Touch 16

5.6K 738 22
                                    

Setelah semua mendapatkan nomor dan menemukan pasangannya, acara jerit malam pasangan dimulai. Satu persatu pasangan mulai berjalan sesuai nomor mereka. Yuta juga sudah mulai berjalan dengan gadis yang aku tidak tahu siapa. Aku dan Ilham harus menunggu karena kami urutan dua puluh tujuh. Samar-samar aku mendengar suara jeritan. Kebanyakan suara murid cewek. Apa hantunya seseram itu ya? Bulu kudukku jadi merinding dibuatnya.

Sehabis nomor dua puluh enam, kini giliran aku dan Ilham yang maju. Adrenalinku meningkat. Aku sangat bersemangat menyambut ini.

"Kamu jangan cari-cari kesempatan dengan memelukku ya." kata Ilham.

"He eh, justru kamu yang jangan cari kesempatan. Aku alergi nyentuh kamu tahu."

"Aku juga alergi nyentuh kamu."

"Dibandingkan bertemu sama hantunya, kayaknya lebih horor kalau harus berduaan sama kamu, Ham."

Ilham mengumpat kecil.

Panitia di depan kami menghentikan adu mulut ini dengan mengatakan untuk bersiap-siap. Aku dan Ilham berhenti. Kami mulai melangkah ke dalam hutan yang gelap. Berjalan di tengah malam dengan hanya berbekal satu senter. Aku akan sangat bahagia melakukan ini dengan Yuta. Sayangnya, itu tidak terjadi.

Suara gemerisik datang dari Ilham, aku terkejut. Itu membuatku kaget. Ia mengambil sebuah radio kecil (?) dari balik sakunya. Hm, walkie talkie? Mungkin. Aku tidak terlalu melihat dengan jelas karena sibuk mencari petunjuk jalan.

"Di umumkan kepada seluruh panitia yang melihat Nana Adhisty dari kelas 12 IPA 5 untuk segera membawanya ke tenda panitia. Sekali lagi di umumkan ...."

Aku menatap Ilham bingung, kenapa namaku disebut-sebut. "Kamu buat masalah ya sama panitia?" Ilham menatapku penuh curiga.

"Tidak."

"Hm ... Pokoknya kita kembali dulu." putusnya.

Aku cemberut. Padahal aku baru saja mau memulai jerit malamnya. Belum bertemu satu pun hantu tapi sudah harus kembali.

"Tidak perlu sedih begitu karena kamu tidak bisa berpasangan denganku."

Aku memukul kepala Ilham dengan senter. Siapa tahu otaknya jadi lurus lagi.

"Amit-amit, Ham. Kamu, aku tinggal sendirian di sini kalau ngomong yang aneh-aneh lagi."

"Kejam kamu, Na."

Aku dan Ilham pergi ke tenda panitia. Aku juga bingung kenapa si buaya darat mengekori sampai sini.

"Kak Nana Adhisty?" tanya seseorang saat aku masuk.

"Iya." Aku mengangguk.

"Paman kakak menelpon." Ia menyerahkan telepon padaku. Para peserta memang dilarang membawa ponsel hanya panitia yang diizinkan. Jadi, jika ada sesuatu yang penting, keluarga peserta harus menelpon pihak panitia atau guru.

Aku menerima telepon itu dengan bingung. Untuk apa paman meneleponku?

"Halo paman, ini Nana." Aku mendengarkan dengan saksama.

"Nana, cepat pergi ke rumah sakit. Mama kamu kecelakaan." suara paman bergetar di gendang telingaku. Sepertinya aku salah mendengar kalimat yang diucapkan paman.

"Paman, bisa ulangi. Nana, Nana sepertinya salah dengar." tanganku memegang telepon itu dengan tangan bergetar.

"Mama kamu kecelakaan, Na. Sekarang paman sudah di Rumah Sakit Fiksi. Kamu segera kesini."

Aku terduduk di tempat. Telepon yang aku pegang jatuh ke tanah. Air mataku menumpuk di kelopak. Aku mencoba berdiri tapi kakiku kehilangan tenaganya.

"Na, ada apa?!"

Dengan penglihatan yang memburam karena air mata, aku memegang kedua tangan Ilham. "Ham, aku harus pergi ... Mama ... Mama ...."

"Mama kamu kenapa?"

"Mama kecelakaan!" air mataku tumpah. Aku mencengkram pergelangan tangan Ilham erat. "Aku harus segera kesana."

"Kita panggil guru dulu."

"Para guru sedang membantu acara jerit malam kak. Aku akan me-"

"Tidak perlu. Aku akan mencari kendaraan sendiri," tolakku. Aku mencoba berdiri dengan sekuat tenaga. Aku harus segera bertemu dengan Mama. Tidak boleh membuang waktu sedikit pun.

"Biar aku yang mengantar Nana. Re, kamu izinkan kami berdua."

"Baik kak."

Ilham menarikku pergi menuju ke parkiran. Ia naik ke sebuah motor dan segera menyalakannya. Aku segera naik dan Ilham memacu motornya dengan cepat. Setiap detik yang aku lewati rasanya sangat menyakitkan. Pikiranku dipenuhi dengan kenangan saat kejadian yang sama terjadi. Saat itu, saat Mama dalam keadaan kritis sehabis kecelakaan. Paman juga menghubungiku seperti ini.

Meskipun waktu kejadiannya berbeda tapi ini persis sama. Mama, tolong jangan pergi. Nana tidak mau kehilangan Mama untuk kedua kalinya. Aku mengepalkan kedua tanganku. Kumohon, Mama jangan pergi!

Ilham menghentikan motornya di depan Rumah Sakit Fiksi. Aku tidak tahu berapa lama kami berkendara. Aku juga tidak tahu apakah Ilham mengikuti atau tidak. Aku tidak terlalu memperhatikan, yang ada di kepalaku saat ini. Aku ingin bertemu Mama segera.

Paman duduk menunggu di depan ruang operasi. Aku berdiri di depan pintu, berharap bisa melihat Mama yang sedang berjuang di dalam sana. Kakiku kembali lemas. Mama pasti baik-baik saja. Mama pasti selamat. Aku percaya itu.

Aku berjalan ke arah paman dan duduk di sampingnya. Aku menahan air mata jatuh membasahi pipiku, aku harus kuat demi Mama.

"Paman, bagaimana bisa Mama kecelakaan?"

"Paman diberitahu oleh orang-orang yang ada di Rumah Makan. Saat ingin menyeberang jalan tiba-tiba saja ada pengendara mobil yang mabuk dan kecelakaan itu terjadi. Pengendara mabuk itu sudah ditangani oleh pihak polisi." jelas paman.

Kepalaku terasa semakin berdenyut. Orang mabuk? Huh, kenapa pelaku penabraknya pun sama. Kenapa kejadian yang sebelumnya kembali terulang. Tidak! Tidak! Aku tidak mau kehilangan Mamaku! TIDAK!

Aku menundukkan kepalaku. Rasanya sakit sekali. Semua reka ulang kematian Mama di kehidupanku sebelumnya pun kembali terputar, tumpang tindih dengan ingatan sekarang. Senyum Mama, darah, omelan Mama, darah, kuburan Mama, perasaan sendiri itu. Tidak. Aku tidak bisa menerimanya.

Aku melihat ke arah ruang operasi. Lampu di pintunya mati dan seorang dokter keluar dari ruang operasi. Aku dan paman segera menghampiri dokter tersebut. Menunggu dokter untuk berbicara meskipun hatiku sudah merasa tidak nyaman. Tubuhku bergetar. Aku hanya membuka mulut tanpa bisa mengeluarkan suara.

"Bagaimana keadaan kakak saya, dok?" tanya paman.

Dokter di depanku menepuk bahu paman, ekspresinya terlihat berempati. "Maafkan kami, kami sudah melakukan semua yang kami bisa tapi pasien sudah kehilangan banyak darah saat kami menolongnya."

Aku menutup mulutku sendiri. Tidak. Tidak mungkin. Aku menggelengkan kepalaku, menolak pernyataan dokter barusan. Kakiku termundur untuk menjauh. Aku berbalik. Ini pasti mimpi. Ini pasti hanya mimpi! Ini pasti mimpi, aku harus terbangun. Aku harus terbangun dari mimpi buruk ini. Mama! Mama tidak mungkin meninggalkanku.

Mama! Mama, tolong Nana, Ma. Kepala Nana sakit! Sakit! Sakit! Aku tidak bisa menerima mimpi buruk ini. Siapa pun ... tolong bangunkan aku ....


08 November 2020

.

Ada yang nangis?

.

Red

Antagonis Touch (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang