34

567 43 93
                                    

Halooo...

Apa kabar semuanya?

Langsung aja, happy reading...

***

Gajah Mada memutuskan menengok Keiko lebih dulu. Pasalnya, kata Bongol, Jayanegara ingin segera mendapat kepastian mengenai nasib gadis itu.

"Adira, buka pintunya. Ini aku."

Yang terlonjak kemudian adalah Keiko. Dari ribut-ribut yang bocor sampe ke kamarnya, Keiko tahu keadaan berkembang makin gawat.

"Adira!" panggilan itu berulang. Keiko yakin banget itu Gajah kurang gizi. Soalnya, cuma Gajah kurang gizi yang manggil namanya, Adira, dengan nada macam itu. Cuma Gajah kurang gizi juga yang punya suara berat eksotik kayak gitu.

Maklum, berbulan-bulan di Majapahit bikin Keiko hafal. Kalau Jay, karakter suaranya beda lagi. Jay punya karakter vokal yang tegas-tegas lembut berwibawa, emang kingable banget.

Cuma, pas marah-marah, volumenya jadi super kenceng kayak speaker abang-abang truk.

Dengan kaki gemetaran, Keiko menyeret langkahnya menuju pintu. Meja yang menghalangi Keiko dorong supaya pintu bisa dibuka.

"Gajah kurang gizi!" panggil Keiko melihat Gajah Mada yang berdiri membeku menatapnya.

Keringat menetes dari ujung-ujung rambut dan dahinya. Bau anyir samar tercium dari pakaiannya yang ternoda bercak merah.

Ada kelegaan yang Keiko tangkap dari caranya mengembuskan nafas. Namun, Keiko tidak bisa melihatnya lama-lama karena Gajah Mada keburu mengalihkan pandangan.

"Cepat berkemas!" Gajah Mada menyuruh.

"Hah?" Keiko bingung. Dia udah membayangkan pertanyaan uwu waktu Gajah Mada ngelihatin dia tadi, tapi... ah sudahlah.

"Cepat! Jangan membuang-buang waktu!" ucapnya setengah memaksa.

Keiko mengangguk. "Wait!" dia masuk lagi ke kamar. Tangannya bergerak menjangkau buntalan kain. Gak mungkin, kan, Keiko bawa ransel penuh stiker itu. Cari perhatian namanya.

Keiko memutuskan menyimpan ranselnya di lemari paling dalam. "Lo baik-baik di sini ya, tas."

Beralih kepada buntalan kain, Keiko enjejalkan ponsel dan apapun yang dia ingat. Setelah selesai, Keiko menutup buntalan itu rapat-rapat.

"Kayaknya gue juga harus ganti baju," Keiko bergumam sendiri.

Keiko mengambil asal kain di lemari, memakainya seperti perempuan Majapahit berpakaian. Tak lupa, selendang sutra berwarna merah Keiko sampirkan untuk menutupi bahunya yang terbuka. Selendang cantik itu adalah pemberian Jayanegara.

Untuk memperkuat kain bawahan yang panjangnya sampai mata kaki, Keiko memakai ikat pinggang polos tanpa hiasan. Rambutnya dibiarkan terurai.

"Done! Udah kayak bule Majapahit gue."

Sebenernya gak Majapahit-Majapahit amat, sih. Abisnya Keiko memakai leging tipis sewarna kulit di dalam jariknya.

Buat jaga-jaga, takutnya dia harus baku hantam sama orang. Yakali wiron jariknya ambyar di tengah jalan karena Keiko yang petakilan.

Tak sampai lima menit, Keiko keluar sambil menenteng buntalan kainnya yang penuh barang. Dia menandai kehadiran pasukan Bhayangkara yang berbaris dalam sikap siaga.

Kalau situasinya biasa, Keiko pasti langsung nyapa mereka semua heboh. Atau, nyoba belajar panahan bareng tiga rusuh plus Pradabasu. Diikuti acara gosip seru bertemankan wedang jahe.

Masalahnya, semua orang sekarang berwajah tegang. Gak ada yang senyum, gak ada yang ngobrol, apalagi gosip seru.

Di luar, sayup-sayup sorak sorai pasukan pemberontak terdengar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[Dear Majapahit] Why Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang