13

1.7K 176 6
                                    

"Giana! Kenapa kamu gak datang di waktu yang kamu janjikan?"

Tanpa perlu menoleh Giana sudah tahu siapa yang menuntut penjelasannya barusan. Ia menatap Bayu dengan tatapan bersalah. "Aku minta maaf. Sepertinya hari ini kita tidak bisa bicara. Mungkin besok atau lusa. Kamu kembali saja dulu. Maaf, ya."

Bayu hanya diam dan menatap Giana dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia ingin bertanya pada Giana siapa pria itu, tetapi ia tahu bahwa ia tak berhak. Ingin rasanya ia mencegah Giana berbicara dengan pria itu, tetapi lagi-lagi ia tak berhak melakukan itu. Ingin rasanya ia ikut perbincangan tersebut. Namun sekali lagi, ia tak berhak melakukannya. Pada akhirnya, yang bisa dilakukannya hanya tersenyum dan mengangguk untuk mengiringi kepergian Giana dengan pria tersebut.

"Aku sudah bilang aku tak apa. Jadi kupikir aku tak perlu datang padamu untuk melakukan konseling lagi," ucap Giana begitu keduanya duduk dan memesan makanan.

Pria itu menghela napas panjang. Tanpa kata, ia menarik lengan Giana dan menyingsingkan lengan baju Giana dan memperlihatkan begitu banyak luka sayatan di sana.

"Ini yang kamu bilang tak apa?" tanya pria itu tajam.

Giana segera menarik lengannya dan menurunkan lengan bajunya. Ia menatap pria tersebut nanar. "Noah, tolong. Aku benar-benar tidak apa-apa. Sekarang. Itu luka minggu lalu. Sungguh. Saat ini, aku tak akan melakukannya lagi. Pikiranku sudah jernih."

Noah menghela napas lelah dan menatap Giana penuh pertimbangan. "Kali ini karena apa? Apa alasanmu untuk melakukan self harm lagi? Kamu sudah lama tak melakukannya. Sudah hampir 2 tahun, Gia."

Giana menatap Noah ragu. "Hanya teringat sesuatu. Ada hal yang membuatku tak sengaja mengingatnya. Bisakah kita sudahi ini? Sebentar lagi jam makan siang habis, aku harus kembali bekerja. Aku tak apa. Sekarang sudah baik-baik saja. Aku akan mengunjungimu nanti kalau aku tak baik. Ya?"

Noah menatap Giana lelah. "Baiklah. Hubungi aku kapan pun. 24 jam aku siap mendengarnya. Kamu tahu itu, 'kan? Pasien pertama."

Giana mengangguk dan terkekeh kecil. "Iya, Noah yang bukan calon psikiater lagi."

"Aku pergi." Noah mengacak-acak rambut Giana hingga membuat gadis itu memukul tangannya.

Giana ikut bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kafe. Ia mengangguk ke arah Noah yang berjalan berlawanan arah padanya.

Bayu langsung menghampiri Giana begitu melihat gadis itu masuk ke dalam ruangan. "Pacar lo, ya? Ganteng."

Giana menatap Bayu heran. Pacar? Siapa?

"Cowok tadi. Pacar lo, 'kan?" jelas Bayu mengingatkan Giana pada pria yang baru saja berpisah dengannya.

"Kalau iya kenapa? Kalau bukan kenapa?" tanya Giana santai.

"Jadi itu beneran pacar lo?" tanya Bayu tak terima. Rautnya terlihat seperti seorang prajurit yang baru saja menerima kekalahan di medan perang.

"Mana mungkin cowok tampan tadi pacarnya Giana," sela Siska, yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka, tak terima.

Giana memutar bola mata kesal. Ingin rasanya ia menjahit mulut tajam Siska agar tak dapat menyebarkan ketajamannya di mana-mana.

Can I? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang