13

35 6 1
                                    

Gadis itu masih terduduk di pinggiran kasur. Pandangannya tak lepas dari jejeran foto yang berada diatas nakasnya. Tangannya terulur untuk mengambil salah satu foto berbingkai coklat dengan sedikit sentuhan warna emas dipinggirnya. Gadis itu tersenyum getir melihat foto itu. Foto yang terdiri atas Ayah, ibu, kakaknya dan dirinya. Ia menghela napasnya sebentar. Membuang rasa sesak yang berada didadanya. Menginginkan tapi sulit untuk mengulang kembali. Hanya tinggal kenangan menyisakan foto sebagai bukti kalau mereka pernah ada bersamanya. Tapi sekarang untuk melihat keberadaan mereka dirumah sangat sulit. Tidak ada yang menduga ini terjadi. Sudahlah, mengingatnya hanya menambahkan luka tak berdarah di relung hatinya. Tanpa disadari, air matanya jatuh ia mencoba untuk tegar meski hatinya tak kuat untuk bertahan sampai kapan ia harus begini.

Ia meletakkan foto itu lalu beralih ke satu foto yang menampilkan dirinya dan seorang anak laki-laki yang tersenyum lebar kearah kamera sambil merangkul gadis berambut pendek itu. Sudah berapa lama ia tak bertemu dengannya. Ia masih ingat foto itu diambil waktu mereka SMP. Senyuman terbit di wajahnya. Rasa rindu seketika hadir kala mengingatnya tingkah jahil dan tengil dari laki-laki itu yang menjadi ciri khas dari dirinya. Hingga perpisahan terjadi dan tak tau sekarang dimana keberadaannya.

Gadis itu tersadar dari lamunannya saat pintu kamarnya diketuk. Ia meletakkan kembali foto itu lalu beranjak dari duduknya. Kemudian ia berjalan untuk membuka pintu.

"Non tiara, makanannya sudah siap''

''Iya bik, Tiara juga udah lapar ni bik''

Saat sampai di ruang makan, ia melihat sekelilingnya tetap saja sama. Hanya menjadi angan-angan jika ia dapat menghabiskan waktu untuk makan bersama keluarganya.

Bik Ripah yang melihat itu mengerti bagaimana perasaan Tiara. Tiara yang sabar mampu menyembunyikan kesedihannya dengan senyuman yang selalu ia tampilkan.

''Bik Ripah temani tiara makan ya'' ujarnya sambil tersenyum

''Iya non'' Bik Ripah duduk dikursi yang berhadapan dengan Tiara.

''Bik Ripah ikutan makan dong, masa Tiara makan cuma diliatin doang''

''Gak papa non, makan aja''

''Yaudah, kalau Bik Ripah gak makan Tiara juga gak makan''

''Iya,iya bibik juga ikut makan''

''Nah, gitu dong bik'' ujar Tiara dengan tersenyum.

Lagi-lagi senyum itu yang Bik Ripah lihat. Padahal, Tiara sedang merindukan keluarganya

----||-----

''Aduh bu pelan-pelan.''

Nadia mengaduh kesakitan saat Nadin mengobati luka di lututnya. Nadia berniat untuk mengobati lukanya tanpa sepengetahuan Nadin. Namun, setiap apa yang disembunyikan pasti akan terlihat juga akhirnya. Padahal Nadia sudah mengendap-endap masuk ke kamar dengan langkah yang terseok-seok ternyata gelagat jalan Nadia yang tak biasanya tak luput dari pandangan Nadin yang telah berdiri dibelakangnya. Jadi, mau menghindar bagaimana lagi. Naluri ibu terlalu kuat. Nadia terpaksa menceritakan kejadian sore tadi. Alhasil, mengundang omelan dari ibunya yang takkan dibantah oleh Nadia. Kalau begini lebih baik dia diam saja.

''Lain kali yang bener bawa motornya. Liat kanan,kiri,depan,belakang''

''Iya bu''

''Mendingan kamu tidur gih besok kan sekolah''ujar Nadin sembari meletakkan obat di tempat P3K

''iya bu''

Ibunya pun keluar dari kamar menyisakan Nadia yang masih duduk di kasurnya lalu dengan langkah perlahan ia menutup jendela kamarnya. ia mengambil selimut untuk menutupi kepalanya untuk berjaga-jaga Andra agar tak melihatnya tanpa hijab dikepalanya.

''kek anak kecil''

Suara itu menghentikan aktivitasnya yang sedang menutup jendela kamar. Tuh kan dugaannya

''Anak kecil?'' ujar Nadia sambil melemparkan tatapan bingung kearah jendela seberang.

''iyalah kek anak kecil. Diobatin aja teriaknya kenceng banget''

Rasanya ingin sekali Nadia mencabik-cabik wajah tengil si Andra. Namun, logikanya masih waras untuk tidak melakukannya.

''Kak Andra nguping ya?''

''Nguping? Eh,suara lo itu kedengeran sampe ke ujung kulon tau nggak?''

Nadia memanyunkan bibirnya dan memilih diam daripada harus menghadapi makhluk gaib di seberang jendela ini. Percuma sudah menjadi makanan sehari-hari harus mendengar kata-kata menjengkelkan dari Andra.

''Lo jatuh dimana?''

''Di persimpangan tadi ada cewek yg mau belok. Eh, nabrak gue. Ya jadinya begini''

Andra menggangguk dan memilih untuk diam tak ingin melontarkan pertanyaan lagi

''Udah, Itu doang kak?''

''Lo ngarep banget gitu gue nanya-nanya tentang keadaan elo?''

Nadia berdecak sebal dan menutup jendelanya hingga menimbulkan suara yang keras. hal itupun mengundang teguran dari Nadin dan tertawa ejekan dari Andra. Jengkel itulah yang dirasakan Nadia. Ia memilih bersiap-siap untuk tidur daripada harus berhadapan tetangganya itu.

Andra yang baru saja menertawakan Nadia karena dtegur oleh ibunya sendiri menjadi hiburannya tersendiri. Melihat ekspresi Nadia menahan amarah hal yang tak boleh dilewati oleh Andra. Andra tak mengerti dengan perasaannya. Merasa senang apabila berada didekat gadis itu meski harus membuatnya jengkel. Merasa bangga apabila membuat ekspresi marah Nadia yang tercetak jelas diwajahnya. Namun, ada rasa peduli saat mendengar gadis itu jatuh sore tadi. Meski dimatanya gadis itu baik-baik saja tapi khawatir didalam dirinya terlalu membuncah. Berlebihan memang tapi itulah nyatanya.

Tak ingin terlalu jauh menebak, Andra harus kembali memikirkan pilihannya. Ayahnya bertanya kembali tentang itu dan Andra menjawab belum menentukan pilihannya dan lagi-lagi ia mendapatkan murka dari ayahnya.

seharusnya pilihan itu kamu udah pikirkan dari dulu bukan sekarang. Kamu ini gimana sih?. Udah mau deket ujian pilihan belum ada. Ayah gak mau denger pilihan pertama kamu.

Kata-kata ayahnya ibarat kaset yang terputar dipikirannya. Tidak seperti dulu saat pertama kali ketika ayahnya bertanya dengan jawaban yang mantap ia ingin menjadi musikus yang mendapat komentar tak enak dari ayahnya. Serba salah jadinya. Sebenarnya apa yang ada dibenak ayahnya itu. Harus mengikuti jejaknya sebagai pengusaha meski ia tak suka berhubungan dengan saham, kerja sama, dokumen yang tertumpuk di meja kerja dan harus meninggalkan keluarga untuk keluar kota bahkan luar negri untuk kerja sama. Andra tak suka itu. Ayahnya menuntut untuk menjadi seperti itu namun ia tak menyukainya dan bukan seperti dirinya. Kemana ayah yang membebaskan dirinya untuk memilih pilihan yang dikehendakinya.

Ia memejamkan matanya sejenak. Menikmati angin malam yang tenang. Sinar rembulan yang menerpa wajahnya. Susasana malam yang cerah tak menggambarkan suasana pikiran dan hatinya yang sedang kacau. Baru saja ia tertawa keras melihat Nadia kembali ia dihadapkan keputusan yang harus diputuskan didepan ayahnya. Kalau begini, ia memilih rencana keduanya meski tak dikehendakinya. Ia berharap tak mengundang amarah lagi dari ayahnya.

-----||-----

Ane kembali guys. Ini rajin-rajinnya ane update.

Ya meski reader-nya pada diem-diem bae

Intinya ane gak bosen-bosennya bilang vote and coment jangan lupa

Oke okeeeee

Anak Tetangga Annoying (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang