Episode 1

26.6K 1.2K 159
                                    

Hai semua! Ini pertama kalinya aku bikin cerita hehe. Semoga kalian seneng bacanya dan jangan lupa juga buat vote dan comment ya!^^
--------------------------

Matahari mulai menampakkan dirinya, orang-orang sibuk berlalu-lalang untuk berangkat kerja, bersekolah, dan siap melakukan aktivitas lainnya. Termasuk Zara, meminum kopi sambil mengetik kerjaan pada pagi hari di balkon kamar indekos sudah menjadi salah satu rutinitasnya. 

Ia melakukan hal tersebut dari 3 tahun yang lalu, semenjak diterima menjadi editor buku salah satu penerbit di kota kelahiran. Ia pun sudah terbiasa berkejaran dengan deadline. Ibaratnya, deadline adalah makanannya sehari-hari.

Zara mendengar ponselnya berdering dari balik saku piama. Ia belum sempat untuk mandi karena begitu ia bangun, otaknya langsung memerintahkan dirinya untuk segera mengerjakan tugas. Perempuan itu hanya sempat meminum segelas air, mencuci muka, dan menggosok gigi. Lalu, langsung mencari keberadaan laptop dan menuju balkon indekos untuk berjemur.

"Halo, iya-iya, Mas. Ini lagi dikerjain, deadline-nya lusa kan?" tanya Zara pada salah satu rekan kerjanya, Mas Nafta.

Mas Nafta ini selisih umur dengannya hanya tiga tahun. Makanya, ia nyaman berteman dengan Mas Nafta karena masih sefrekuensi dalam hal tukar pikiran. Misal, ketika hari libur pun mereka menghabiskan harinya berdua berkeliling toko buku atau ke perpustakaan.

"Jangan iya-iya aja Zar, tau kan konsekuensi kalau kamu telat ngumpulin?"

"Iya tau, ini Mas telepon cuma mau ngomelin aku? Mas enggak percaya kalau ini aku lagi ngerjain?" Jemarinya bermain di atas keyboard laptop, sedang ponselnya ia apit di antara telinga dan leher.

"Cuma ngingetin, Zar. Siapa tau kejadian kemarin keulang lagi? Kamu telat ngumpulin, kan jadi mas juga yang kena omel Pak Dar."

"Udah Mas tenang aja, kali ini dijamin bakal selesai tepat waktu deh. Udah ya Mas, aku tutup? Kalau telepon mulu, bisa enggak kelar-kelar ini kerjaan."

"Yaudah kalau gitu, inget! Selesai tepat waktu lho ya. Assalammu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."                 

***

Setelah sambungan telepon diputus oleh Mas Nafta, Zara tidak sadar bahwa jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan, sedangkan pukul sembilan Zara harus sudah tiba di kantornya kalau tidak ingin kena omel oleh Pak Darmono atau yang biasa dipanggil Pak Dar, atasannya.

Untung saja ia sudah menyikat giginya tadi, makanya ia hanya mandi singkat dan mengenakan lipstick seadanya untuk mempersingkat waktu. Namun, apa daya waktu terus berjalan sembari Zara menaiki motor dengan gesit pun, perempuan itu masih terlambat.

"Ck, bakal kena omel lagi pasti," ucap Zara sambil berlari, setelah memarkir motornya.

Zara berlari terburu-buru hingga tak sadar ada orang yang menatapnya dengan sendu dari kejauhan. Perempuan itu hanya fokus dengan jalan yang ia lalui untuk tidak terjatuh akibat ada undakan atau hal lainnya.

Sesampai di depan meja, Zara melihat bahwa Pak Darmono sudah duduk di kursinya. Ia menunduk sambil meletakkan kedua tangan di lutut, menata napasnya yang berantakan akibat berlari.

"Kamu punya jam enggak to? Udah jam berapa ini?" tanya Pak Darmono.

"Jam sembilan lewat sepuluh, Pak."

"Tuh tau, kenapa telat? Mau pake alesan apa lagi? Udah berapa kali sih kamu telat, Zara?" omel Pak Darmono.

"Iya Pak, Maaf. Udah ya Pak, jangan melotot lagi matanya. Saya serem liatnya," jawab Zara dengan cengengesan.

Afektasi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang