Selamat Membaca!
--------------------------"Ada kabar bahagia malah kamu sembunyiin selama ini, Zar?"
"Cuma tiga hari, Nin. Enggak usah lebay gitu ah," balas Zara.
"Ya tapi kan jadi enggak bisa ngucapin pertama."
Zara menyeruput jus alpukat yang baru saja dibeli. "Dikira aku lagi ulang tahun apa."
Saat ini mereka berdua sedang menghabiskan waktu makan siang di tempat Anindira bekerja—di ruang istirahat—karena kebetulan Zara diberi waktu libur satu hari oleh Pak Dar sebelum mengurusi acara peluncuran perdana karya Abian.
Anindira menarik kursi, mendekati sahabatnya dengan raut wajah kepo yang membuat Zara tertawa. "Gimana-gimana? Perasaanmu jauh lebih membaik atau malah jadi ada beban?"
"Both."
"Kok dua-duanya?"
"Pertama, aku happy bisa deket Abian. Kedua, aku jadi nambah temen ngobrol selain kamu sama Mas Nafta. Tapi ya itu, aku takut kalau hubungan ini enggak akan maju ke mana-mana. Stuck. Sedangkan Abian mungkin aja berharap lebih dengan ini," jawab Zara.
"Belum juga seminggu, masa udah pesimis gitu. Masa depan kan enggak ada yang tau."
"Nah maka dari itu, aku harus siap sama hal-hal buruk yang mungkin aja bisa terjadi."
"Tapi, kamu terlalu pesimis. Kita sebagai manusia memang enggak pernah tau apa yang akan terjadi ke depannya dan memang sepantasnya menyiapkan segala hal untuk konsekuensi yang nanti bisa terjadi sesuai ucapanmu. Terus kamu juga perlu liat kalau kamu itu bukan robot. Kamu manusia yang punya perasaan. Kamu berhak buat mikirin bahagiamu sendiri, Zar."
Selagi Anindira menghabiskan bakso kuahnya yang tidak diberi tambahan apapun—kebalikan dari Zara yang pasti menggunakan sambal dan kecap sebagai penambah rasa, Zara melamun. Lagi-lagi dan entah sudah berapa kali hatinya tersentil karena kalimat yang dilontarkan oleh sahabatnya sendiri. Benar sih kalau dirinya itu manusia, tapi dengan masa lalu dan segala rasa minder yang menyelimuti, ia tak yakin dengan masa depannya sendiri.
"By the way, Zar, aku jadi mau ketawa karena inget ini," ujar Anindira dengan masih mengunyah makanannya.
"Telen dulu ih makanannya."
"Jadi gini," ucap Anindira setelah menelan makanan seutuhnya.
"Kita tuh selalu ngomongin hal serius kalau lagi makan tau. Dari dulu," tambahnya.
"Dan pasti dimulai karena aku yang curhat soal Abian," timpal Zara sambil menumpuk kedua mangkuk bekas baso dan meletakkannya di tengah meja.
"Maaf ya, Nin. Aku jadi jarang banget tanya gimana kabarmu sama cowok yang kamu taksir itu," ucap Zara lagi.
"Santai aja. Dia juga udah ke laut kayaknya."
"Kok bisa?"
"Biasa. Korban ghosting," balas Anindira sembari membersihkan mulutnya dengan selembar tisu.
Zara ternganga mendengarnya karena Anindira mengucapkan dengan mudah tanpa ada perasaan sedih di dalamnya. Sangat jauh apabila dibandingkan dirinya dulu ketika ditinggalkan tanpa kabar begitu saja oleh Abian. Ia sering melamun, uring-uringan, dan terkadang enggan melewati tempat yang pernah dikunjungi bersama dengan laki-laki tersebut. Padahal, mereka dulu belum terikat oleh hubungan apapun selain teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afektasi [SELESAI]
ChickLitSetelah tiga tahun tak berjumpa, Zara yang bekerja sebagai editor ditakdirkan bertemu salah satu penulis yang ternyata adalah Abian-teman masa kuliah sekaligus cinta pertamanya. Hubungan mereka di masa lalu yang belum selesai, membuat Zara kelimpung...