Episode 32

2.4K 211 12
                                        

Selamat Membaca!
--------------------------

"Makan dulu yuk," ajak Anindira di tepian kasur Zara sembari mengusap pelan bahu sahabatnya.

"Duluan aja, Nin."

"No, aku tau kalau kamu bilang gitu artinya enggak akan makan seharian."

"Nyusul deh, mau ganti baju dulu."

"Oke, aku tunggu depan tv ya." Anindira berdiri, meninggalkan kamar Zara.

Zara mengangguk dengan kedua sudut bibir yang terangkat kecil. Lalu, perempuan itu terperanjat dengan jarum pendek yang ada pada jam dinding karena waktu sudah menunjukkan pukul lima sore sedangkan ia tertidur—seingatnya—pada pukul satu siang. Nyawanya yang belum terkumpul sepenuhnya membuat ia berpikir peristiwa tadi adalah bagian mimpi dari tidur nyenyaknya.

"Tumben belum pulang, Nin?" tanya Zara begitu membuka pintu kamarnya.

"Nunggu orang yang enggak keluar-keluar kamar dari siang."

Zara terkekeh. "Sorry, Nin. Tadi ngantuk banget dan niatnya cuma rebahan, tapi malah ketiduran beneran."

"I know, bukan itu alesan yang sebenernya."

Langkah kakinya terhenti ketika hendak menghampiri Anindira. "Ha? Maksudnya?"

"Abian tadi nelepon aku, nanyain kamu ada di kos dan sama aku atau enggak. Kalau misal kalian baik-baik aja, enggak mungkin Abian nanya kayak gitu dan keliatan kalau mood kamu berubah waktu pulang."

Zara menelan ludahnya berulang kali. Belum, belum saatnya Anindira mengetahui apa yang ia pendam selama ini.

"Oh, ponselku tadi mati karena lowbat, Nin. Nanti gampang aku telepon balik ke Abian." Zara mengibaskan tangan kanannya, menggunakan simbol dari gerakan tubuh untuk memberi tahu Anindira bahwa semua baik-baik saja dan tidak perlu khawatir.

"Oke, aku terima alesanmu. Meskipun aku enggak tau itu bohong atau bukan."

"Dah sini, makan dulu," imbuh Anindira, nada bicaranya santai seolah lupa dengan kalimat penghakiman yang ia lontarkan sebelumnya.

Zara berjalan mendekati pelan dengan menyipitkan mata, memastikan Anindira tidak menceramahinya. Setelah dirasa aman, ia baru berani duduk dan memakan sesuap sop ayam yang dibuat oleh sahabatnya dari sisa bahan yang ada di kulkas sambil menonton berita yang disiarkan di televisi. Sementara itu Anindira memotong buah naga yang entah datangnya dari mana karena dirinya merasa tidak pernah membeli.

"Nin."

"Hm."

"Menurutmu Gita itu orangnya kayak gimana?"

Anindira menghentikan aktivitasnya. "Gita yang dulu satu BEM sama Abian?"

"Iya."

"Hm ... karena aku enggak begitu deket dan kenal. Jadi cuma sebatas dari luarnya aja ya waktu kuliah, anaknya baik, ramah, murah senyum, aktif banget buat ikut lomba dan segala macem. Kenapa tanya-tanya soal dia, Zar?"

"Oh, enggak apa-apa. Cuma kagum aja sama dia, meski sibuk tapi waktu lulus masih sempet cumlaude."

Hening. Zara melanjutkan mengunyah makanannya, tetapi ia tidak fokus pada rasa yang dicecap oleh lidahnya melainkan berpusat pada pikiran. Ia membayangkan apabila Abian dan Gita benar-benar bersatu, maka dirinya lah yang berperan sebagai penganggu. Zara merasa kecil seperti kutu jika bersanding dengan Abian dan hanya Gita yang mampu menyeimbangi laki-laki itu. Lagipula, krisis kepercayaan dirinya terhadap suatu hubungan juga tidak akan membawa kemajuan pada hubungan yang sedang ia jalani. Ditambah banyaknya kasus yang ia baca akhir-akhir mengenai perceraian, terutama yang dialami oleh salah satu influencer ternama semakin membuat dirinya tidak percaya dengan laki-laki.

Afektasi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang