Akhir-akhir ini, aku dan yang lain sibuk belajar. Tidak ada waktu untuk melakukan yang lain. Belajar. Belajar. Aku bahkan belajar lebih keras dibandingkan kehidupanku sebelumnya. Syukurlah, ada Yuta yang membantuku belajar setiap malam. Aku bisa mengejar materi yang sudah aku lupakan.
Hari ini, tepat tiga minggu setelah janji kami pada Om. Aku dan Yuta berdiri di depan pintu rumah. "Siap?" tanyaku.
Yuta mengangguk kecil.
Aku ingin mengetuk pintu, tapi pintu ke buru dibuka. Aku melihat Bunda Gisel yang tersenyum ramah, "Bunda melihat kalian berdiri lama di depan pintu."
Aku tersenyum, "Apa ada Om di rumah, Bunda?"
Bunda Gisel menunjuk ke dalam, "Ayahnya ada di ruang tengah. Masuklah."
Yuta berdiri di depanku dan berjalan duluan. Jujur saja, aku gugup. Ini seperti aku harus menghadapi calon mertua karena telah menodai anaknya. Astaga, apa yang aku pikirkan?!
Om duduk di posisi yang sama dengan terakhir kali aku melihatnya sebulan yang lalu. Wajahnya masih tegas. Meski, Om yang sekarang terlihat sangat berbeda jika dibandingkan dengan Om saat kematian Yuta sebelumnya.
Aku dan Yuta duduk berseberangan dengan Om, aku meneguk ludah susah. Mengapa saat itu aku tidak berpikir dengan jernih sebelum memarahi Om. Aku benar-benar menyesalinya.
"Om," panggilku. Menatap Om untuk melihat reaksinya. "Nana, ingin meminta maaf pada Om karena telah marah dan tidak berpikir jernih tiga minggu yang lalu. Nana minta maaf."
"Aku juga minta maaf, Yah." kata Yuta.
"Hm." Om bergumam tidak jelas. Aku tidak tahu apa itu artinya iya atau tidak. "Nana, keluarlah."
Aku menatap Yuta ragu, tapi aku tetap pergi. Om tidak mungkin memukul anaknya sendiri, 'kan? Aku menatap keduanya, pembicaraan mereka tidak terdengar sama sekali. Aku menghampiri Bunda Gisel yang berada di dapur.
"Bunda, apa Om masih marah?" tanyaku risau.
"Tenanglah," Bunda Gisel dengan tenang memasukan batu es ke dalam minuman. "Apa kamu melihat ayahnya mengerutkan kening?"
Aku berpikir, menggeleng.
"Ini rahasia di antara kita, Na. Ayahnya Yuta selalu mengerutkan kening saat ia tidak menyukai sesuatu. Jadi jika ia tidak melakukannya, maka ia memaafkan kalian."
Aku mempercayai saja kata-kata Bunda.
"Bagaimana perkembangan Yuta? Apa ia membaik?" tanya Bunda sambil memberikanku es jeruk.
Aku mengangguk, "Yuta bisa berjabat tangan selama satu menit, Bunda. Yuta juga berjanji untuk pergi ke psikiater agar bisa semakin membaik tapi hanya setelah kami lulus SMA." jelasku.
Mata Bunda Gisel berbinar, "Itu bagus. Bagaimana kamu membujuknya?"
"Aku hanya berbicara beberapa patah kata pada Yuta, Bunda."
"Apa itu?"
"Awalnya aku menanyakan apa ia tidak mau bekerja? Yuta malah kembali bertanya Bunda. Aku kemudian bertanya lagi, apa ia tidak mau menikah? Untuk menikah, Yuta harus berjabat tangan dengan wali perempuan nanti. Yuta ragu dan itu sangat lucu, Bunda. Meskipun aku tidak melihat reaksinya."
Bunda Gisel tertawa. "Kamu sangat pintar membujuk Yuta, Nana. Bunda bahkan tidak berpikir untuk melakukan itu."
Aku malu mendengar pujian Bunda Gisel.
Aku melihat Yuta yang berjalan ke arah kami. Aku menghampirinya, "Apa sudah selesai?"
Yuta mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis Touch (END)
Teen Fiction(FOLLOW DULU YUK SEBELUM MEMBACA! JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT JUGA BUAT PENYEMANGAT!) . . . "Aku akan menjadi antagonis untuk memilikimu." Bagaikan sebuah anugerah, Nana kembali ke masa lalu. Kembali ke kehidupan SMA-nya yang menjadi awa...