"Na, aku akan menuruti keinginanmu. Asal jangan jauhiku aku, kumohon." Yuta menggenggam tangan Nana saat ia ingin melarikan diri.
Nana menyentak tangan Yuta, "Kalau begitu temui Desna!"
Jangan! Yuta, jangan turuti keinginannya.
Lokasiku berganti lagi, kini aku ada di kelas memasak. Nana, Yuta, Desna dan Bisma sekelompok. Ini pasti saat tanganku terkena air panas. Benar saja, saat Nana terluka, Yuta segera ingin menolong. Namun, hubungan 'pacar' yang membelenggu Yuta menghambatnya.
"Aku bisa sendiri! Desna adalah pacarmu, jangan pedulikan aku!" Nana bersikeras.
"Kamu adalah sahabatku, Na!"
"Tidak lagi!" kata Nana tegas. Yuta terdiam di tempat. Wajahnya terlihat sangat kaku.
"Nana, kamu tidak apa-apa?" Bu Endah bertanya. Ia mengamati kulit tanganku yang mulai memerah. "Pergilah ke rumah sakit. Ibu akan memberimu izin." Nana mengangguk dan pergi ke rumah sakit bersama yang lain. Meninggalkan Yuta sendiri.
Aku menangis. Ini benar-benar mengerikan. Betapa hancurnya perasaan Yuta saat itu, persahabatan kami sejak kecil hancur dengan mudahnya hanya karena kata-kataku.
Lokasi berganti lagi, aku melihat sekeliling, kali ini terjadi setelah pemakaman Mama. Aku ingat betapa menderitanya aku. Tidak ada sahabat yang menemaniku. Tidak ada yang mendukungku. Tidak ada siapa pun. Aku sendirian. Kepergian Mama adalah pertama kalinya aku merasa benar-benar sendiri di dunia ini.
Aku melihat Yuta yang berdiri di depan pintu rumah. Ragu untuk mengetuk tapi masih melakukannya. "Na, aku membelikanmu makanan. Aku menaruhnya di luar." Setelah mengatakan itu, Yuta pergi. Nana membuka pintu, melihat makanan yang ada di lantai. Ia terduduk, memeluk dirinya sendiri dan menangis.
Hari itu, aku menyadari bahwa Yuta sangatlah berarti dalam hidupku. Sangat berarti melebihi apa pun. Namun semua sudah terlambat. Sudah banyak luka yang aku torehkan pada Yuta hingga aku tidak sanggup melihatnya lagi. Setelah kelulusan, aku fokus untuk belajar. Belajar untuk menjadi lebih baik meskipun sendirian. Tidak tahu butuh berapa tahun untuk bisa lepas dari masa lalu. Saat aku mendapatkan undangan pernikahan Yuta dan Desna, aku tidak hadir. Aku terlalu malu untuk bertemu Yuta. Aku takut melihat Yuta yang sudah aku kecewakan. Sahabat masa kecil sekaligus orang yang aku cinta.
Lokasiku terus menerus berganti. Dan selalu berhenti di saat Nana melakukan sesuatu yang jahat kepada Yuta. Berulang-ulang aku melihat Yuta tetap tersenyum ke arahku. Itu membuatku tersadar, aku sangat jahat lebih dari yang aku kira selama ini. Yuta tidak pernah menunjukkannya. Bahkan saat hubungan kami benar-benar terputus, Yuta terus saja mencari tahu tentangku. Aku tidak bisa membendung air mataku lagi. Perasaanku terasa sangat sakit.
Sekarang aku berada di dalam mobil, tidak ada Nana kali ini. Aku duduk di kursi belakang, ada Yuta yang sedang menyetir. Desna juga ada di sampingnya. Penampilan Yuta tidak seperti saat ia masih di SMA. Penampilannya sudah jauh lebih dewasa. Dan ia masih terlihat sangat tampan.
"Mengapa kamu tidak bisa menuruti permintaan ayah?" Desna membuka pembicaraan. Suasana di sekitar terasa sangat canggung dan sesak.
Yuta terdiam lama sebelum akhirnya membalas, "... Kamu tahu bahwa aku tidak bisa menyentuhmu."
Desna mendengus, "Itu karena kamu tidak mau mencoba. Pikiranmu selalu di penuhi oleh Nana. Kamu hanya mau menyentuh Nana, kamu pasti sangat mencintainya."
"Jangan bawa Nana. Aku tidak ingin kamu menyebut namanya!" rahang Yuta mengeras, tangannya terkepal disetir.
"Apa?! Apa kamu akan menceraikanku dan segera menikahi Nana jika aku menyebut namanya?!" Desna semakin emosi. Ia berteriak nyaring hingga wajahnya berubah merah. "Kamu tidak pernah sekali pun mencintaiku! Selalu saja Nana. Nana. Nana. Apa bagusnya Nana daripada aku?!"
"DIAM!!!!" Yuta berteriak nyaring.
Aku terkejut.
Desna semakin terpancing. Ia mulai mengatakan semua kejelekanku dan betapa tidak pernah ada Yuta di hatiku. Yuta terlihat sangat marah. Pandanganku tertuju pada mobil truk yang melaju tidak stabil.
"Yuta!" panggilku. Namun Yuta tidak bisa mendengarku. "YUTA!!!!" Aku panik.
Saat Yuta dan Desna tersadar, Yuta segera memutar setir cepat untuk menghindar. Sayangnya mereka terlambat. Area pengemudi sudah tertabrak sebelum berhasil menghindar. Aku menutup mulutku segera melihat keadaan Yuta yang terluka sangat parah. Desna masih terkejut akan kejadian barusan tapi ia tidak terluka seperti Yuta. Desna terselamatkan karena Yuta segera menghindari mobil truk yang melaju ke arah mereka. Mobil truk itu menabrak pohon hingga terhenti.
Tanganku bergetar. "Yuta!!! Sadarlah."
Desna keluar dari mobil dan langsung terduduk di tanah. Tubuhnya sangat bergetar hebat saat ini. Orang-orang di sekitar segera berdatangan, ambulans datang beberapa menit kemudian. Yuta segera di keluarkan dari mobil dan diberi pertolongan pertama.
"Kita ke Rumah Sakit Dongeng." Salah satu tenaga medis berteriak pada pengemudi ambulans.
Yuta sedikit tersadar. "Fik ... si...." Tenaga medis itu mendekatkan telinganya ke arah Yuta yang berbicara. Yuta mengulangi perkataannya walau sedikit terbata-bata.
"Ke Rumah Sakit Fiksi!" Tenaga medis itu segera menyampaikan pesan Yuta pada si supir.
Aku menggenggam tangan Yuta. Sekalipun tidak terasa apa-apa karena tubuhku tidak bisa menyentuhnya. Air mataku mengalir deras, aku sangat khawatir. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, karena itu ... karena itu ... tolong selamatkan Yuta.
Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk mengubahnya.
Sekali lagi aku melihat Yuta memejamkan matanya dengan alat-alat medis di sekitarnya. Aku tidak kuat. Aku tidak bisa menerima ini. Jadi aku memilih untuk pergi.
Pemakaman Yuta dilaksanakan seminggu kemudian, Nana masih saja menangis seperti yang aku ingat. Bunda dan Om juga ikut menangis. Bunda bahkan pingsan berulang kali hingga Om harus membawa istrinya pergi lebih cepat. Nana menangis cukup lama hingga akhirnya ia juga pergi.
Aku tidak tahu mengapa lokasiku tetap tidak berganti meskipun Yuta sudah meninggal dan Nana sudah pergi. Aku masih berdiri di depan kuburan Yuta. Tidak ada siapa pun. Aku memalingkan wajahku ke samping, seseorang berjalan mendekat. Itu Desna!
Ia membawa satu tangkai mawar merah. Menaruhnya di atas kuburan Yuta. Air mata Desna mengalir. Aku hanya bisa mengamatinya dalam diam.
"Terima kasih sudah menolongku." buka Desna. "Aku minta maaf karena selama ini sudah merebut kebahagianmu. Ba ... bahkan ... di saat terakhir pun, kamu hanya ingin bersamanya bukan denganku."
Aku terdiam. Selama ini, Desna pasti sangat terluka juga. Mencintai seseorang yang tidak balas mencintaimu, itu sangat menyakitkan. Tiba-tiba aku merasa kasihan terhadapnya. Cinta dapat membuat seseorang berbahagia namun juga dapat menorehkan luka yang teramat sangat.
Desna menangis keras, "Jika kita di beri satu kesempatan lagi, aku berjanji padamu Yuta. Aku akan merelakanmu. Selama kamu bisa hidup bahagia, aku akan melepasmu. Jadi aku mohon maafkan aku. Maafkan aku, Yuta!"
Tiba-tiba tubuhku terasa ditarik begitu saja. Sekeliling ruang putih memutar semua kenangan yang terjadi sebelumnya. Membuatku merasakan sesuatu yang sangat menyesakkan. Aku memukul-mukul dadaku berulang kali. Rasa sesak ini tidak mau menghilang.
Jadi ... kehidupan kedua yang aku jalani ini karena rasa bersalah Desna? Karena permintaannya yang begitu tulus. Aku tertawa dengan mata yang basah. Karena ketulusan Desna lah aku bisa bersama Yuta lagi. Bisa menebus kesalahan-kesalahan yang sudah aku lakukan pada Mama dan juga Yuta. Aku bisa meminta maaf dengan benar kepada orang-orang yang aku sakiti. Tanpa tahu bahwa ternyata ada satu orang lagi yang merasakan hal yang sama dan aku belum meminta maaf padanya. Seharusnya aku tidak terlalu jahat pada Desna. Semua yang ia lakukan hanya karena ia juga mencintai Yuta.
Aku mendengus. Ternyata aku selalu mendapatkan peran antagonis dan itu tidak pernah berubah. Aku selalu menyakiti orang-orang di sekitarku. Aku orang yang jahat!
24 November 2020
.
Siapa ... siapa yang tega menaruh bawang di sini T_T
.
Red
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis Touch (END)
Teen Fiction(FOLLOW DULU YUK SEBELUM MEMBACA! JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT JUGA BUAT PENYEMANGAT!) . . . "Aku akan menjadi antagonis untuk memilikimu." Bagaikan sebuah anugerah, Nana kembali ke masa lalu. Kembali ke kehidupan SMA-nya yang menjadi awa...