Aku membuka mataku. Mataku terasa sangat tidak nyaman. Terasa membengkak. Apa yang terjadi? Aku melihat sekeliling. Ini di kamarku dulu. Mengapa aku tidur di sini? Bukankah sejak pernikahanku dengan Yuta, kami pindah ke kamar utama? Apa aku tidak sengaja tertidur di sini? Dan, bukankah kamarku diubah untuk menjadi kamar Nata?
Kamarku terasa sangat gelap. Sunyi. Perasaanku berubah tidak nyaman.
Aku membuka tirai kamar. Matahari pagi menyilaukan mataku. Aku menatap lingkungan sekitar. Ini memang kamarku. Tapi ... Aku berdiri di depan cermin. Kantung mata hitam. Aku menatap kedua tanganku, jejak luka bakar saat terkena air panas di kelas memasak masih ada.
Tidak mungkin!
Aku menatap ke kalender, 09 November dengan tahun yang ... Aku menggelengkan kepalaku. Tidak! Tanggal yang sama, bulan yang sama dan tahun yang ... sama. Ini tepat satu hari setelah pemakaman Yuta.
Apa maksudnya ini?!
Apa semua yang terjadi sebelumnya hanyalah mimpi? Apa aku tidak kembali ke masa lalu?
Aku berlari keluar dari rumah. Naik taksi dan pergi ke alamat rumah Yuta sejak pernikahannya dengan Desna. Aku turun dari taksi, menatap satu per satu ucapan 'Turut Berduka Cita' di halaman depan. Aku menggeleng. Yuta! Tidak!
Di dalam rumah masih banyak orang yang berdiri. Aku melihat Bunda Gisel yang matanya merah, tubuhnya sangat kurus dan kulitnya tampak sangat pucat. Bunda Gisel sangat berbeda jika dibandingkan sosok yang aku ingat. Di samping Bunda, seorang pria tua duduk, masih sama dengan wajah tegasnya namun keadaannya bahkan tidak lebih baik dari Bunda.
"Mbak, apa kamu baik-baik saja?" tanya seseorang.
Aku menatapnya. Kulitnya gelap, tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Ini Troy! Aku tidak bisa mengenalinya dari sekali tatap, tapi ini benar-benar Troy.
"Troy," panggilku. Air mataku jatuh. "Yuta ... Yuta ...."
"E-eh, jangan menangis. Kita pergi ke rumahku dulu ya?" ajaknya.
Aku mengikuti Troy, masih cegukan. Aku duduk di perkarangan depan rumahnya. Troy kembali dengan segelas air putih.
"Maaf, hanya ini yang ada di rumah." Aku mengangguk. Troy menatapku, "Jadi, Nana Adhisty?"
"Iya."
Troy tersenyum, "Sudah delapan tahun sejak kita lulus SMA. Aku ingat bahwa Yuta dan kamu sering bersama."
Mataku kembali basah.
"Kepergian Yuta sangat tidak terduga. Kamu pasti sangat sedih mengetahuinya."
Aku menangis lagi. Troy menepuk punggungku. "Menangislah." katanya.
Setelah agak tenang, aku menatap Troy. "Troy, apa menurutmu aku bersalah? Jika aku tidak menjauhi Yuta. Tidak memaksanya untuk berhubungan dengan Desna. Tidak menyakitinya. Tidak ... tidak begitu bodoh. Apa menurutmu Yuta masih akan hidup hingga saat ini?"
Troy terdiam lama, ia tersenyum lembut. "Ini bukan salahmu, Na. Apa yang sudah terjadi, tidak ada gunanya mencari siapa yang salah. Jika kamu selalu mencari kesalahan untuk setiap hal yang terjadi, kamu tidak akan pernah bisa maju dan hanya akan menyesalinya seumur hidup."
Aku terdiam. Troy menatapku dan melanjutkan.
"Apa kamu tahu? Tangan ayahku di amputasi karena infeksi pada lukanya. Jika saat itu aku lebih memperhatikan ayahku, tidak membiarkannya bekerja paksa. Tangan ayahku tidak perlu di amputasi dan aku tidak perlu bekerja setelah lulus SMA seperti ini." Aku terkejut mendengarnya. Aku tidak tahu bahwa Troy menjalani hidup seperti ini. "Jika dan jika, pada akhirnya aku hanya bisa maju untuk menjalani hidup. Karena itu, Nana, jangan terlalu menyalahkan dirimu untuk setiap hal yang terjadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis Touch (END)
Teen Fiction(FOLLOW DULU YUK SEBELUM MEMBACA! JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT JUGA BUAT PENYEMANGAT!) . . . "Aku akan menjadi antagonis untuk memilikimu." Bagaikan sebuah anugerah, Nana kembali ke masa lalu. Kembali ke kehidupan SMA-nya yang menjadi awa...