Malam ini, Shafa masih menemani pamannya. Ia menatap bubur yang ada di atas meja. Bagaimana ia bisa lupa bahwa pamannya harus puasa terlebih dahulu sebelum operasi. Shafa menghela nafas dan mulai memakan bubur tersebut daripada dibuang bisa jadi mubazir.
Paginya, Setelah pergi dari tempat pegadaian, Shafa segera menyelesaikan administrasi untuk biaya operasi pamannya. Ia sengaja tak masuk kuliah hari ini tanpa memberi tahu siapapun. Ia juga tak meminta ijin pada dosennya. Pikirannya hanya fokus pada pamannya.
Para dokter memulai operasi tersebut dan Shafa tak henti-hentinya mengucap doa. Tak ada siapapun yang menemaninya. Bi Mirna juga tak bisa datang karena mengurus anaknya yang masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak.
Sembari menunggu, Shafa melangkahkan kakinya menuju mushola rumah sakit untuk sholat dhuha. Keadaan mushola rumah sakit sangat sepi. Shafa mulai mengambil air wudhu dan melaksanakan sholatnya.
Empat jam ia menunggu akhirnya operasi tersebut selesai. Para dokter keluar dari ruangan operasi dan menatap Shafa.
"Maaf, operasinya gagal, tumor yang ada di otak pasien sangat besar. Jadi usia pasien kurang lebih dua minggu atau dua bulan, bisa jadi juga satu tahun." ucap dokter tersebut dengan sendu.
"Bagaimana bisa gagal, Dok?" ucap Shafa dengan terkejut.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Tuhan-lah yang mengatur semuanya. Maafkan saya." Dokter tersebut berlalu setelah mengatakan perkataan tersebut. Ilham segera di pindahkan di ruang rawat inap.
Shafa tak bisa menahan tangisnya melihat paman nya yang tergeletak tak berdaya disana.
"Hiks.. hiks.. paman yang kuat. Shafa yakin pasti Allah akan selalu melindungi paman." ucap Shafa yang saat ini telah duduk di samping paman nya.
***
"Mey, Shafa kenapa ya? Tumben gak masuk, gak ijin lagi." ucap Fathia pada Meysha.
"Ntahlah, dia juga gak ngasih kabar apa-apa kan ke kita. Dari tadi gue chat belum ada respon." ucap Meysha dengan masih membolak balikan halaman buku di depannya.
Fathia menghela nafas. "Semoga gak kenapa-napa deh."
"Iya.. Ngantin yuk! Laper gue." Fathia mengangguk menyetujui ajakan Meysha. Mereka berdua memesan makanan dan mencari bangku kosong yang tersisa di kantin. Mereka mengedarkan pandangan nya dan memicingkan mata melihat ada bangku kosong di samping Regan. Seperti biasa, kalau ada Regan pasti ada Fadli dan Raihan. Mereka berdua segera kesana.
Fathia melambaikan tangan ke arah mereka bertiga. Regan pun tersenyum dan menggeser tempat duduknya untuk Fathia tempati. Fathia tak menolak, ia duduk di bangku tersebut di susul Meysha yang duduk di sampingnya.
"Eitss, mak comblang dateng nih." ucap Fadli menatap Fathia dan Meysha.
"Siapa maksut lo makcomblang?" tanya Fathia dengan menatap tajam ke arah Fadli.
"Ya elo lah, yang atu nya uga sama." ucap Fadli dengan meniup bakso masih panas yang ada di depannya.
"Apa lo bilang?!?" ucap Fathia dan Meysha bersamaan.
Regan yang menatap pertengkaran ini pun mulai risau. "Udah udah, kata opah, tak baik banyak cakap di depan rejeki."
Mereka mulai menyantap makanannya masing-masing. Raihan yang berada di sana merasakan sesuatu yang mengganjal. Kemana Shafa? Tumben mereka cuma berdua? Namun Raihan tak mungkin bertanya. Ia akan bersikap tak peduli.
"Tumben kalian berdua aja? Shafa kemana?" tanya Regan menatap Fathia dan Meysha.
"Dia gak masuk hari ini." ucap Fathia dengan tatapannya yang mulai berubah. Raihan yang tadinya bersikap acuh, kini ia seolah tertarik dengan pembicaraan ini. Tak bisa ia pungkiri, jika menyangkut Shafa, Raihan selalu ingin mengetahuinya.
"Kenapa?"
"Entahlah," ucap Meysha masih dengan mulutnya yang sedikit terisi.
Tanpa sadar, Raihan mengendarai motornya menuju rumah Shafa. Ia memberhentikan motornya di sana dan melihat rumah yang sepertinya tak ada orang disana. Raihan menggelengkan kepalanya.
'Berhenti mencemaskan dia Raihan.' Batin Raihan.
Tak ingin terlarut dalam pikirannya, Raihan mulai menyalakan mesin motornya dan menuju rumahnya. Di jalan dekat taman kota, Raihan melihat sosok adiknya bersama laki-laki yang dimana mereka masih mengenakan seragam sekolahnya. Raihan menyeringai menatap mereka dan memberhentikan motornya tepat di depan mereka.
Jihan terkejut melihat kakaknya di depannya. Berbeda dengan Angga, ia nampak terlihat biasa saja.
"Kak? Ngapain kesini?" tanya Jihan menatap heran dan takut ke arah kakaknya.
"Liat orang pacaran." ucap Raihan santai.
Jihan menunduk, ia takut jika Raihan melaporkan ini pada sang Mama.
"Halo kak," ucap Angga menatap Raihan dengan tersenyum.
Raihan mengangguk dan tersenyum ke arah Angga. Ia sudah mengenal Angga dari dulu. Ia tak akan khawatir jika Jihan bersamanya. Tapi tujuannya kesini yaitu untuk menggoda dan mencari masalah dengan Jihan tentunya.
"Bukannya pulang lo jam dua tadi?" tanya Raihan pada Jihan. Jihan hanya mengangguk takut.
"Terus, kenapa sekarang masih di sini?" Raihan ingin tertawa melihat adiknya yang tengah gugup karena ketakutan.
"Emm, anu kak. Tadi kita jalan-jalan dulu." jawab Angga sambil menyengir. Jihan menyenggol lengan Angga menatap tajam ke arahnya.
Raihan menyeringai. "Oh gitu, yaudah gue pulang dulu. Nanti gue ijinin Mama kalo lo jalan-jalan dulu. Lo pasti belum ijin kan?"
Jihan membulatkan matanya. Ia memegang lengan kakaknya dan menggelengkan kepalanya. "Jangan kak."
Raihan tak bisa menahannya, ia tertawa keras saat ini melihat ekspresi Jihan yang sangat menggelikan.
"Gimana ya, tergantung nanti aja deh. Kalo gue masih baik hati nanti gue ijinin." ucap Raihan lalu melenggang pergi menaiki motornya dan meninggalkan Jihan yang menatap kepergiannya dengan tatapan yang sulit diartikan.
***
Shafa pulang ke rumah untuk sekedar menata baju ganti yang akan ia bawa ke rumah sakit. Pamannya masih harus menjalani rawat inap setidaknya tiga sampai empat hari. Ia melihat ponselnya yang tergeletak di atas meja kamarnya. Sudah berapa lama ia tak membuka ponselnya? Dan saat ia aktifkan ternyata batrainya habis. Shafa menghela nafas dan mulai mengisi daya batrai ponselnya.
Ia mandi sejenak untuk menghilangkan kepenatannya. Beban pikirannya semakin bertambah karena pamannya yang mengidap penyakit berbahaya. Sekelebat dia mengingat perkataan dokter bahwa pamannya hanya bisa bertahan di dunia ini dalam kurun waktu yang sedikit. Tak terasa bulir air merembes bebarengan dengan air hangat yang mengguyur tubuhnya. Ia tak akan sanggup jika kehilangan pamannya. Beliau adalah keluarga satu-satunya yang ia miliki saat ini.
Setelah mandi, ia mulai memesan ojol untuk menuju rumah sakit. Sebelum itu, ia harus mengembalikan gerobak yang penjual es berikan padanya. Ia tak bisa meneruskan pekerjaan itu karena ia harus menjaga pamannya. Ia meminta penjual es tersebut untuk mengambil gerobak yang ada di samping toko bunganya karena ia tak bisa mengembalikannya secara langsung. Setelah mendapat persetujuan bapak tersebut, ia mulai menaiki ojol yang telah sampai di depan rumahnya dan mulai menuju ke rumah sakit dengan membawa tas yang berisi baju-bajunya tadi.
TbC
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu [SELESAI]✔
RomanceTak ada yang tak mungkin di dunia ini. Sepucuk kertas yang kutulis dengan torehan tinta sederhana mampu merubah kenyataan hidupku. Aku selalu dan akan selalu percaya akan takdir yang Allah gariskan untukku. Kuharap, esok nanti dirimu masih sama sepe...