Episode 4

5.6K 466 39
                                    

Selamat Membaca!
--------------------------

Gusti, nggak jadi ngantuk kalau gini ceritanya.

Kepalanya semakin pusing, memikirkan Abian. Ia tak mengerti maksud Abian apa, karena selama ia membonceng teman laki-laki yang lain tak pernah ada yang berani bertingkah seperti itu. Ini kali pertama.

Zara tidak pernah mengalami hal-hal manis karena ia belum pernah menjalin hubungan. Perasaannya selalu tak terbalas, bertepuk sebelah tangan. Memendam pada lubuk hati paling dalam, hingga perasaannya menghilang dengan sendirinya adalah pilihannya.

Entah sadar atau tidak, dari perilaku Abian itulah mampu menimbulkan perasaan—lebih dari teman di hati Zara. Namun, ia mengerti, jika hal ini terus-menerus dipikirkan maka perasaan itu akan semakin dalam. Jadi, ia berusaha menghapus dan melupakannya walaupun lumayan sulit.

Perjalanan berlanjut. Pohon-pohon tinggi menjulang di sepanjang jalan, hamparan sawah serta kebun teh, dan angin segar menyapa. Inilah yang diinginkan Zara, menyegarkan mata melihat pemandangan sekitar dengan udara sejuk mampu mendinginkan pikirannya. Di kota, mana sempat dia melihat pemandangan seperti itu. Yang ada hanya bangunan, karena lahan hijau semakin menipis.

Abian membuyarkan konsentrasinya yang sedang menikmati pemandangan. "Udah mulai dingin nih. Kamu dingin enggak?"

"Apa? Enggak kedengeran!" seru Zara seraya mendekatkan dirinya ke kepala Abian.

"Kamu kedinginan enggak?"

"Ha? Apa?!" Zara masih tidak mendengar perkataan Abian karena angin kencang.

"Dingin enggak?"

"Enggak, kenapa emangnya?"

"Enggak apa-apa. Kalau dingin, bilang ya," ucap Abian dengan menengokkan kepalanya ke arah kepala Zara mendekat.

Zara mengangguk pelan dan kembali menikmati pemandangan, ia bersyukur memaksakan diri untuk ikut survei bersama teman-temannya dan rasa pusing yang ia rasakan pun perlahan mulai menghilang karena obat yang telah diminumnya tadi.

Memasuki jalanan berliku serta menanjak. Hawa dingin khas pegunungan mulai terasa dan kabut menyelimuti mereka. Meskipun ada sinar matahari yang menerangi, tak membuat rasa dingin berkurang.

Abian meraih jemari Zara yang semula berlindung di balik punggungnya, kemudian meletakkannya di saku jaket. Zara refleks langsung menarik tangannya, ia lagi-lagi dikejutkan oleh perilaku Abian. Detak jantungnya yang sudah normal, kembali berdetak dengan kencang.

Mata Zara terbelalak, tetapi ia hanya berani membatin. Tadi ngusap lutut, sekarang gini. Maksudmu apaan sih, Bi?

"Aku tau, kamu udah mulai kedinginan," ujar Abian yang seolah-olah bisa membaca pikiran Zara.

Zara berdeham, menghilangkan gugup. Ia tidak sanggup berkata-kata, hanya diam kembali memikirkan Abian. Memang di saat tertentu Abian bisa sangat menyebalkan sekaligus juga paling bisa ia harapkan.

Tangan Zara kembali ditarik Abian untuk diletakkan di saku. Zara hanya bisa pasrah.

Terserah aja lah, daripada ribut di jalan, batinnya.

Sepanjang perjalanan pun, Abian bertukar cerita dengan Zara. Mulai dari laki-laki itu yang ternyata anak pertama dari ketiga bersaudara, cerita mantan kekasihnya, hingga keluh kesah yang ia alami selama berorganisasi. Zara sebagai pendengar hanya bisa berusaha memperhatikan baik-baik karena angin kencang yang menghalanginya dan terkadang ia memberi masukan jika diminta.

Afektasi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang