Touch 4

10.3K 1.2K 14
                                    

Kalian tahu? Biasanya, Yuta akan mengekori kemanapun aku pergi kecuali toilet cewek. Tapi sekarang, aku yang mengekori Yuta bahkan menunggu cowok itu didepan toilet. Oke, abaikan itu. Intinya aku mengikuti setiap langkah Yuta seperti seorang penjaga. Iya, aku takut Yuta diserang sama ular-ular bermuka dua itu. Yang beraninya main diam-diam, bisik-bisik tapi ciut kalau menghadap Yuta langsung.

Saat berbelok ke koridor, aku terhantup sesuatu. Sedikit kesakitan karena menghantup otot, tulang rusuk dan beberapa organ dalam yang tersembunyi dibalik kulit dan baju cowok itu. Aku menghantup dada Ilham.

"Nana, sorry, sakit ya?" Ia membantuku mengusap kening yang sepertinya mulai memerah. Ini cowok, badannya kok bisa keras kayak gitu sih. Heran aku!

Aku menepis tangan Ilham. "Aku baik-baik saja. Jangan modusin aku deh."

Ilham sedikit terkejut. Pasalnya seorang Nana tidak pernah jahat sama yang namanya ILHAM. Nana itu paling lembut kalau disamping Ilham. Ginilah, gitulah. CIH!!!! JANGAN HARAP AKU BISA MASUK KELUBANG YANG SAMA! Apalagi ada buaya yang handal banget mainin perasaan. Tidak mempan lagi, say.

Ilham, cowok itu yang aku kejar delapan tahun yang lalu. Aku menyukainya hingga mendengarkan apa saja perkataannya. Tapi tak pernah sedikitpun kami berpacaran. Ilham dekat dengan semua cewek dan aku termasuk salah satunya. Hanya karena kata-kata manis Desna aku percaya bahwa llham memang punya perasaan lebih padaku. Sementara gadis lain hanya dijadikan mainan oleh Ilham. Itu membuatku semakin gencar mengejar Ilham semasa SMA dan meninggalkan Yuta.

Omong-omong soal Yuta. Aku sedang mencarinya tadi sebelum akhirnya berada disituasi ini bersama Ilham. Dimana Yuta?!

"Aku pergi dulu." Aku melewati Ilham begitu saja. Setelah memegang julukan budak cinta Ilham, ini pertama kalinya aku mengabaikan Ilham dan memilih mencari Yuta. Mendapatkan julukan sebagai budak cinta Yuta juga tidak masalah. Itu terdengar lucu.

"Na, kamu mau k-"

"YUTA!" suara Ilham terpotong karena teriakanku. Bodo amat. Yuta ada didepan sana sedang berbicara dengan Desna. Aku harus waspada. Si ular bisa melakukan apa saja untuk merebut Yuta dariku. Setengah berlari aku menghampiri mereka, aku menghantupkan diriku ke punggung Yuta. Kami sangat dekat. Napasku sedikit tersengal karena berlari. "Kamu darimana saja. Aku mencarimu!"

"Eh?" Yuta tidak paham. Ia salah tingkah. "Ada apa, Na?"

Dapat aku lihat wajah Desna cemberut dari ekor mata. Aku mengabaikannya dan fokus pada Yuta. Aku tersenyum, Yuta terlihat sangat imut saat ini. "Tidak ada. Aku hanya ingin bersamamu."

Desna berdeham. Ia membuatku menatapnya. Aku memasang wajah sok terkejut. Aku menutupi mulutku. Oke, itu sedikit lebay. "Oh, Desna. Kamu ada disini?"

Desna mengepalkan tangannya. Ia menahan raut wajahnya dengan tenang sebaik mungkin. "Ya dan aku ingin berbicara dengan Yuta, Na." usirnya halus.

"Ya sudah bicara saja. Tidak ada yang melarangmu kok." Kataku polos. Kalau aku masih menuruti perkataanmu—walaupun tahu wajahmu yang sebenarnya—aku pasti gadis terbodoh di dunia ini. Tidak. Terbodoh sealam semesta.

Desna semakin tidak suka. "Aku ingin berbicara berdua dengan Yuta. Ini penting."

"Bicara saja! Kenapa Nana tidak boleh mendengarnya?" suara Yuta sedikit serak. Aku melirik Yuta yang ada disampingku. Ekspresinya datar saat menghadap Desna. Ia kembali membuang muka saat aku menatapnya.

Desna gelagapan. "Kita bicara nanti saja kalau begitu." Desna pergi dari kami berdua. Ia berjalan menuju kelas.

Aku tahu apa yang akan Desna bicarakan sebenarnya. Sesuatu yang buruk tentangku atau mungkin membicarakan tindakan yang aku lakukan untuk mendekati Ilham. Yang pasti—Desna menginginkan aku pergi dari sisi Yuta. Aku menghela napas. Akhirnya bisa bernapas lega setelah Desna pergi.

Aku memeluk lengan Yuta, "Ayo ke kantin. Aku lapar."

"Mm,"

"Ta, kamu yang bayar ya?"

Yuta mengacak-acak rambutku. Ia tersenyum, "Baiklah, Nona."

Bibirku manyun, "Jangan diacak-acak. Sekali lagi diacak, batagor nambah dua piring." Ancamku. Tapi Yuta malah semakin semangat dibuatnya.

///

Aku memeluk Yuta dari belakang. Rambutku beterbangan karena angin. Yuta sedang mengantarku pulang saat ini. Aku menempelkan wajahku di punggung Yuta, merasakan kehangatan Yuta untuk terakhir kalinya. Biarkan aku merasakan kehangatan ini sedikit lebih lama lagi. Jika saat aku membuka mata keesokkan harinya, kenyataan akan kembali menimpaku. Kenyataan bahwa Yuta sudah meninggal dan aku akan kembali sendiri. Setelah ini, Yuta belum tentu akan kembali hadir. Ini kesempatan terakhirku untuk bersamanya. Aku tidak ingin ada penyesalan.

Yuta menghentikkan motornya. Aku dapat melihat halaman rumahku tapi tanganku masih belum melepaskan ikatan dipinggang Yuta.

"Na, kita sampai." Yuta memegang tanganku. Menepuknya kecil mungkin mengira aku tertidur.

"Aku tahu," kataku sedikit pelan. Hampir berbisik. Yuta kembali terdiam. "Biarkan aku memelukmu lebih lama."

Tubuh Yuta kaku. Tapi ia tidak melepaskan tanganku dan membiarkanku memeluknya.

"Yuta, jika setelah ini kita tidak akan bertemu lagi. Aku hanya ingin minta maaf padamu. Maaf karena aku berperilaku jahat. Maaf karena aku egois dan tidak berperasaan. Maafkan aku karena tidak pernah memikirkan perasaanmu. Maaf." Tangisku pecah. Jaket merah jambu yang Yuta pakai sedikit basah karena air mataku. Yuta panik, ia ingin menghadapku tapi aku menghentikannya dengan memeluk dirinya semakin erat. "Jangan melihatku! Aku tidak mau kamu melihatku menangis."

Yuta tidak mendengarkanku. Ia melepaskan kaitan tanganku dengan lembut. Ia turun dari motor agar semakin mudah menatapku. Badan Yuta yang tinggi terpaksa menunduk untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajahku. Tangan Yuta terulur untuk menghapus air mataku. Yuta tersenyum.

"Ingusmu keluar, Na."

IIIHHHH!!!! YUTA!!!! KAMU KOK FOKUS KE INGUSKU SIH?????!!!! INI HATI LAGI SEDIH TAHU!!!!

Aku mengusap ingusku dengan lengan baju. Bodo amat, nanti bisa aku cuci. Itu juga kalau aku masih 'disini'. Yuta tertawa. Bibirku semakin manyun.

LUCU YA BANG?????!!!!

Aku mendorong Yuta agar menyingkir. Aku turun dari motor dengan menghentak-hentakan kaki. Sebel banget. Padahal aku lagi minta maaf dengan tulus tapi suasananya langsung hancur karena Yuta mempermasalahkan INGUSKU yang keluar daripada air mataku.

Aku berjalan menuju rumah. Tangan Yuta menahan gerakku. Aku mengerjapkan mataku. Raut wajah Yuta tidak lagi bercanda seperti tadi. Ia menatapku dengan serius.

"Aku akan selalu menemuimu," Aku mengernyit. "Jika kamu pergi, aku akan mengejarmu."

Yuta sepertinya salah paham akan perkataanku. Mungkin ia mengira aku tidak ingin menemuinya lagi karena Desna. Tapi itu salah. Jika aku kembali ke 'asal', bahkan seorang Yuta tetap tidak bisa menemuiku meski ingin. Kamu sudah pergi jauh dan aku tidak bisa menemuimu lagi setelah itu.

Hanya saja—untuk saat ini—kata-kata Yuta membuat hatiku terasa hangat. Kalaupun itu tidak berpengaruh apa pun. Aku tetap senang. Aku tersenyum. Kakiku maju beberapa langkah, sedikit berjinjit aku mencium pipi Yuta. Pipiku merona.

"Kalau begitu tepati janjimu."

01 Mei 2020

.

Red

Antagonis Touch (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang