Aku menatap punggung Yuta yang sedang menggoreng ayam. Dari sisi mana pun kamu melihat, Yuta sangatlah tampan. Aku sangat beruntung karena bisa melihat sisi ini. Yuta adalah contoh dari suami idaman. Ia bisa memasak, mengurus rumah, pintar, tampan, dan pastinya sangat mencintaiku. Hehee.
Aku menopang daguku, "Yuta."
"Hm?" Yuta membalas tanpa berbalik masih fokus menggoreng.
"Kenapa tidak mau pergi ke psikiater?"
Yuta terdiam cukup lama, aku juga tidak ingin memaksanya menjawab. "... Aku tidak ingin dianggap sebagai pasien gangguan jiwa."
"Selain itu?"
"Tidak ada."
"Apa kamu tidak ingin sembuh?"
"... Tidak."
Aku menghela napas, "Apa kamu tidak ingin bekerja nanti?"
"Bukankah tidak perlu bersentuhan saat bekerja?" tanya Yuta balik.
"Mungkin ada, tapi itu tetap akan sulit," Aku berpikir sebentar. "saat menjadi tenaga medis kamu harus melakukan kontak fisik dengan pasien. Menjadi pengusaha juga harus kontak fisik dengan kolega. Meskipun pekerjaan yang kamu lakukan tidak memerlukan itu, selalu ada yang namanya 'kecelakaan' kamu tidak bisa menghindari kenyataan bahwa kamu sakit dan harus disembuhkan."
"Aku masih tidak ingin pergi." tolak Yuta.
Aku berpikir lagi, menjentikan jariku seakan menemukan jawaban. "Ah, kamu seorang pria, saat menikah nanti harus berjabat tangan dengan wali mempelai perempuan. Apa kamu tidak ingin menikah?"
Yuta mematikan kompor tiba-tiba. Yuta terdiam.
"Yuta?" panggilku.
"Tidak ... tidak ada cara lain untuk menikah?"
"Tentu saja tidak ada!" jawabku pasti.
Yuta diam dan tidak berbalik. Aku tidak bisa melihat ekspresinya saat ini, itu pasti sangat lucu. Aku tertawa kecil. "Mari berlatih selama tiga minggu, jika kamu masih belum sembuh baru kita pergi ke psikiater. Aku akan menemanimu, bagaimana?"
Yuta mengangguk, "Baiklah."
Aku tersenyum, "Jujur saja, aku masih tidak senang dengan cara Om membawamu ke psikiater. Tapi, Om pasti sangat peduli padamu. Jadi, mari buat Om menyesali perbuatannya selama tiga minggu. Kita akan meminta maaf setelahnya."
"Iya."
Yuta menaruh piring penuh ayam yang baru saja di goreng. Kami pun makan bersama dengan tenang. Selesai makan, kami mencuci piring bersama.
BUKANKAH INI SEPERTI KEHIDUPAN PENGANTIN BARU?! EHEHEHE.
"Apa Bunda membawakan sikat gigimu?"
Yuta menggeleng, "Tidak. Aku akan membelinya di luar setelah ini."
"Ikut. Aku mau membeli cemilan."
"Baiklah. Pakai jaketmu, biar aku yang menyelesaikan cuciannya."
Aku mengangguk, masuk ke dalam kamarku dan mengambil jaket kuningku. Saat aku keluar, Yuta sudah selesai mencuci piring. Aku menyerahkan jaket merah jambu dan kunci motor padanya. Sementara Yuta menyalakan motor, aku mengunci rumah.
Ah, kehidupan ini ... benar-benar ....
Kami pergi ke pusat perbelanjaan yang cukup besar. Selain sikat gigi dan cemilan, aku baru ingat bahwa beberapa barang di rumah juga perlu dibeli. Kami pergi ke perlengkapan rumah tangga, mataku berbinar-binar menatap barang di sana. Sementara Yuta mendorong troli, aku pergi ke sana duluan. Melihat sikat gigi pasangan, masukan ke keranjang. Sandal rumah pasangan, masukan ke keranjang. Handuk pasangan, masukan ke keranjang. Piama pasangan? Aku berdeham. Belum saatnya. Jika aku membelinya sekarang itu akan terlihat sangat jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis Touch (END)
Teen Fiction(FOLLOW DULU YUK SEBELUM MEMBACA! JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT JUGA BUAT PENYEMANGAT!) . . . "Aku akan menjadi antagonis untuk memilikimu." Bagaikan sebuah anugerah, Nana kembali ke masa lalu. Kembali ke kehidupan SMA-nya yang menjadi awa...