22

1.5K 166 340
                                    

Halooo!

Masih ada yang nunggu?

Tadi ada sedikit trouble, notifnya gak mau nongol.

Ok, happy reading.

***

Udara dingin membungkus Majapahit. Kabut yang tidak tebal-tebal amat melayang turun menyapa. Burung malam melengking memperdengarkan suaranya.

Keiko tidak tahu sudah berapa lama ia melangkah meninggalkan kedaton. Satu jam? Dua jam? Atau malah baru limabelas menit?

Soalnya, waktu berasa lama sekali. Kayak, waktunya itu sengaja membuat gadis itu lebih lama tenggelam dalam kejombloan yang hakiki.

Keiko mulai memasuki kawasan kota raja. Di kanan kiri Keiko, rumah berarsitektur jadul berderet rapi. Beberapa orang tampak masih duduk sambil bercakap-cakap. Keiko jadi mikir, orang Majapahit itu suka begadang kali ya. Soalnya gak di istana, gak di luar, ada aja orang yang suka santuy sambil nggosip malem-malem.

Padahal, kata pak Asep Irama, eh maksudnya Roma Irama, aduh, sungkem dulu ke fansnya Pak Haji Roma. Ntar digasin lagi karena salah nyebut nama. Pokoknya, kata pak Haji Roma Irama, kan, begadang jangan begadang kalau tiada artinya.

Pertanyaannya sekarang, apakah begadang yang mereka lakuin ada artinya?

Eh, wait.

Berarti, Keiko lagi begadang juga dong ya. Tapi, kan, begadangnya Keiko punya maksud.

Keiko melanjutkan langkah. Samar-samar, telinganya menangkap isi perbincangan para manusia gabut kurang kerjaan itu.

"Ia, padahal sudah dewasa sekali. Anakku saja sudah menikah di usia 16. La anakmu itu sudah terlalu tua, toh? Kalau tidak salah, berapa umurnya? Duapuluhtiga?"

"Yang benar 21," koreksi temannya.

"Lah, ia ya. Maksudku 21," dia meralat cepat. "21 kan sudah termasuk tua, mengapa anakmu tidak nikah juga?"

Keiko bisa mendengar, si bapak yang ditanya membuang napas panjang sekali. "Itulah. Aku sudah menyuruh dia untuk menikah. Sudah sering pula aku mengenalkannya pada laki-laki. Bahkan, acap kali aku menjodoh-jodohkan dia ."

"Lalu, apa masalahnya?"

"Anakku tidak mau. Dia terus saja menolak kawin," ujar orang itu berat.

"Padahal anak gadismu itu cantik sekali," gumam orang pertama. Orang kedua memandanginya tajam. "Yang dipandangi nyengir, mengelus dahi. Salah tingkah.

Sumpah, ya. Ni bapak-bapak pada ngapain anjir! Gaje bet asli.

Keiko memilih untuk tidak memperpanjang ngupingnya. Lama-lama, telinganya bisa meledak karena pembicaraan pader-pader yang sungguh tidak bermutu.

Keiko berbelok, menghindari berpapasan dengan para bapak bersarung yang sedang membahas masa depan. Masa depan entah apa, Keiko juga bodo amat. Toh, itu bukan urusannya kok.

Lagian, masa depannya di kerajaan ini juga masih suram.

Apalagi, kelanjutan cerita cintanya yang terpaksa kandas padahal belum dimulai. Nah loh, gimana coba, tuh?

Emang, tembok Antartika yang namanya Gajah kurang gizi tuh teganya gak ketulungan.

Sebuah daun kering melayang jatuh di kepalanya. Keiko memungut daun itu. Netra birunya menatapi ujung-ujung daun yang telah menguning dan layu. Tangannya meraba permukaan daun yang tidak rata, bolong sana-sini.

"Hey, daun." Keiko berucap pelan. "Kita sama, ya. Sama-sama bolong dan kering."

"Lo tahu gak, daun?"

[Dear Majapahit] Why Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang