Bayu mencondongkan badannya ke depan dan bertanya pelan, "Kenapa? Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa," potong Giana cepat sembari menyendokkan nasi goreng ke dalam mulutnya dengan penuh dendam. Matanya melotot menatap Noah-mengode pria itu agar diam. Akan tetapi, sepertinya pria itu tak mengerti-atau mungkin lebih tepatnya pura-pura tak mengerti.
"Kamu tau film Final Destination?" tanya Noah berusaha memasang tampang sepolos mungkin.
Giana jengkel. Ia menggebrak meja dengan keras, lalu bangkit dari duduknya. Kemudian, ia berjalan cepat untuk membungkam mulut Noah yang sudah terbuka.
"Bisa diam aja gak?" desisnya mengancam.
Noah tersenyum puas dalam bekapan Giana. Ia menggeleng sembari menahan tangan Giana menjauh dari bibirnya.
"Tau gak?" ulang Noah pada Bayu.
Bayu mengangguk sekali dengan wajah heran. Apa hubungannya film itu dengan takut naik wahana roller coaster?
"Tau. Gue udah nonton semua serinya," jawab Bayu tak mengerti.
Noah tersenyum puas. "Kamu ingat? Di salah satu serinya kan ada yang meninggal karena main roller coaster ..."
Mata Bayu melebar. Seberkas senyum terbit di wajahnya seolah ia baru saja memecahkan misteri yang sangat sulit. Tanpa sadar ia menepuk kedua tangannya dengan semangat.
"Oh, jadi karena itu?" Matanya beralih pada Giana yang masih berada di belakang Noah, "Kenapa gak bilang aja dari tadi?" tanyanya ringan.
Giana menatapnya aneh. Respon yang ditunjukkan Bayu sangat berbeda dengan perkiraannya. Bukannya tertawa, Bayu malah bertanya padanya dengan santai seolah itu bukanlah hal yang aneh. Giana terdiam tak tahu harus bertingkah bagaimana.
"Ya, malu lah! Apalagi?" Clara menggantikan Giana untuk menjawab pertanyaan Bayu.
Bayu mengangguk setuju, "Iya, sih. Pasti banyak orang yang mikir kalau itu sesuatu yang aneh. Dan pasti juga banyak yang bakal ketawa kalau denger. Padahal kan seharusnya ga boleh gitu. Rasa takut kan bukan sesuatu yang kita ciptakan sendiri dengan sengaja."
Noah mendongak dan menatap Giana lembut, "Tuh! Dengar, 'kan? Dia itu beda, bisa ngerti. Jadi kalau ada apa-apa, kalau kamu butuh teman cerita dan gak mau cerita ke aku. Kamu boleh cerita ke dia. Paham?"
Giana terdiam. Rupanya itu hanya ujian dari Noah dan Clara untuk Bayu. Dan yang paling tidak ia sangka adalah Bayu berhasil melewati ujian itu dengan baik.
"Paham gak?" ulang Noah kembali saat tak mendapatkan jawaban dari Giana.
Mau tak mau, Giana hanya mengangguk. Walau sebenarnya, entah kenapa ia tak ingin membicarakan apapun pada Bayu, tetapi setidaknya untuk menyudahi perdebatan antara dirinya dan Noah ia harus mengangguk. Noah tersenyum puas dan melepaskan tangan Giana, lalu mendorongnya tubuhnya menjauh. Giana pun kembali duduk dengan tenang.
"Ngomong-ngomong, Gi, kenapa kamu nonton film kayak gitu kalau kamu orangnya parnoan gini?"
Pertanyaan tiba-tiba dari Bayu membuat Giana tersedak. Buru-buru Clara menyodorkan minum pada Giana yang segera diseruputnya. Setelah batuknya reda, Giana merasa risih karena tiga pasang mata tengah menatapnya penuh antisipasi.
"Apa?" salaknya sembari melotot galak.
Clara menggeleng pelan, lalu memundurkan tubuhnya yang entah sejak kapan ia condongkan, "Itu ... alasan ..."
Giana menatap ketiga kepala itu dengan penuh perhitungan. Ia ragu apakah ia boleh memberitahukan alasannya apa tidak. Yah, sebenarnya tak ada yang melarangnya, hanya saja ia takut jika orang-orang akan mengatai dirinya aneh. Namun ketika matanya mendapati sorot bersahabat dari ketiga pasang mata yang menatapnya balik. Ia merasa bahwa mereka boleh mengetahui alasan tersebut. Walau ia ditertawakan oleh ketiganya, ia merasa ia akan baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I? [COMPLETED]
ChickLitElsa Giana Saraswati atau yang kerap kali disapa Giana diutus oleh sang atasan menjadi tutor bagi salah seorang karyawan magang. Namun, karyawan magang ini bukanlah karyawan biasa. Melainkan putra tunggal dari bos besar tempat dirinya bekerja. Wala...