Episode 14

3.3K 298 5
                                    

Selamat Membaca!
--------------------------

[Lima tahun lalu]

"Ya udah kalau kamu diem aja, aku cuma mau bilang kalau ... I have crush on you," kata Zara, terbata-bata namun pasti.

"Jangan tanya sejak kapan pastinya, karena aku juga enggak tau. Yang pasti perasaan ini masih ada sampe sekarang and I like you not just as a person but as a man. I decide to confess because I can't handle it anymore, but I think you might have to know about my feeling biar aku lega," sambung perempuan itu secara bertahap.

Susah rasanya mengeluarkan kalimat yang sudah ia susun sebaik mungkin sejak satu bulan lalu, otaknya terasa panas dan mendadak nge-blank persis seperti ketika ia presentasi di hadapan dosen.

Abian tak menyangka akan mendengar perkataan—yang menurut sebagian orang cringe—dari seorang Zara. Ia bergeming, tak mampu berkata-kata.

Jantungnya berdebar tak beraturan, sorot tatapannya silih berganti pada jalanan dan perempuan yang sedang duduk di sebelahnya yang juga mengalihkan pandangan.

Butuh keberanian yang sangat besar, mengungkapkan kalimat tersebut. Abian sangat berterimakasih dan menghargai. Namun, itu semua hanya ia simpan rapat. Mulutnya sulit terbuka.

Lima menit sudah berlalu, masing-masing insan manusia itu sibuk untuk mengatur napas dan jantung. Pikirannya bercabang. Jika Abian sedang kebingungan bagaimana merespon pernyataan Zara, lain halnya dengan perempuan tersebut.

Zara seketika merasa malu dan menyesal mengungkapkan perasaannya. Pikirannya dipenuhi dengan kata 'gimana kalau Abian habis ini menjauh, gimana kalau Abian ternyata memang tidak ada perasaan' dan semacamnya. Atau bisa saja, ini semua hanya perspektif Zara jika Abian selama ini memang menyukainya dan ternyata fakta yang ada malah berbanding terbalik dari pemikirannya.

Abian tak kunjung menanggapi pernyataan darinya. Zara memutuskan untuk bangkit, membayar makanannya dan memesan ojek online. Ia ingin menenggelamkan diri di dalam selimut sambil berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi.

Begitu mendengar langkah kaki orang di sebelah menjauh darinya, ia segera mengejar Zara dan membayar makanannya terlebih dulu. Jemari Abian meraih pergelangan tangan Zara dan membalikkan badan perempuan tersebut ke hadapannya.

"Aku anter pulang ya," ucap Abian, menatap mata Zara dalam.

Zara menggelengkan kepala. "Enggak usah, aku udah mesen ojek."

"Cancel aja ya? Pulang bareng aku."

Tak etis rasanya jika tadi ia yang menjemput Zara, lalu tak mengantarkan perempuan itu pulang sebagaimana mestinya.

Zara hanya mengerucutkan bibirnya, kesal. Jarinya ia gerakkan di atas layar ponsel, menekan tombol batal di aplikasi ojek online.

Abian kemudian memberikan helm Zara, menaiki motor dan menghidupkan mesin motornya. "Yuk."

Semilir angin malam berembus mengenai wajahnya yang tak tertutup kaca helm. Ia menatap lekat punggung Abian, sembari berpikir mengenai mengapa laki-laki itu tak merespon apapun soal pernyataannya.

Akan tetapi, ia tak berani untuk mengeluarkan satu patah kata apalagi untuk bertanya soal itu. Sudah cukup rasa malunya tadi ia buang sementara.

***

Malam setelah Abian mengantarkan Zara kembali ke indekos. Laki-laki itu menghilang begitu saja, bak di telan bumi. Batang hidungnya tak dapat ia jumpai di ruang sekre ataupun sekitar fakultas.

Afektasi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang