Setelah pernyataan perang itu, hubunganku dengan Desna benar-benar berakhir. Tidak ada lagi topeng manis yang ia pakai saat bertemu denganku. Setiap pandangan kami bertemu ia akan memberikan tatapan dingin padaku. Dan aktingnya yang menangis sangat aku ancungin jempol. Ia sangat hebat berakting. Air matanya memicu emosi para cewek yang mendukung Yuta bersama Desna daripada aku.
Aku menanggapinya santai saja. Toh, walaupun satu sekolah mendukung Desna. Tetap saja, Yuta berada disisiku. Dari awal aku sudah menang. Aku hanya tidak ingin mengambil langkah itu terlalu cepat. Biarlah Desna berjuang memperebutkan Yuta yang hati dan pikirannya sudah menjadi milikku. Aku menikmati permainan ini. Rasanya lebih lega karena semakin jelas siapa yang benar-benar baik padaku dan mana ular yang menyembunyikan bisanya.
"Yuta, ayo makan! Aku lapar, belum sarapan tadi pagi." Yuta mengangguk. Aku menempel pada Yuta.
Tanganku tertahan seseorang, aku menatapnya. Wajahnya pucat, tubuhnya dipenuhi dengan peluh keringat. Bibirnya sedikit membengkak. "Tolo... ng." tubuh gadis itu terjatuh tepat didepanku.
Aku membulatkan mataku. Segera duduk disamping tubuh gadis itu. Pandanganku tertuju pada kotak susu yang ada dimejanya. Aku kembali melihat bibirnya. Bengkak. Ada ruam merah ditangannya. Aku mengambil tas gadis itu mencari suntikan epinephrine. Jika ada... Ketemu! Aku meluruskan tubuh gadis itu agar rata dengan lantai sehingga kepala dan tungkai menjadi satu garis lurus. Memberikannya suntikan dilengan atasnya secara perlahan.
Selalu hubungi ambulans. Kamu tidak tahu apa penyebab orang-orang terjatuh pingsan hanya dari beberapa gejala, selalu hubungi ambulans apa pun yang terjadi. Itu tindakan utama yang harus kamu lakukan jika kamu termasuk orang awam! JANGAN SOK TAHU SAAT KAMU TIDAK TAHU APA-APA!!! Selalu utamakan keselamatan pasien dan diri sendiri. Jangan panik, tetap tenang dan tidak terburu-buru agar situasi tetap kondusif.
Aku menatap Troy sekilas, ketua kelas kami. "Troy, hubungi ambulans." Cowok itu sedikit bingung. "Cepat!" teriakku nyaring. Menyadarkan lamunannya. Aku segera beralih ke Yuta, "Panggil dokter sekolah dan suruh dia membawa suntikan epinephrine jika ada untuk berjaga-jaga." Yuta mengangguk segera berlari. Aku melihat para murid sudah mengelilingi kami dengan ponsel yang kemungkinan besar sedang merekam. Aku menatap semuanya dengan kesal.
"JANGAN ADA YANG MEREKAM JIKA KALIAN TIDAK MAU BERURUSAN DENGAN HUKUM!!!" Para murid berhenti merekam. "SINGKIRKAN KURSI DAN MEJANYA!!" Beberapa murid segera menyingkirkannya. Aku fokus pada gadis didepanku.
Aku melihat name tag nya, Karin.
"Karin?!" Aku menepuk pundaknya sembari memanggil namanya. Mencari respon Karin. "Karin?!" Tidak ada respon. Karin jatuh pingsan. Aku segera melakukan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) berbahaya bagi pasien syok anafilaktik yang tidak sadarkan diri. Syukurlah, Yuta segera kembali dengan dokter sekolah.
Aku berganti posisi dengan Dokter Renal melakukan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR). "Karin tidak sadarkan diri. Gejala ditubuhnya menunjukkan gejala syok anafilaktik. Saya sudah memberikan suntikan epinephrine." jelasku cepat. "Ambulans sudah dihubungi dan akan segera datang."
Dokter Renal mengangguk, ia fokus melakukan CPR. Aku menghela napas, sedikit lega karena ada yang membantu. Sangat berbahaya bagi pasien yang mengalami syok anafilaktik. Pasien bisa meninggal dalam hitungan detik dan pasien yang tidak sadarkan diri harus dilakukan CPR karena jantungnya bisa berhenti kapan saja.
Tim medis segera datang. Mereka segera membawa Karin pergi ke rumah sakit. Dokter Renal dan aku disuruh memberikan laporan jadi kami ikut pergi ke rumah sakit. Perasaanku sangat lega karena Karin bisa selamat. Kemungkinan besar ia bisa meninggal jika tidak segera diberikan pertolongan. Aku bersyukur karena menjadi perawat yang ditempatkan di IGD.
Dokter Renal mengusap pucuk kepalaku. "Itu tindakan yang sangat berani, Nana. Kamu melakukan pekerjaan dengan sangat baik." Pujinya.
Aku terkekeh pelan. Tidak tahu saja bahwa sebenarnya aku sudah menjadi perawat. Jika aku tidak memiliki ilmu keperawatan ini, tidak mungkin aku bisa melakukan penyelamatan pada Karin. Jangankan menolong mungkin aku akan menjadi salah satu dari murid yang hanya merekam dan menonton Karin.
"Saya akan mengantarmu." Dokter Renal mengajukan diri. "Sudah malam."
Aku sedikit canggung. Pandanganku berhenti pada pemilik motor merah yang berhenti tidak jauh dari jarakku berdiri saat ini. Yuta duduk disana. Sepertinya ia tidak melihatku. Aku menatap Dokter Renal, "Tidak apa, Dok. Saya sudah dijemput." Aku menunjuk Yuta.
Dokter Renal menatap Yuta. Ia mengangguk. "Baiklah, hati-hati, Nana."
Aku segera menghampiri Yuta. Wajah cowok itu tampak sedikit lelah, sesekali ia menguap. Cahaya lampu yang sedikit remang menyinari Yuta membuatnya tampak sangat... indah. Pipiku sedikit merona. Aku berdeham membuat Yuta kaget.
"Sudah lama?" tanyaku.
Yuta tersenyum hangat. Ia menggeleng. Aku menggenggam tangannya. Dingin. Huh, ia pasti menungguku daritadi. Aku memegang kedua tangan Yuta, meniupnya sedikit untuk memberikan kehangatan. Tidak terlalu berhasil. Tapi pipi Yuta dan pipiku berhasil memanas.
"Lain kali tidak perlu menungguku."
"Aku tidak menunggumu." Suara Yuta serak. Ia memalingkan wajahnya. Tidak menatapku. Aku terkekeh pelan. Perutku berbunyi. Daritadi pagi aku belum makan apa-apa. Yuta memberikan helm padaku. "Kita makan dulu!"
"Tidak perlu. Aku makan di rumah saja. Mama pasti khawatir karena aku pulang malam."
"Kita makan di rumahmu!" Yuta mencubit pipiku pelan.
Bibirku manyun. Aku naik ke motor dan memeluk Yuta dari belakang. Memeluknya adalah satu hal lain yang aku suka dari Yuta. Apalagi setelah aku mengakui perasaanku sendiri. Bahwa aku menyukai Yuta. Hanya Yuta.
Yuta menghentikkan motornya didepan rumahku. Dapat aku lihat Mama yang sudah siap mengomel. Kedua tangannya berpangku didepan dada. Nyaliku ciut. Aku bersembunyi dibelakang Yuta. Yuta adalah tameng sempurna, Mama tahu perihal fobia Yuta jadi aku aman jika berada dibelakang Yuta.
"Kenapa baru pulang?" tanyanya.
Aku meneguk ludahku susah. Mendorong Yuta agar ia yang berbicara pada Mama. Yuta tersenyum hangat pada Mama, "Malam, tante." Sapanya ramah.
Mama balas tersenyum ramah. Dasar Mama, sama cowok ganteng baru luluh. Anaknya sendiri sudah siap dipukul.
"Kami baru dari rumah sakit tante."
"Kamu sakit, sayang?" tanya Mama pada Yuta. Oh, aku rasa namaku sudah dihapus dari kartu keluarga dan berganti dengan nama Yuta.
Yuta menggeleng, "Ada teman kelas yang sakit. Kami menjaganya daritadi karena itu kami terlambat pulang."
Mama mengangguk-anggukkan kepalanya. Tatapan tajam ia berikan padaku, aku semakin bersembunyi dibalik pundak Yuta.
"Ma, lapar...." Kataku manja. "Nana belum makan dari pagi."
Mama membolakkan matanya. "Kenapa bisa belum makan?!! Cepat masuk, Mama sudah masakan sayur labu kesukaanmu."
Aku bersorak senang. Keluar dari persembunyianku dan memeluk Mama. Sayangnya, sedetik kemudian telingaku dijewer oleh Mama.
"Lain kali kabari kalau akan pulang malam biar Mama tidak khawatir." Ucapnya.
Aku meringis. Jeweran Mama lumayan sakit. Kulirik Yuta, ia sama sekali tidak menolongku dan hanya tertawa kecil dipojokan. Ah, dasar!!!
01 Mei 2020
.
Red
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonis Touch (END)
Teen Fiction(FOLLOW DULU YUK SEBELUM MEMBACA! JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT JUGA BUAT PENYEMANGAT!) . . . "Aku akan menjadi antagonis untuk memilikimu." Bagaikan sebuah anugerah, Nana kembali ke masa lalu. Kembali ke kehidupan SMA-nya yang menjadi awa...