33

382 41 60
                                    

Halooo.

Cieee Vee lumayan cepet up,. Cung siapa yang seneng!

Kalo ini gak rame, Vee tampol loh. Hihihi canda. Ramadhan gaboleh nampol orang.

Putar mulmed untuk mendapat fibes ketegangan maksimal.

Btw, pas ramadhan upnya abis tarawih gini terus aja, atau sebelum buka

Ok Gaskeun. Happy reading...

***

Kotaraja tersentak oleh bende yang dipukul bertalu-talu. Rakyat terbangun dari tidurnya dengan hati gelisah. Bende yang dipukul dengan nada seperti itu sudah jelas artinya.

Pertempuran pecah di awal fajar itu. Dari balik semak, pohon dan gundukan batu, prajurit Jalapati berloncatan keluar.

Denting pedang beradu. Desing panah saling berlomba menggapai sasaran.

Hawa kematian tercium dimana-mana.

Pasukan Majapahit menyongsong pihak pemberontak dengan gagah berani. Mereka tidak peduli meski rasa sakit mencengkram akibat dari darah yang tumpah. Tidak peduli meskipun sang bagaskara mengintip dari sisi timur, cahayanya samar menimpa luar belakang istana yang menjadi medan palagan itu. Mereka bertempur dengan semangat meluap berkobar-kobar.

Di atas kuda masing-masing, keenam anggota Dharmaputra hadir dengan formasi lengkap. Ra Wedeng dan Ra Banyak berkuda sambil tak henti melepas anak panah,.

Berdampingan dengan Ra Yuyu, Ra Pangsa tak kalah beringas. Prajurit yang berani mendekat dengan segera ambruk kena tebasan tombaknya.

Entahlah Ra Tanca, pemuda pemilik wajah tampan itu lebih banyak diam. Ra Tanca menyiagakan dirinya jika sewaktu-waktu ada temannya yang terluka parah dan membutuhkan pertolongan.

Dari semua itu, yang paling ganas adalah Rakrian Kuti. Ra Kuti bahkan tak segan untuk berteriak-teriak memberi semangat pada pasukannya, juga mencaci maki Sang Prabu Jayanegara.

"Ayo! Tumpas semuanya! Gulingkan Jayanegara! Hancurkan Kalagemet!" Ra Kuti berteriak amat lantang.

Derap genderang dan tambur yang ditabuh disusul tiupan terompet menyuntikan bara ke dalam jiwa para pendukung Dharmaputra. Mereka bergerak makin brutal, berusaha menggilas pasukan Wilwatikta.

Mereka saling beradu gelar perang. Pasukan Jala Rananggana yang langsung dipimpin Dharmaputra mengamuk tak ubahnya gajah. Itulah sebabnya, gelar itu diberi nama diradameta. Artinya gajah mengamuk.

Di pihak Wilwatikta, pasukan Jala Pati membalas dengan berusaha menjepit pergerakan lawan dari segala sisi.

Tersembunyi di atas dinding, pasukan Bhayangkara siaga menurunkan hujan anak panah. Hujan itu sebelumnya mampu menjadi kejutan hebat bagi Ra Kuti yang mengira tak akan ada perlawanan berarti dari istana..

"Ahhh!" jerit kesakitan muncul dari seorang prajurit Jalapati yang dadanya tertembus warastra. Prajurit pendukung Dharmaputra tersenyum beringas melihat hasil perbuatannya.

Namun, senyum kemenangan itu tak bertahan lama. Terhenyak prajurit itu oleh rasa sakit yang menyengat jantung, lalu tembus hingga ke tulang-tulangnya.

Perang hanya menyediakan dua pilihan. Membunuh, atau dibunuh. Jika masih ingin hidup, maka musuh harus dibunuh.

Matahari beranjak makin tinggi,. Pasukan pemberontak lambat laun mulai menguasai pertempuran. Prajurit Wilwatikta banyak yang berjatuhan. Ada yang langsung mati, ada pula yang terluka parah.

Rasa sakit itu masih diperparah oleh tubuh mereka yang terinjak-injak oleh prajurit lain. Prajurit yang terinjak itu hanya bisa pasrah. Pasti tidak ada yang melihat keberadaan mereka.

[Dear Majapahit] Why Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang