18

1.4K 159 69
                                    

Halooo!

Sudah siap untuk ngerusuhin chapter ini?

Ok deh, happy reading, ders. Ada tipo langsung kasih tahu ya.

***

"Cepatlah sedikit, Ndoro Ayu Keiko. Gusti prabu sudah menunggu."

Emban Rashmi berseru-seru menyuruh Keiko untuk mempercepat langkahnya yang macam siput mau semaput. Pelan, namun tak gemulai. Pelan, tapi nyebelin. Pelan, terlalu pelan. Tangannya sesekali mengucek mata yang burem-burem.

Ini masih terlalu pagi buat Keiko yang kaum rebahan sejati. Matahari aja masih belum panas, masih belum terlalu memancarkan sinarnya. Kayaknya mataharinya juga mager deh.

Bukan mager, lebih tepatnya ini masih betulan pagi, oi. Tadi aja pas dibangunin, Keiko ngelihat Hp, masih jam setengah lima subuh. Emban Rashmi dan satu Emban lagi yang ngenalin diri sebagai Emban Luh mengetuk-ngetuk pintu kamarnya gak sabaran. Ketukkan yang akhirnya berganti jadi gedoran itu memaksa Keiko untuk memutus mimpinya yang masih belom ending. Bahkan terkesan menggantung.

Kalian tahu kan, digantungin itu gak enak? Apalagi digantungin tanpa kepastian. Itu menyiksa banget, asli.

"Lebih cepat, Ndoro."

Emban Rashmi mengeluarkan seruannya yang ke19 kali. Keiko masih belum mengubah kecepatan berjalannya. Masih begitu-begitu saja. Rashmi, kan, jadi kesal.

Emban Luh tersenyum maklum. "Rashmi," bisiknya, "jangan terlalu menyuruh Ndoro Keiko seperti itu. Siapa tahu, Ndoro Keiko sedang lelah."

"Tapi kan, tidak baik membuat Gusti Prabu menunggu, kangmbok. Gusti Prabu yang mengatakannya sendiri pada kita dulu. Kangmbok Luh tidak ingat?"

Luh mengangguk, "aku ingat Rashmi. Maksudku, kamu itu terlalu berlebihan."

"Bukan berlebihan, Luh. Tapi kau tahu sendirilah Gusti Prabu itu seperti apa. Rashmi dan juga aku tidak mau dimarahi, itu saja. Yakan Rashmi?" Melangkah beriring di samping Luh, satu dayang lagi ikut nimbrung dalam percakapan. Rashmi mengiakan. Emban berwajah cantik itu bersungut-sungut.

"Alah ribet lo pada. Watashi ga okurete mo kare wa shinanaidarou? (Tu raja juga gak bakalan matikan kalau gue telat)? Kayak apa aja deh astaga," celetuk Keiko malas. Saking malasnya bahasa Jepangnya sampe keluar. Para dayang itu kompak melirik Keiko.

"Ampun Ndoro, tadi Ndoro bilang apa?" Rashmi memosisikan dirinya lebih dekat. Wajahnya menyiratkan rasa penasaran.

"Gue bilang, aduh how can I explain it in a good way? Emm, itu, I said," Keiko ngetok-ngetok jidat. Sejak awal, dia benar-benar kesulitan mengikuti bahasa mereka yang terlalu formal, kayak ngomong di sinetron kolosal. Well, salahnya sendiri yang tidak memerhatikan sewaktu guru bahasa Indonesianya menerangkan pelajaran. Then again, Keiko gak suka nonton sinetron kolosal yang bagaikan orang lagi orasi. Bikin ngantuk katanya.

But, in fact aja nih yaa, sometimes Keiko gak bisa ngerti juga mereka ngomong apa. Ada bahasa yang Keiko betulan tak bisa paham. Sorry to say, Keiko itu gak bisa bahasa Jawa, gengs. Kadang percakapan mereka itu terdengar seperti bahasa Jawa yang entahlah itu Jawa apa, Keiko juga gak tahu. Kadang kayak bahasa India, kadang kayak dukun baca mantra, kadang pula kayak orang nyanyi, kadang lagi kayak alien sedang kumur-kumur. Bikin sakit kepala emang.

Tapi itu biasanya gak berlangsung terlalu lama, cuma beberapa menitanlah kalau dihitung-hitung. Abis itu udah. Mereka balik lagi berbicara formal seperti orang ketemu duta besar negara. Kok bisa gitu? Jawabnya, entah.

Kemungkinan pertama, koneksi yang terhubung antara mereka dan Keiko sedang rusak. Ya, koneksi. Koneksi untuk mengerti satu sama lain. Macam wifi gitu deh.

[Dear Majapahit] Why Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang