32. Teruntuk [Kamu]🍁

465 51 0
                                    


"Anda kami tangkap atas tuduhan kasus pembunuhan." ucap salah satu polisi.
Beberapa polisi lainnya mengangkat pistolnya untuk mengancam Rani dan anak buahnya untuk takut dan tidak melarikan diri. Para polisi segera memborgol para tahanan tersebut.

"Ayo masuk." ucap salah seorang polisi dengan menarikanya paksa. Rani menatap benci dengan sorot amarahnya kepada Wijaya yang juga berada disana. "Tunggu pembalasanku Wijaya."

Raihan menatap heran ke arah papahnya. Apa yang beliau lakukan? Raihan dan Shafa melangkahkan kakinya menuju tempat kejadian tersebut.

"Raihan?" ucap Wijaya karena sedikit terkejut dengan putranya yang berada disini.

"Papah? Papah ngapain disini?"

"Kamu sendiri ngapain disini?" tanya balik Wijaya.

"Ini toko bunga paman Shafa." ucap Raihan dengan tenang.

Wijaya membulatkan matanya. Lalu pandangannya teralihkan untuk menatap Ilham. "Jadi kamu Ilham?"

"Jadi kamu Wijaya Ar--dianto?" ucap Ilham.

"Cih, ayo pulang Raihan." Wijaya menarik tangan Raihan untuk pulang bersamanya. "Pah, apa yang sebenarnya terjadi?" ucap Raihan dengan raut yang masih bingung.

Shafa juga heran dengan apa yang telah terjadi. Kenapa mamahnya ditangkap? Kasus pembunuhan siapa?
"Iya paman. Apa yang sebenarnya terjadi?" kali ini Shafa memberanikan diri untuk bertanya hal tersebut. Ilham bungkam, ia tak tahu harus mengatakan apa.
Ia sudah tahu bahwa beberapa tahun lalu Rani membunuh putra sulung Wijaya hanya karena perusahaan dari ayah Shafa bangkrut dan akhirnya tutup, karena tersaing dengan perusahaan yang Wijaya bangun. Sebenarnya Rani berusaha untuk tegar, tetapi Wijaya selalu memamerkan dan berkata tak sopan dengan perkataan yang sangat pedas dan menyinggung.

"Orang sepertimu itu pantas berada di kantor dengan jabatan OB. Berpikirlah dengan otak mu yang dangkal itu. Kamu tidak akan pernah bisa mengalahkanku sampai kapanpun." ucap Wijaya pada Rani.

Sejak saat itu, Ayah Shafa terserang penyakit karena banyaknya hal yang mengganggu pikirannya hingga akhirnya meninggal. Membuat dendam di hati Rani semakin membuncah. Dan setelah membunuh putra pertama dari Wijaya. Ia merasa puas, lalu memutuskan untuk ke luar negeri.

"Dia.. Dia adalah anak dari orang yang sudah bunuh kakak kamu Raihan." ucap Wijaya dengan nada berteriak sambil menunjuk Shafa.

Raihan tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Begitupun dengan Shafa. Raihan terduduk lemas. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa ia mencintai seorang anak dari orang yang telah membunuh kakaknya?

Saat ini, Raihan hanya pasrah ditarik masuk ke mobil oleh papahnya. Hati dan pikirannya sangat kacau. "Alex, kamu bawa motor Raihan." ucap Wijaya pada seorang asistennya lalu menatap datar ke arah Ilham dan Shafa sekilas.

"Kenapa paman gak pernah cerita sama aku hiks..hiks.." Shafa tak bisa lagi menahan isak tangisnya. Kenapa takdir mempermainkannya? Kenapa Allah memberikan skenario hidup menyakitkan ini padanya?

"Maafkan paman, paman kira masalah itu sudah selesai. Jadi paman tak ingin mengungkitnya lagi. Tapi ternyata, Wijaya masih ingin menangkap Rani." ucap Ilham dengan pandangan kosong.

Shafa menggelengkan kepalanya. "Paman ini mimpi kan? Ini pasti mimpi kan?" ucap Shafa setengah berteriak dengan memegang bahu Ilham yang ada di depannya.

Ilham hanya menggeleng lemah.
"Hikss.. hikss.. kenapa ya Allah? Kenapa?" Shafa terduduk sambil menangisi semua yang menimpa hidupnya.

***

Raihan termenung di kamarnya dengan kotak kecil warna merah yang berisi cincin untuknya dan juga Shafa.
"Aarghhh.." teriak Raihan dengan mengacak rambutnya.

Tok..tok..tok

"Mas han, ayo makan." ucap Aluna yang berada di ambang pintu kamar Raihan. Raihan tak meresponnya. Ia sama sekali tak nafsu untuk makan. Bahkan untuk bertemu orang pun saat ini ia belum siap.

Aluna terpaksa membuka kenop pintu tersebut yang seperti biasa tidak Raihan kunci. Aluna menatap sendu ke arah putranya yang berantakan.

"Ini sudah takdir Allah nak, kita harus ikhlas menerimanya." ucap Aluna dengan mengusap punggung putranya.

"Tapi ini gak adil mah. Baru aja Raihan ingin memiliki kebahagiaan yang sebenarnya. Tapi dengan satu detik semua itu lenyap."

"Allah melimpahkan banyak kebahagiaan buat kita nak, jangan menyalahkan Allah atas takdir yang di berikannya pada kita. Mungkin Shafa bukan jodoh kamu."

Aluna menarik tubuh putranya lalu memeluk dan mengusap surai rambutnya lembut. Sesekali ia mengecup pucuk kepala putranya. "Udah, ayo makan malam."

"Gak laper, aku mau tidur aja mah."

"Hmm.. baiklah." Raihan lalu merebahkan tubuhnya dan Aluna menyelimuti tubuh putranya yang hanya berbalut kaos dengan sarung yang belum juga ia lepaskan karena habis sholat isya' tadi.

***

Saat ini, Raihan, Jihan, beserta orang tuanya telah berada di ruang makan untuk ritual sarapan mereka. Keadaan Raihan masih sama, ia masih saja tak ingin membuka suaranya.

Wijaya menatap Raihan lalu menghela nafas. "Kamu gak boleh berhubungan dengan Shafa lagi Raihan. Emang kamu mau punya hubungan sama anak seorang pembunuh. Terlebih dengan kakak sulungmu yang jadi korbannya."

Raihan mengangguk. Perasaannya masih tak karuan. Ada rasa menyesal karena ia telah menaruh hati pada gadis tersebut jika akhirnya akan seperti ini.

Hanya butuh waktu beberapa menit, Raihan menghabiskan sarapannya. Mungkin karena ia sangat lapar karena kemarin sore ia tak makan.

Ia telah sampai di gerbang kampus dan mendapati Regan dan Fadli yang suda berada di sana. Regan dan Fadli menatap dalam ke arah Raihan. Mereka berdua menghampiri Raihan.

"Lo yang sabar han, kita selalu ada di samping lo kok." ucap Fadli dengan menepuk bahu Raihan. Detik kemudian Raihan tersenyum ke arah mereka berdua. "Apaan sih lo, drama banget." ucap Raihan dengan tertawa pelan.

"Woi, gue udah mythic bintang seribu nih. Hebat kan gue?" ucap Fadli dengan menunjukkan game yang biasa ia mainkan dengan Regan dan Raihan.

"Ti-ati lo ntar jadi botak kaya Jess No Milit." ucap Regan dengan tawa khas-nya.

"Jess No Limit kelesss" bantah Fadli. Raihan yang mendengar perkataan temannya akhirnya bisa tersenyum lagi. Dan itu membuat Fadli dan Regan merasa lega.

***

"Fa, kita udah denger berita tentang nyokap lo." ucap Meysha pada Shafa. Mereka saat ini berada di ruang kelasnya. Shafa hanya tersenyum sendu ke arah temannya. Secepat itu beritanya menyebar?

"Lo yang sabar ya." ucap Fathia dan mengelus punggung Shafa. Shafa hanya mengangguk dan tersenyum.

"Jadi, lo sama Raihan gak jadi nik...." ucapan Meysha terhenti karena Fathia menatalnya tajam.

Shafa mengangguk lemah. "Orang tua Raihan pasti gak akan restuin kita. Dan mungkin saat ini, Raihan juga pasti benci sama aku." ucap Shafa dengan wajah yang sendu. Fathia dan Meysha mengetahui betapa hancurnya perasaan sahabatnya.

Shafa berjalan menuju kamar mandi untuk sekedar mencuci mukanya. Letak kamar mandi berada di ujung kampus dan itu pasti melewati ruang kelas Raihan. Tepat sekali, ia melihat Raihan yang duduk termenung di depan ruang kelasnya. Shafa menghentikan langkahnya dan memberanikan diri untuk mendekat dan berbicara dengan Raihan.

"Raihan." panggil Shafa.

Raihan sedikit terkejut dengan hadirnya sosok yang saat ini terngiang di pikirannya. Namun, perkatan papahnya dan kenyataan telah menghantuinya.

"Maafin mamahku." ucap Shafa dengan nada yang memelas.

Raihan menatap datar tepat ke arah Shafa. Ia berlalu menuju kelas tanpa mempedulikan Shafa yang menatap dalam ke arahnya. Ia tak berniat menjawab satu kata pun.

Ingin rasanya Shafa menangis sekarang. Tapi ini bukan saatnya. Ia harus tetap tegar dan kuat.

TBC

Kamu [SELESAI]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang