Touch 7

8.8K 1.1K 17
                                    

Hari ini hari minggu. Sekolah libur dan itu artinya semakin banyak waktu untuk tidur. Tapi tidak untukku. Sejak subuh hari, Mama sudah membawaku pergi ke rumah makan milik Mama. Mama punya rumah makan kecil, rumah makan itu peninggalan Ayah. Semenjak Ayah meninggal, Mama yang mengurusnya. Rumah makan ini sangat berjasa. Karenanya, aku bisa hidup dan bersekolah bahkan sampai menjadi perawat yang sukses. Semua karena rumah makan yang membiayai hidupku.

Setelah Mama meninggal, Paman dan Bibi yang mengambil alih. Lagipula aku tidak terlalu paham cara mengurus rumah makan. Senang bisa melihat rumah makan ini lagi bersama Mama.

Aku mengeratkan jaket kuning yang aku pakai. Menghalau kulitku dari terkena angin pagi tapi percuma. Cuacanya sangat dingin hari ini. Aku bersin beberapa kali saking dinginnya.

"Ma, ini masih pagi sekali. Bukankah kita terlalu cepat membuka RuMak?"

Ya, RuMak, aku memberikan singkatan untuk rumah makan Mama.

Mama berkacak pinggang, "Masih banyak yang harus dipersiapkan. Jangan terlalu pemalas!!" omel Mama.

Aku menghela napas pelan. Mama sudah berjalan kearah dapur untuk memeriksa persediaan. Aku melihat kesekeliling. Pemahamanku tentang furniture sedikit rendah jadi aku tidak tahu lantai dan lainnya ini terbuat dari kayu apa. Untuk rumah makan kecil, ini kelihatan bagus. Pemandangannya juga cukup indah. Tidak terlalu buruk.

Hm, untuk makanan yang disediakan, aku pernah mencoba beberapa. Makanan kesukaanku disini adalah geprek udang sambal ijo. Rasanya sangat nikmat. Aku selalu merekomendasikannya pada Yuta. Sayangnya, cowok itu tidak suka pedas. Uh, memikirkan makanan membuat perutku keroncongan. Aku hanya memakan roti tanpa selai tadi.

Mama keluar dari dapur. "Kita kehabisan cabai ijo." Katanya.

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Yah, aku bingung harus memberikan respon apa.

"Kita akan pergi membelinya."

Jadi... aku dan Mama pergi ke pasar tempat langganan Mama membeli cabai. Dan tebak hal menariknya—daripada membawa Kang Ujang atau pekerja Mama yang lain—Mama menyuruhku untuk membawa cabai ijo yang beratnya 5 kg. Astaga, ini tulang punggungku kesakitan nahan beban. Mama sepertinya hanya menganggap aku sebagai anak tiri selama ini. Tidak. Tidak. Mungkin saja hanya seorang pekerja tanpa gaji.

"Kamu ini? Lemah sekali. Masa gitu saja tidak bisa." Mama mengomel.

Aku menghela napas lelah. Mengangkat kembali cabai ijo itu tinggi-tinggi. Sabar Nana!!! Ini tidak berat!!! TIDAK BERAT!!!

Seperti pahlawan yang datang menolong, seseorang mengambil alih cabai ijo yang aku bawa. Yuta menggantikanku membawa cabai ijo. Ia tersenyum padaku. Aku terkejut. Jujur saja, pasar itu ramai, Yuta bisa saja tersentuh siapa pun di pasar ini dan fobianya bisa kambuh kapan saja. Itu bahaya!!! Apalagi, aku pikir hari ini kami tidak akan bertemu. Ehem, untuk yang terakhir lupakan saja!!

Mama sama terkejutnya sepertiku mendapati Yuta disini.

"Kenapa disini?" tanyaku.

"Nemenin Bunda." Yuta mengarahkan matanya pada Bunda Gisel. Aku melihatnya meskipun harus menyipitkan mata hanya untuk melihatnya. Tidak. Aku tidak rabun tapi dengan jarak sejauh itu cukup sulit mengenali yang mana Bunda Gisel.

TUNGGU!!!

Ini Yuta mengenaliku dari jarak sejauh itu? Seriusan? WOW!

Bunda Gisel akhirnya menghampiri kami. Aku memberi salam dan Bunda Gisel cipika-cipiki sama Mama. Aku tidak tahu kelanjutannya tapi aku dan Yuta berakhir di RuMak dan disuruh untuk menjadi pelayan. Mama dan Bunda Gisel sudah pergi entah kemana. Mereka tampak sangat girang tadi.

Aku menghampiri pelanggan yang baru masuk, "Selamat datang. Silahkan kemari," kataku mengarahkan ke meja nomor satu. Aku tersenyum ramah, sambil berbicara aku memberikan buku menu pada pelanggan. "Disini kami memiliki menu utama geprek udang dengan sambal ijo. Saya menyarankannya untuk kakak-kakak sekalian."

Kedua pelanggan itu saling pandang. "Kami pesan itu saja. Dan juga es tehnya."

"Baiklah. Silahkan ditunggu." Aku mencatat pesanan mereka dan memberikannya pada Kang Herman. Juru masak Mama. "Dua geprek udang sambal ijo, Kang."

"Baik, Non." Balas Kang Herman.

Aku menepuk punggung Yuta, "Sudah lihatkan? Tidak ada sentuhan. Kamu bisa melayani pelanggan dengan baik. Biar aku yang mengantarkan makanan kamu cukup menyambut saja. Mau?"

Yuta mengangguk. Aku baru saja mempraktikkan pada Yuta untuk melayani pelanggan. Sebelumnya ia ragu melakukan, khawatir melakukan kontak fisik yang bisa memancing emosi. Yuta tidak mau rumah makan Mama kenapa-kenapa karenanya. Emang dasar Mama, kasihan Yuta yang imut ini disuruh jadi pelayan. Tapi ia juga kelihatan imut saat mendatangi para pelanggan dan melayani mereka dengan raut wajah sedikit cemas itu. Aku berdeham sepertinya aku kurang minum.

Saat ada segerombolan gadis seumuranku datang—sedikit lebih muda maksudnya—aku menghentikkan Yuta untuk melayani mereka. Menyuruh Yuta untuk mundur dan melayani yang lain.

AKU TIDAK CEMBURU YA!!! PERLU AKU TEGASKAN ITU.

Aku hanya tidak mau Yuta diserang secara tiba-tiba. Secara ya, dia itu ganteng. BANGET!!! Nanti kalau gadis-gadis didepan ini menjadi agresif dan tiba-tiba menyerang Yuta bagaimana? Aku hanya melindungi RuMak dari hal buruk, itu saja. Bukan karena aku cemburu!

Salah satu gadis mengarahkan kamera pada Yuta, aku segera menghalanginya. Aku tersenyum hangat, "Apa ada yang ingin dipesan?" gadis itu mencari celah tapi aku sekali lagi menutupinya.

Ia mendengus. BODO AMAT!!! Yuta itu bukan buat umum cuma aku yang boleh menyimpan fotonya. Yang lain? NO!

"Kak, tidak bisakah kakak cowok itu saja yang melayani kami?" tanya gadis yang memakai baju ungu.

Aku menggeleng, "Kakak itu sedang sibuk, dek. Biar saya saja yang melayani adek-adek sekalian."

Si baju ungu masih tidak menyerah, "Kan kakak bisa bertukaran dengan kakak itu." katanya. Yang lain ikut mengangguk.

Tenang Nana! Tenang!!

"Hm, mungkin jika kalian bisa membawa banyak pelanggan kesini, kakak cowok itu bisa melayani kalian." Kataku licik.

Huh, mana mungkin mereka bisa!

Keempat gadis itu menjadi riang, mereka segera mengambil foto disekitar rumah makan ini dan entah ini hari kesialanku atau tidak. Mulai banyak pelanggan berdatangan. Aku meneguk ludahku susah, pandanganku berhenti pada keempat gadis itu.

Ah, s****! Aku menatap Yuta, sedikit merasa bersalah. MAAFKAN AKU YUTA!!!! AKU BARU SAJA MENJUALMU!!!

Aku menarik lengan baju Yuta, "Kamu layani pelanggan nomor enam. Biar aku yang disini."

Yuta mengangkat alisnya sepertinya ia bingung. Aku tersenyum kikuk. "Baiklah." Setujunya dan pergi ke meja empat gadis itu. Mereka tampak sangat riang, aku khawatir Yuta akan diserang tiba-tiba. Jadi, aku memperhatikan interaksi Yuta dan keempat gadis itu dari awal sampai akhir. Yuta menatapku, ia tersenyum manis. Keempat gadis itu juga ikut menatapku, eh? Dapat kulihat keempat gadis itu kembali tenang. Tidak sesemangat sebelumnya.

Aku tidak tahu apa yang Yuta katakan pada mereka. Tapi itu membuatku senang.

01 Mei 2020

.

Red

Antagonis Touch (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang