Aku terduduk di kamarku. Sendiri. Setelah pingsan di rumah sakit, aku sadar bahwa ini bukan mimpi. Mama benar-benar pergi untuk kedua kalinya. Perasaan kali ini bahkan lebih menyakitkan dibanding kepergian Mama sebelumnya. Aku tidak kuat. Aku tidak kuat melihat Mama tidak bernyawa, aku tidak kuat melihat Mama yang kembali tidak bisa aku temui. Tidak bisa aku ajak bicara lagi.
Aku memeluk diriku sendiri. Tidak ada cahaya yang masuk ke dalam kamarku. Entah sudah berapa jam aku berdiam diri di kamar. Aku sedang tidak ingin bertemu siapa pun saat ini. Termasuk Yuta. Aku masih tidak sanggup menerima kenyataan bahwa kehidupan keduaku ini bukan untuk merubah masa depan tapi hanya untuk merasakan sakit kehilangan orang yang aku sayangi untuk kedua kalinya. Aku tidak mau kembali merasakannya. Tolong, selamatkan aku.
"Na! Nana! Ini aku Yuta." pintu kamarku diketuk. Aku menyembunyikan diriku semakin dalam. "Tolong keluarlah, kamu harus makan."
Aku mendiamkan Yuta.
"Aku akan kembali besok pagi. Kamu harus sekolah, Na." kata Yuta nyaring. "Makanannya ada di luar."
///
"Nana! Kamu sudah bangun? Kita harus berangkat sekolah." teriak Yuta. Aku mendengarnya. Tapi tubuhku tidak mau bergerak untuk bangkit. "Nana, tolong keluarlah! Kamu bisa sakit jika tidak makan sama sekali. Tante pasti sedih melihat anaknya seperti ini."
"Nana?!" panggil Yuta sekali lagi.
"AKU TIDAK MAU MELIHATMU, YUTA!" teriakku nyaring. Aku bangkit dari ranjang dan berdiri di depan pintu. Aku memukul pintu seperti sedang berhadapan dengan Yuta saat ini. "AKU TIDAK BISA MENERIMA KEPERGIAN MAMA DAN AKU TIDAK MAU KEHILANGANMU LAGI."
"Na, aku tidak akan pergi kemana-mana!"
"TIDAK! SUATU HARI NANTI KAMU PASTI AKAN PERGI JUGA SEPERTI MAMA. AKU TIDAK MAU MELIHAT ITU. AKU TIDAK MAU!"
"Na, dengarkan aku. Suatu hari nanti, aku juga pasti akan kehilanganmu. Bukan hanya kamu yang akan kehilangan aku. Kita semua di dunia ini pasti akan kembali pada sang pencipta. Kamu harus menerimanya, Na."
"Aku tidak sekuat itu, Yuta."
"Kamu kuat, Na. Aku percaya itu."
"Tidak." Aku menangis. "Aku tidak bisa merubah masa depan, Ta. Aku tidak mau kehilanganmu juga."
"Na, jika tidak bisa merubah masa depan maka jangan sia-siakan saat ini. Tante berbicara padaku, Na. Beliau bangga padamu. Beliau bahagia saat bersamamu. Tante pergi tanpa ada penyesalan, Na."
Aku terdiam. Menutup kedua mulutku tidak percaya.
"Meskipun tidak bisa merubah masa depan, tante bahagia dengan waktu yang beliau habiskan denganmu." Yuta mengetuk pintu pelan. "Keluarlah ... kumohon ... jika aku akan pergi, aku tidak mau membuang waktuku tanpamu. Aku butuh kamu, Na."
Kata-kata yang Yuta sampaikan. Aku tahu semua itu benar. Aku seharusnya tidak menyia-nyiakan waktu yang ada. Jika Yuta akan pergi seperti Mama, aku tidak boleh membuang waktu bahkan sedetik pun. Tiap hela napasku saat ini adalah waktu yang berharga yang tidak akan pernah terulang lagi.
"Aku akan memberimu waktu lagi untuk memenangkan diri. Tapi berjanjilah untuk makan, aku tidak mau kamu sakit." Aku mendengar Yuta meletakkan sesuatu di depan pintu.
Perasaan kehilangan ini pasti akan aku rasakan lagi. Apa aku benar-benar siap? Aku memegang gagang pintu kamar dengan ragu. Perasaanku campur aduk saat ini.
"Aku pergi dulu!"
"Tidak!" Aku membuka pintu kamar. Aku memeluk Yuta dari belakang. "Aku tidak mau kamu pergi!"
"... Baiklah, tapi kamu makan ya." Yuta membalas pelukanku. Ia mengusap rambutku pelan.
Aku mengangguk.
Yuta tersenyum, ia melepaskan pelukan kami. "Na, kamu harus mandi, kamu bau," katanya sembari menutup hidung. Aku merengut kesal di katain bau seperti ini. Huh, dasar tidak berperikemanusiaan. Aku masuk ke kamarku setelah memukul lengan Yuta cukup keras. "Turunlah kebawah jika sudah selesai." teriak Yuta.
Aku mengamati diriku sendiri, penampilanku di cermin benar-benar tidak bisa aku kenali. Ini siapa? Astaga, aku jelek sekali. Aku mencium aroma badanku sendiri, aku bersyukur karena Yuta tidak muntah di tempat bahkan setelah mencium aroma badanku. Berapa hari sudah aku tidak mandi sebenarnya? Aku menutupi wajahku sendiri dan berlari ke kamar mandi untuk bebersih diri.
Bersamaan dengan air yang mengalir di sekujur tubuhku, segala gundah gulana seperti ikut tersingkirkan. Melepaskan kepergian Mama tidaklah mudah, aku masih tidak bisa melupakan Mama. Tidak akan pernah. Tapi ini memang akan terjadi cepat atau lambat, aku harus membiasakan diri untuk hidup hanya dengan kenangan Mama. Begitu pun Yuta, aku harus bersiap untuk kemungkinan terburuk yang akan terjadi ke depannya. Huh, Yuta tidak boleh melihatku menangis lagi. Ini terakhir kalinya aku akan menangisi nasibku.
Setelah bebersih diri dan penampilanku sudah tidak seburuk tadi, aku pergi ke ruang makan. Duduk dengan tenang di meja makan di mana roti dan susu sudah tersaji. Aku melihat Yuta membawa telur dan sosis, aromanya sangat harum. "Kita sarapan dulu."
"Baik."
"Jika kita tidak berangkat ke sekolah, kamu mau pergi kemana? Tetap di rumah?"
Aku tersenyum, "Ada tempat yang ingin aku kunjungi."
"Di mana?"
"Kamu ikut saja." Aku menyantap sarapanku dengan tenang. Sepertinya aku sangat kelaparan hingga memakan bagian Yuta juga.
///
Yuta menatapku dengan pandangan tidak percaya. Ia memegang tanganku dengan erat mungkin saja untuk mencegahku jika aku berencana melakukan sesuatu yang bodoh. Aku melepaskan pegangan tangannya. Tersenyum dan menggumamkan kata-kata penenang. Aku mulai melangkah mendekat dengan sebuket bunga anggrek di dalam pelukanku. Yuta berada tepat di belakangku.
Air mataku terbendung, aku menahan diri untuk tidak menangis. Aku tidak ingin Mama melihatku dengan air mata. Aku menaruh buket bunga anggrek kesukaan Mama. Mengusap batu nisan itu membuatku membayangkan kehadiran Mama. Aku merasa Mama ada di dekatku dan sedang memperhatikanku saat ini.
"Ma, maaf karena Nana tidak bisa mencegah kepergian Mama. Maafkan Nana karena tidak bisa menebus semua kesalahan yang pernah Nana lakukan terhadap Mama ... Na ... Nana harap Mama bahagia di sana, Nana akan hidup dengan benar," aku mengusap air mata yang jatuh. "Ma, Nana akan selalu sayang sama Mama. Tolong sampaikan salam Nana pada Ayah. Nana pamit dulu." Aku mengusap batu nisan Mama sekali lagi. Mengirimkan doa untuk Mama sebelum pergi.
Yuta mendekat padaku, "Na, kamu baik-baik saja?"
Aku tersenyum, "Iya, aku hanya berbicara beberapa patah kata dengan Mama."
Yuta menghela napas lega, "Syukurlah."
"Jangan terlalu khawatir seperti itu," tegurku. Aku merangkul Yuta, "Kamu harusnya lebih khawatir dengan besok. Sepertinya aku sudah tidak masuk sekolah cukup lama, aku tidak mau dipanggil ke ruang BK."
Yuta tertawa santai.
"Yuta, aku serius!"
Yuta mengusap pucuk kepalaku, "Tenang saja, selama tidak sekolah aku mengizinkanmu dengan wali kelas kita."
"Benarkah?" Yuta mengangguk. Aku tersenyum dengan perasaan jauh lebih ringan dari sebelumnya. "Yosh, aku rindu makan batagor. Ayo kita makan dulu, Yuta, kamu yang traktir!"
15 November 2020
.
Hargailah waktu saat ini :)
.
Red
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis Touch (END)
Teen Fiction(FOLLOW DULU YUK SEBELUM MEMBACA! JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT JUGA BUAT PENYEMANGAT!) . . . "Aku akan menjadi antagonis untuk memilikimu." Bagaikan sebuah anugerah, Nana kembali ke masa lalu. Kembali ke kehidupan SMA-nya yang menjadi awa...