Episode 11

4K 363 5
                                    

Selamat Membaca!
--------------------------

"Mau ke mana, Zar?" tanya Mas Nafta.

Pertanyaan dari Mas Nafta menghentikan langkahnya sejenak, yang ingin menuju parkiran.

"Mau ketemu penulis yang kemarin, Mas. Duluan ya," ujar Zara seraya melambaikan tangannya dan berjalan cepat meninggalkan kantor.

Zara ingin membicarakan hal-hal yang perlu diubah dalam novel Abian. Kemarin malam setelah lembur di kamar—ditemani semangkuk popcorn dan segelas kopi vanilla latte—akhirnya ia selesai membaca dan mengoreksi. Catatan kecil yang berisi seluruh detail perbaikan naskah juga tak luput ia bawa ke dalam tas.

Kali ini, Zara yang menentukan tempat pertemuan. Ia sengaja memilih tempat favoritnya karena di sana tidak terlalu sepi tetapi juga tidak terlalu ramai. Cocok untuk tempat meeting yang semi formal.

Lampu sein kanan menyala, ia segera membelokkan setang motornya. Hanya dua belas menit jarak antara kantor dengan tempat tujuan. Ditambah jalanan yang ia lalui tidak terlalu ramai karena ia memilih jalan tikus daripada harus terjebak dengan kemacetan yang ada.

Motornya terparkir sempurna di halaman parkiran depan Pinara café. Café favoritnya karena saat pertama kali menginjakkan kaki dan memesan kopi vanilla latte, ia langsung jatuh cinta. Jatuh cinta dengan cita rasa kopi dan tempatnya.

Ruangan di Pinara café ini memang tidak terlalu besar seperti café-café lainnya tetapi ruangan antara smoking area dan bebas rokok dipisahkan, itu menjadi nilai tambah di mata Zara.

Peletakan barangnya pun tidak terlalu ramai, hanya ada satu tanaman di sudut ruangan sehingga membuat kesan clean minimalist dan begitu masuk ke ruangan langsung disambut dengan meja kasir serta tempat peracikan kopi.

Suara dentingan lonceng pintu terdengar ketika pintu dibuka, pandangannya bersirobok dengan Abian. Seketika suasana hatinya berubah menjadi kalut. Mengepalkan kedua tangan erat, berusaha menenangkan diri sendiri untuk tetap biasa saja di depan laki-laki itu. Enggak apa-apa, Zar.

Ia melihat senyuman cerah terbit di wajah Abian. Berbanding terbalik dengannya yang saat ini memasang muka biasa-biasa saja. Zara berulang kali harus menenangkan diri dan sebisa mungkin untuk tidak menampilkan raut wajah jutek saat membahas karya Abian, karena bisa saja laki-laki itu mengadu pada Pak Dar dan semakin membuat masalah runyam.

"Hai," sapa Abian, begitu Zara menarik kursi dan mendudukinya.

Zara meletakkan tas di sebelah kursinya, mengambil buku kecil serta ponselnya. Ia tidak ingin berbasa-basi.

"Kamu mau minum apa? Aku pesenin," ucap Abian, menatap Zara antusias.

"Vanilla latte," jawab Zara singkat.

"Es atau panas?"

"Panas."

Seiring Abian menjauh, memesankan minumannya. Ia membuka ponsel dan mengirimkan pesan pada Anindira, sekadar menginformasikan kondisinya saat ini.

Setelah mengirimkan pesan, lantas ia membuka buku kecil. Mengamati tulisannya untuk menghindari tatapan dari Abian yang sudah duduk manis di depannya. Detak jantungnya seperti orang sehabis lari maraton, berdegup sangat kencang.

Hening menelisik di antara mereka, Zara kemudian berdeham untuk menghilangkan gugup dan memecahkan keheningan.

"Sebenernya di ceritamu ini kesalahannya enggak terlalu banyak untuk tanda bacanya, tapi ada beberapa adegan yang enggak perlu ada atau enggak terlalu penting buat jalannya cerita. Kamu bisa ngehapus dan mungkin ganti sama adegan yang berkaitan dengan alur atau kedua tokohnya," jelas Zara, melihat buku kecil dan sesekali melirik Abian.

Afektasi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang