengar tak bersahabat seolah tengah mengumumkan hukuman mati.
Gadis itu mendongak, lalu mengangguk pelan. Ia menatap wajah mendung di depannya datar, ia tahu jelas bahwa gadis itu baru saja ditegur oleh atasan mereka. "Jangan diambil hati ucapan Pak Calvint," ucapnya pelan sebelum meninggalkan gadis itu dengan langkah gontai.
Sesampainya ia di ruangan yang berlabelkan "Kepala bagian", Giana mengetuk pintu kayu coklat itu dua kali. Ia berdiri tegak sambil menunggu dipersilakan masuk.
"Masuk!" Walau suara bariton dari dalam terdengar tak bersabahat, Giana tetap santai melangkah masuk. Ia membuka dan menutup pintu dengan gerakan sehalus mungkin.
Sembari berdiri di samping pintu, ia bertanya, "Ada apa Bapak memanggil saya?"
"Duduk!" Perintah tersebut dilontarkan tanpa melihat wajah sang lawan bicara. Walau begitu, Giana tak terlihat kesal sama sekali. Ia dengan patuh duduk di kursi yang dimaksudkan sembari bertanya-tanya apa kesalahan yang telah ia perbuat.
"Giana."
"Ya, Pak?" Giana mendongak dan menatap lurus ke arah Calvint.
"Saya sudah lihat laporan petty cash yang kamu kerjakan. Semuanya rapi dan jelas. Kerja bagus," puji Calvint sembari memamerkan senyum bangganya.
"Ya? Terima kasih, Pak," balas Giana sopan. Giana menautkan alisnya karena yakin Calvint memanggilnya ke ruangan bukan hanya untuk memujinya. "Saya yakin maksud Bapak memanggil saya ke sini bukan hanya untuk memuji saya saja," ucap Giana karena Calvint telah memberi jeda selama beberapa menit.
Calvint mengangguk membenarkan. Wajahnya terlihat puas dengan ketanggapan karyawannya yang satu itu. "Kamu memang jeli, Giana. Baiklah. Saya tidak akan berbasa-basi lagi. Beberapa hari lagi, kita akan kehadiran seorang karyawan magang. Kamu tahu?"
Giana menggeleng. "Bukankah kita memang sering kedatangan karyawan magang, Pak?"
Sekali lagi Calvint mengangguk membenarkan hingga membuat keheranan menghiasi otak Giana. "Lalu apa masalahnya, Pak?"
"Kali ini, karyawan magangnya berbeda. Kamu tahu kalau Pak Hendrawan memiliki seorang putra?"
Pertanyaan dari Calvint membuat pemikiran Giana menjadi terbuka. "Karyawan magang kali ini adalah putra Pak Hendrawan? Lalu?"
"Saya ingin kamu yang melatih karyawan magang tersebut nantinya." Giana membatu mendengar ucapan Calvint. Apa maksud dari kata-kata Calvint? Kenapa dirinya yang harus melatih karyawan magang padahal biasanya ada orang lain yang lebih mampu melatih karyawan tersebut.
"Kenapa harus saya?" Giana bertanya tanpa bisa menyembunyikan ketidaksukaannya pada tugas barunya ini.
Calvint mengangguk pelan. "Ya. Benar. Kenapa harus kamu? Karna saya tahu kamu bisa melakukannya. Lagi pula, sudah seharusnya kamu memiliki bawahan setelah lima tahun lamanya kamu bekerja, 'kan?"
Giana membuka mulutnya hendak memprotes, tetapi langsung dipotong oleh Calvint. "Saya tidak menerima penolakan, Giana. Saya tahu kamu kapabel dalam tugas ini. Tidak ada orang lain yang sekapabel kamu dalam hal ini. Ajari dia apa yang kamu ketahui dengan baik. Jangan khawatir, dia bukan karyawan magang biasa. Dia tak akan membuat masalah untukmu. Saya bisa menjaminnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I? [COMPLETED]
ChickLitElsa Giana Saraswati atau yang kerap kali disapa Giana diutus oleh sang atasan menjadi tutor bagi salah seorang karyawan magang. Namun, karyawan magang ini bukanlah karyawan biasa. Melainkan putra tunggal dari bos besar tempat dirinya bekerja. Wala...