Touch 20

5.5K 772 49
                                    

"Masih kesal?" tanya Yuta sambil turun dari motor. Memegang keningku.

Aku mendengus, "Jika Ilham tidak buaya sejak dini, maka Desna tidak akan salah paham dan mengira itu kamu." kataku. Desna juga tidak akan jatuh cinta dan Yuta tidak akan mati karenanya. Aku tidak sanggup mengingat detik-detik Yuta menutup matanya untuk terakhir kalinya.

AKU SANGAT MARAH!

Yuta tertawa kecil. Mengusap pucuk kepalaku, "Saat marah pun kamu terlihat lucu."

Ah, hatiku meleleh. Kemana amarahku pergi? Mengapa rasanya hanya dengan kata-katanya emosiku berubah secepat ini.

NANA, KAMU SANGAT PLIN-PLAN!

Aku berdeham, "Lihat saja nanti, jika Ilham tidak menjelaskan kesalahpahaman itu aku akan benar-benar memukulnya."

"Kamu sudah cukup melempari Ilham dengan mangga tadi. Kamu tidak ingat betapa kacau penampilannya tadi." Yuta tertawa.

Ini Bang Yuta kok ketawa mulu sih. Aku jadi tidak bisa marah kalau begini.

"Sudah mau malam. Pulanglah." kataku pada Yuta.

Yuta mengangguk. Aku melambaikan tanganku dan pergi saat punggung Yuta tidak terlihat lagi. Aku masuk ke dalam rumah. Menaruh tasku di atas meja, melepas jaket yang aku pakai. Suara benda jatuh ke lantai berbunyi keras. Aku mengambil benda itu, ternyata ponsel Yuta. Ah, Yuta memakaikan aku jaketnya saat aku mengamuk tadi pasti ia lupa kalau ponselnya ada di saku jaket. Aku menghela napas. Kalau hanya jaket, aku bisa mengembalikannya besok tapi kalau ponsel tidak bisa. Bagaimana jika ada panggilan penting?

Aku memakai kembali jaket Yuta. Memegang ponsel Yuta, mengunci rumah dan pergi ke rumah Yuta. Syukur, rumahnya tidak terlalu jauh. Aku melihat punggung Yuta yang berdiri di depan pintu. Saat aku ingin memanggil Yuta, aku merasakan sesuatu yang salah. Aku setengah berlari dan segera mendengar kata-kata kasar dari Om.

ASTAGA, MENGAPA SELALU ADA YANG TERJADI SETIAP AKU KE RUMAH YUTA?!?!?!

Aku melihat kulit Yuta yang memerah. Tangannya terkepal.

"Inilah mengapa ayah menyuruhmu untuk pergi ke psikiater. Agar kejadian seperti ini tidak terjadi. Apa kamu tahu betapa susahnya menjalin kerja sama dengan Pak Qusairi?! Dan kamu mendorong putrinya hingga jatuh. Yuta, apa kamu ingin semua orang tahu bahwa kamu menderita gangguan jiwa?!"

APA?! BERANINYA?!

Emosiku tersulut. Sejak masalah Desna dan Ilham tadi aku sudah sangat marah dan mendengar kata-kata kasar itu aku tidak bisa lagi menahan amarahku.

Aku memegang tangan Yuta dan menariknya ke belakang tubuhku. "Tarik kembali kata-kata Om barusan!" Om terlihat terkejut karena kehadiranku. Kemudian emosi Om sepertinya ikut tersulut juga.

"Tidak ada yang salah dari yang aku katakan dan jangan ikut campur dalam urusan keluarga kami!"

"Bagaimana mungkin aku tidak ikut campur saat Om menyakiti Yuta, apa Om tidak tahu bahwa kata-kata kasar yang Om keluarkan adalah hal yang tidak ingin Yuta dengar dari mulut ayahnya. Mengapa Om sangat tidak berperasaan. Yuta adalah darah daging Om, dibandingkan urusan lain anak adalah hal yang harus diutamakan!" Aku menatap tajam pada Ayah Yuta. "Dan apa tadi, Yuta mendorong seorang gadis?! Om, apa benar Om mengenal Yuta dengan baik? Apa Om sudah menanyakan alasan Yuta melakukan itu? Tidak mungkin Yuta mendorongnya tanpa alasan. Sebelum Om memarahi Yuta tanyakan pada gadis itu apa yang sudah ia lakukan pada Yuta."

Napasku terengah-engah. Aku mengeluarkan semua amarah yang aku simpan, melampiaskannya pada Om.

"Masih ada tiga minggu hingga janji Yuta untuk membuktikan diri pada Om. Dalam tiga minggu, Yuta akan tinggal bersamaku dan ia akan membaik. Terlepas dari statusnya sebagai seorang anak, Yuta masihlah manusia dan ia berhak memutuskan apa yang ingin ia lakukan dalam hidupnya! Om tidak boleh mengaturnya!" Aku menatap Yuta yang terdiam. "Ambil motormu, aku tidak ingin berjalan kaki."

Yuta mengangguk dan kami segera pergi dari sana. Aku tahu bahwa berbicara saat marah itu tidak baik dan hanya akan meninggalkan penyesalan. Tapi aku sangat marah saat ini. Meskipun ayah mertua sekalipun, tidak ada yang boleh menyakiti Yuta-ku!

Sesampainya di rumah, aku segera pergi ke dapur dan minum seteguk air dingin. Aku menghela napas, akhirnya perasaanku sedikit membaik. Aku duduk di sofa, menatap Yuta yang menunduk di sofa lainnya.

"Apa Om memukulmu?"

Yuta menggeleng.

Aku menghela napas. "Jangan terlalu khawatir. Om hanya akan marah padaku karena sudah ikut campur."

Yuta menatapku serius, "Tolong jangan lakukan itu lagi. Aku tidak ingin membahayakanmu, Na."

"Baiklah, aku berjanji. Maaf."

"... Terima kasih," kata Yuta. "karena sudah membelaku di depan Ayah."

"Oke, sebagai gantinya, karena kamu tinggal di rumahku selama tiga minggu. Mari hidup dengan rukun."

Yuta menunduk. Telinganya memerah. Oh, lihatlah cowok yang sangat jujur ini.

"Mau tidur bersama?"

"A ... apa maksudmu, Na?!" Yuta tergagap.

Aku tertawa, "Aku hanya bercanda. Jangan berpikiran yang aneh. Kita tidur di kamar yang berbeda." Yuta mengalihkan pandangannya.

"Pergilah mandi duluan. Aku akan membersihkan kamar Mama, kamu bisa tidur di sana." Yuta mengangguk dengan wajahnya yang sangat merah. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepalanya yang pintar itu.

Terdengar air mengalir di kamar mandi. Aku mengambil sapu untuk mulai membersihkan kamar Mama namun terdengar pintu rumah di ketuk. Aku segera membukanya. Bunda Gisel berdiri di depanku dengan senyum ramahnya. Aku merasa malu karena barusan mengamuk di depan rumah Bunda.

"Masuk, Bunda." ajakku.

Bunda Gisel menolak, "Bunda datang hanya untuk mengantarkan pakaian dan buku pelajaran Yuta." Koper yang ada di tangan Bunda diserahkan padaku. "Fobia Yuta adalah kesalahan Bunda dan Ayahnya yang tidak bisa melindungi Yuta saat kecil. Terima kasih karena sudah mau membela dan mengerti Yuta. Untuk masalahnya Ayah Yuta, Bunda yang akan mengurusnya, kamu tidak perlu khawatir."

Aku mendengarkan dengan saksama, "Nana, minta maaf karena sudah berbicara kasar. Terutama pada Om tadi. Maaf, Bunda. Nana terlalu emosi dan tidak berpikiran jernih."

Bunda Gisel tersenyum, "Bukan salahmu, kamu hanya ingin membela Yuta. Bunda pamit dulu, Ayahnya Yuta masih menunggu di sana."

Aku terkejut, menatap pengemudi yang ada di dalam mobil. Itu memang si Om! Mungkin melihat keterkejutanku, Bunda Gisel sedikit tertawa dan segera pergi dari sana. Aku menutup pintu rumah dengan perasaan campur aduk.

Aku melihat Yuta yang baru saja keluar dari kamar mandi. Menyerahkan koper miliknya, "Bunda dan Ayahmu mengantarkannya. Aku akan melanjutkan membersihkan kamar Mama, gantilah pakaianmu." kataku karena Yuta masih mengenakan seragam sekolahnya meskipun baru keluar dari kamar mandi.

Yuta mengangguk.

Aku masuk ke dalam kamar Mama. Membersikan secara perlahan. Sapu yang aku pegang jatuh ke lantai.

Tunggu dulu! Apa maksudnya ini?!

APA BUNDA DAN AYAHNYA YUTA MENGIZINKAN ANAKNYA TINGGAL BERSAMAKU? AKU? YANG SEORANG GADIS INI?

TIDAK MUNGKIN!!!! AKU DAPAT RESTU DARI MERTUA?!?!

20 November 2020

.

Kapan gitu ya bisa dapat restu dari mertua :)

.

Red

Antagonis Touch (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang