Epilog

87 3 0
                                    

Terkadang mengulur waktu hanya memberi rasa penyesalan bila tidak dimanfaatkan dengan baik. Hanya ada pengharapan kembali seperti sedia kala atau kehilangan dijadikan pelajaran.

Seorang gadis berusia 23 tahun itu tengah duduk termangu memegang boneka keroppi yang tak pernah luntur senyumnya sejak enam tahun yang lalu. Ada beribu kenangan serta rasa harap yang lebih bukan pada boneka itu melainkan pada orang yang memberi boneka tersebut.

Ketukan pintu membuat dirinya menoleh, bergegas menuju badan pintu dan membukanya. Seorang wanita paruh baya berada didepannya tengah berkacak pinggang. Meski parasnya tak semuda dulu, percayalah ia masih takut dengannya.

"Nadia...Nadia, kamu ini udah sore masih di kamar mulu. Gerak kek, kemana kek. Ini rebahan mulu," omel Nadin melihat Nadia tengah berdiri didepannya. Ada banyak bungkusan cemilan dan bekas piring berserakan dikamar. Itu membuat mata Nadin terganggu.

Nadia mengikuti arah pandang Ibunya. Ia tersenyum meringis beberapa saat, mengerti kalau ini bisa merusak jarak pandang mata Ibunya.

"Beresin tuh kamar. Masa anak gadis kamarnya berantakan kayak kapal pecah gini sih, Nadia," Nadin memijit pangkal hidungnya. "Pokoknya beresin nih kamar. Kalau Ibu lewat lagi kamar ini masih berantakan, Ibu gak segan-segan buang boneka buaya ijo itu!"

"Itu bukan buaya ijo, Bu! Itu mah kodok. Semuanya disamain dengan buaya. Mentang-mentang warna ijo dibilang buaya," gerutu Nadia kesal tak menerima kalau boneka kodok ijonya dibilang buaya, sedangkan sang Ibu sudah pergi dari tadi.

Nadia mengentak-ngentakkan kakinya sembari memungut bungkus-bungkus cemilan yang berserakan lalu membuangnya dikeranjang sampah dekat dengan kasurnya.

Setelah selesai, ia membawa keluar dua piring bekas bolu itu. Ia mencuci piring itu dan meletakkannya dirak piring. Ia terhenti memandangi rumah sebelah lewat jendela. Menunggu sesuatu yang tak sepastinya. Waktu libur kuliah yang berbeda membuat Nadia tak bisa melihatnya kembali. Adakala Nadia libur terlebih dahulu. Setelah libur Nadia usai, Andra kembali kerumah itu. Ia tau informasi ini dari Ibunya.
Tentu saja, ia tak bertanya lebih dulu kepada Ibunya. Gengsi dong.

Ia memutuskan untuk tidak kembali ke kamarnya untuk menghindari Ibunya yang selalu melihat dirinya berbaring, nonton dari laptop ditemani dengan bolu dan cemilan yang ada di rumah.

Langkah membawanya kedepan, duduk dibawah pohon mangga. Kursi dan meja yang selalu setia berada disana. Menjadi kebiasaan Nadia dari dulu suka mengerjakan tugas disini bila merasa suntuk mengerjakannya di kamar.

Kembali terulang rekaman kenangan bersama Andra. Ia hanya tersenyum kala mengingatnya. Tentu Nadia berharap kejadian itu terulang kembali meski waktu dan kejadian berbeda namun, dia adalah orang yang sama diharapkan.

"Lo kapan datangnya, sih? Masa gue harus liat boneka kodok itu mulu," gerutu Nadia kemudian menghela napasnya. "Gue kangen gak ya dengan dia?"

"Kangen kok masih ditanya."

Nadia sontak menoleh, tercengang. Tak mampu berkata-kata lagi.

"Gue tau gue makin ganteng. Gak usah liatin gue sampai menganga kek gitu."

Nadia terkesiap. Delikan tajam ia layangkan kearah pemuda yang sedang duduk disebelahnya. Rasa kesal, senang, bahagia dan haru tengah menyelimuti Nadia. Ketimbang rasa kesalnya karena pemuda ini dulu pergi tanpa pamit meninggalkan boneka kodok nyengir padanya, rasa bahagianya membuncah hadirnya pemuda ini.

"Udah gak usah liatin gue kayak gitu. Gue tau gue makin ganteng."

"Dih...situ siapa? Maaf ya, pasiennya gak ada yang lari kearah sini," ujar Nadia membuat pemuda itu terkekeh membawa-bawa dirinya yang kuliah di jurusan kedokteran. Jadi dokternya belum.

"Gue udah ketemu pasiennya. Yang harus gue obati perasaannya." Nadia bergidik sekaligus mendengus. Enak saja dia disama-samakan dengan pasien.

Keduanya larut melempar candaan satu sama lain mengingat kenangan masa lalu. Canda tawa mengiringi pembicaraan mereka. Tak jarang, Nadia harus menepuk bahu Andra karena dia terus yang diledek Andra.

Hening menguasai mereka. Keduanya enggan untuk membuka topik lagi. Terlebih lagi, Andra sudah kehabisan bahan bicara untuk memulai.

"Lo gak berubah, ya."

"Emangnya Nadia harus berubah jadi Power ranger gitu? Atau jadi kodok ijo?" Andra sedikit tersindir dengan dua kata terakhir Nadia. Kodok ijo.

"Nadia, udah mau magrib. Ayo masuk!"

Nadia menggembungkan pipinya, memberengut kesal. Ibunya perusak suasana memang. Nyatanya waktu memang kejam. Padahal, Nadia merasa baru sebentar berbicara dengan Andra ternyata sudah cukup lama juga ia duduk disini.

"Kak, Nadia masuk duluan ya. Udah dipanggil Ibu soalnya."

Andra tersenyum. "Gue tau kok."

Nadia tersenyum tipis lalu melangkahkan kakinya. Berat.

"Nadia tunggu dulu." Nadia membalikkan badannya, menatap Andra yang sedang mengambil sesuatu dari saku jaketnya. Sontak membuat Nadia terkejut bukan main.

"Nadia Syazwani. Gue udah memendam perasaan lama banget. Gue bukan laki-laki yang bisa ngajak anak orang pacaran. Gue udah jatuh hati liat lo. Entah kapan perasaan itu mulai ada, tapi gue bisa merasakannya. Gue lemah banget, Nad. Gue memang gak bisa basa-basi. Sore ini, gue kembali dihadapan lo dibawah pohon mangga," Andra terhenti sejenak menahan gugup, mengembuskan napas, "will you marry me?"

Nadia membelalak samar. Ia tetap berusaha untuk tidak menjerit melihat kotak beludru berwarna merah itu terbuka menampakkan cincin dengan berlian kecil putih ditengahnya.

"Udah terima aja, Ibu restuin kok."

Nadia menepuk dahinya, lupa kalau daritadi Ibunya sudah berada didepan pintu memanggilnya. Jangan lupa ia harus menyalahkan Andra.

"Kalau Ayah kamu denger ini, pasti dia setuju banget. Pokoknya kalian bisa nikah secepatnya."

"Tapi, Bu. Andra besok harus kembali kesana--"

"Kamu jangan bohongi Ibu, Andra. Barusan Ibu ketemu sama Ibu kamu kalau liburnya masih lama. Nadia buruan masuk udah mau magrib," ujar Nadin mengingatkan kemudian berlalu meninggalkan keduanya yang enggan untuk berbicara kembali.

"Maafin gue, karena udah ninggalin lo tanpa pamit...pasti lo udah denger semuanya dari Tiara. Tapi sekarang, karena gue udah diberi kesempatan gue mau minta maaf dengan elo. Maafin gue ya."

"Kak Andra jangan pergi-pergi lagi..." Nadia berusaha menahan air matanya tak tumpah lagi, "Nadia...Na-dia udah cukup nunggu Kak Andra. Tapi, Kak, Nadia mau ngasih tau satu hal."

Andra menaikkan sebelah alisnya, menunggu.

"Kalau mau ngelamar Nadia, jangan dibawah pohon mangga. Apalagi didepan Ibunya Nadia," ujar Nadia kemudian bergegas memasuki rumahnya. Sesekali ia melihat Andra yang ingin membalasnya, tapi ia kalah cepat.

Semuanya memang tidak perlu diucapkan, dielu-elukan terlalu tinggi demi mendapatkan seseorang yang belum pasti. Hanya orang yang memilik cara tersendiri dan bersungguh-sungguh untuk mendapat sesuatu tanpa banyak bicara akan memberi reaksi.

Penantian itu bermodal sabar dan percaya. Tetap sabar dalam menunggu dan percaya kita akan dipersatukan jika tuhan mengizinkan. Ingatlah semua akan indah pada waktunya.

---TAMAT---

7 JULI 2020

Anak Tetangga Annoying (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang