Giana menggenggam silet yang ada di tangannya dengan erat. Bibir bawahnya juga ia gigit dengan keras hingga berdarah. Darah mengalir dari kedua sisi lengannya yang sudah disayat-sayat. Senyum miris tercetak di bibirnya yang juga berdarah.
Gedoran keras membuat Giana terkaget. Ia memandang ke arah ruang tamu dari kamarnya yang terbuka dengan malas. Ia tak ingin bertemu dengan siapapun saat ini.
"Gia! Gia!"
Kali ini, bukan hanya gedoran keras yang menyapa gendang telinga Giana, ia juga mendengar suara panik seseorang yang meneriakkan namanya berulang kali. Akan tetapi, ia terlalu malas untuk membuka pintu dan mempersilakan tamunya masuk. Apalagi, badannya juga lemas dari akibat perbuatannya dari dua jam yang lalu. Selain itu, ia tak bisa membiarkan orang lain melihatnya dalam keadaan sekacau ini.
Biar saja. Nanti juga pergi, begitulah pikirnya. Sejenak ia merasa bersyukur karena tak menghidupkan sebuah lampu pun di rumahnya karena dengan begitu orang-orang akan mengira ia tak berada di rumah.
Giana menatap sekitarnya nanar. Senyum miris lagi-lagi terukir di wajahnya yang pucat.
"Berubah apanya? Lo masih sama aja, El. Lo cuma sampah yang gak pantas buat hidup!" lirihnya sambil menatap langit-langit kamarnya nanar.
Gedoran kembali terdengar membuat mata Giana yang hampir tertutup kembali terbuka. Giana menghela napas gusar. Kesal akan kekeras kepalaan orang yang berada di balik pintu. Namun, ia juga masih tetap tak ingin bergerak semili pun mendekat ke arah pintu.
"Gia! Aku tahu kamu di dalam. Tolong buka pintunya! Aku mohon! Tolong bicara ke aku! Apapun itu yang membuat kamu terpuruk. Biarkan aku menjadi sandaran kamu. Tolong jangan abaikan aku lagi seperti dulu! Aku mohon!"
Tubuh pemuda itu meluruh. "Aku bakal tungguin kamu sampai kamu keluar."
Pemuda itu menyenderkan badannya ke pintu dan menundukkan kepalanya. Ia menyembunyikan kepalanya di antar kedua kakinya yang sudah ia lipat ke atas guna menutupi wajahnya yang sudah bersimbah air mata.
Giana menatap kosong pada ruang tamunya. Ia mendengar ucapan pemuda itu, walau ia tak bisa mengenali suaranya. Ia merasa suara tersebut sangatlah familiar. Entah mengapa, ada sebuah perasaan yang tak pernah ia rasakan mengusik hatinya dan membuatnya gelisah.
Ia masih diam di tempat. Ujung matanya melirik jam kecil yang ada di atas mejanya. Sudah dua jam berlalu dari gedoran terakhir yang disertai kalimat bahwa pemuda itu akan terus menunggunya hingga ia keluar. Logikanya mengatakan bahwa pemuda itu sudah pulang, tetapi hatinya menolak.
Dirinya terlibat perang batin yang membuatnya semakin tertekan. Apalagi di luar sana, hujan mulai turun dengan derasnya. Gadis itu mulai bangkit, tubuhnya sudah ada tenaga akibat sempat ketiduran tadi. Ia bergerak membereskan kaca-kaca yang ia pecahkan dan membuangnya ke tempat sampah—begitu juga dengan pisau silet yang ia gunakan untuk mengiris lengannya.
Setelah membereskan pecahan kaca di kamarnya dan mengepel bekas darah, Giana menuju kamar mandi dan mulai membersihkan darah di tangannya yang sudah mulai mengering. Setelahnya ia memberikan obat pada luka-lukanya agar besok pagi tak infeksi. Setelah selesai semua, Giana berjalan menuju ruang tamu dan duduk sambil melipat kakinya ke atas sembari menatap pintu luar dengan penuh harap.
Giana tak menyalakan lampu. Ia hanya duduk diam sambil menatap pintu hingga ia mendengar suara 'gedebuk' yang cukup keras. Ia turun dari tempat duduknya dan berjalan menuju jendela dan mengintip. Ia melihat ada seseorang berjaket hitam dan bercelana jeans hitam berdiri di depan pintu rumahnya. Sepertinya pemuda itu kedinginan karena badannya gemetaran begitu kencang.
Giana bergerak menuju pintu dan memegang handel pintu dengan ragu. Ia kasihan pada pemuda itu dan ingin mempersilakannya masuk, tetapi ia takut jika pemuda itu adalah orang jahat. Di saat dirinya bimbang seperti itu, ia mendengar lirihan penuh luka dari balik pintu.
"Aku harap kamu akan selalu berbagi sama aku. Mirip kayak waktu kita kecil dulu. Soalnya pas kecil kamu hanya membagikan kebahagian kamu. Aku mau ... mulai sekarang bukan hanya hal bahagia yang kamu bagi sama aku, tapi juga hal-hal yang membuat kamu sedih. Please, Ca! Balik ke aku. Aku janji bakal selalu jaga kamu mulai sekarang. Aku gak akan ngelepas kamu lagi. Aku mohon ... jangan tinggalin aku lagi, Ca. I love you, Eca. I need you more than you think."
Mata Giana terbelalak. Sebelum sempat otaknya berpikir apapun, tangannya bergerak lebih cepat memutar kunci dan menarik handel pintu hingga terbuka lebar. Ia lebih kaget lagi saat melihat wajah pemuda itu.
"Bayu?" serunya tak percaya.
Tidak. Giana menggelengkan kepala tak percaya. Ia pasti berhalusinasi. Tak mungkin Bayu memanggilnya dengan sebutan 'Eca'. Di dunia ini, hanya satu orang yang memanggilnya begitu. Dan orang itu adalah Gilang.
"Iya, Ca. Ini aku. Gilang. Gilang anak yang tinggal di Panti Asuhan yang di dekat rumah kamu dulu. Gilang yang selalu ngintilin kamu ke mana-mana. Gilang yang selalu nyariin kamu begitu kamu udah pulang sekolah. Gilang yang selalu kamu usir pulang waktu ayah kamu pulang," balas Bayu panjang lebar sambil menarik Giana ke dalam pelukannya.
"Tunggu!" Giana mendorong tubuh Bayu yang basah kuyup. Ia menatap Bayu tak mengerti. Otaknya terlalu macet untuk bisa mencerna informasi yang baru saja disampaikan Bayu.
"I miss you, Ca. Very much." Bayu mengusap pipi Giana lembut. Matanya menyelam ke dalam mata Giana untuk mencari tahu emosi apa yang tengah dirasakan Giana. Ia melihat begitu banyak emosi di sana. Sedih, panik, senang, rindu, takut. Dan yang paling besar adalah rasa tak percaya. Bayu mengerti mengapa Giana merasakan demikian.
"Ini beneran aku, Eca. Aku. Gilang. Ini bukan hanya khayalan kamu." Bayu menarik tangan Giana dan meletakkannya di pipinya sendiri. Detik selanjutnya, Bayu melihat pancaran bahagia di mata yang selalu sendu itu. Ia langsung menarik tubuh Giana ke dalam pelukannya.
Giana merasakan ketenangan membanjiri tubuhnya. Akan tetapi, hanya sesaat. Lagi-lagi ucapan Ariel beberapa hari yang lalu terngiang di telinganya.
'Dia sudah keluar dan sekarang lagi nyariin lo.'
Tubuh Giana menegang. Ia mendorong tubuh Bayu dengan keras—mengurai pelukan mereka. Ia tak boleh seperti ini. Ia tak boleh bersama seseorang. Apalagi jika orang itu telah kembali.
"Sesuai perkataan kamu. Kamu bakal pergi kalau saya keluar, 'kan? Sekarang saya sudah keluar, jadi kamu boleh pulang sekarang," usir Giana dingin. Tatapan Giana begitu dingin hingga tanpa sadar Bayu menggigil dibuatnya. Tanpa menatap Bayu lagi, Giana berjalan masuk ke dalam rumahnya meninggalkan Bayu yang terpaku akibat perubahan sikap Giana yang begitu drastis.
---------------------------------
1018.28072020Halo!
Setelah sekian lama Giana dan Bayu kembali. Maapkan kalau kelamaan.
Sebenarnya aku galau mau update apa gak, soalnya wp lagi eror kan?
Tapi kalau misalnya gak update", gak enak juga.
Jadi... Aku putuskan buat masa bodo aja sama keeroran wp..
Wkwkwkkwkw..
Semoga kalian suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I? [COMPLETED]
Chick-LitElsa Giana Saraswati atau yang kerap kali disapa Giana diutus oleh sang atasan menjadi tutor bagi salah seorang karyawan magang. Namun, karyawan magang ini bukanlah karyawan biasa. Melainkan putra tunggal dari bos besar tempat dirinya bekerja. Wala...