Episode 24

2.3K 193 4
                                    

Selamat Membaca!
-------------------------

Keesokan hari, Zara memikirkan bahwa jika ia sudah bisa menerima kehadiran Abian dan memberikan kesempatan kedua pada laki-laki itu maka tandanya ia sudah harus berdamai dengan diri sendiri meskipun masih menyisakan ruang sesak di hati mengenai sang ayah.

Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengunjungi rumah orang tuanya setelah hampir lima tahun tidak pulang. Untuk sekadar berbincang dan memberi kabar pada sang ibu. Urusan ayahnya belakangan. Mungkin, Zara akan bertindak seolah tidak mengenal lelaki tua itu atau hanya memberi salam, lalu beranjak pergi. Ia pun harus meminimalisir radius kedekatan antara dirinya dengan sang ayah.

Terbilang jahat, memang. Namun, jika ada orang yang mengetahui keadaan dirinya seharusnya bisa mengerti. Bukan malah mencemoohnya sebagai anak durhaka. Hal ini ia lakukan sebagai salah satu bentuk perlindungan diri.

Dengan terang matahari yang mengiris sebagian wajah hingga matanya tak dapat terbuka lebar, ia membuka pagar indekosnya. Matanya mengerjap, menyesuaikan cahaya untuk masuk tidak berlebihan. Samar-samar Zara melihat siluet laki-laki di depannya. Tubuh tinggi tegap dengan rambut rapi, tetapi wajahnya belum terlihat jelas.

"Maaf, Mas. Cari siapa nggih?" tanya Zara sambil menunduk dan tangan menutupi atas kepalanya.

"Cari temen kuliah saya dulu," jawabnya.

Zara hapal dengan suaranya, ia lantas memundurkan badan dan menatap wajah laki-laki tersebut.

"Abian?"

"Pagi," ucap Abian.

"Kamu mau ngapain pagi-pagi ke sini?"

"Mau nganterin temen kuliah kerja."

"Hah? Emang di kos sini juga ada temen kuliah kita?"

"Maksudku itu kamu." Abian menggelengkan kepalanya gemas.

"Oalah, aku toh."

"Iya." Abian mengacak-acak rambut yang telah disisir rapi oleh Zara.

"Tapi, kamu harusnya enggak perlu repot-repot ke sini. Aku sehat, masih bisa naik motor."

"Aku sama sekali enggak merasa repot."

"Iya, tapi selagi aku masih bisa ke mana-mana sendiri kamu enggak punya kewajiban buat anter jemput aku. Jatuhnya kamu jadi tukang ojek bukan pacar."

Telinga Abian memerah karena kata terakhir. "Hm pacar ya?" Ia berdeham saat sudah mendapat kesadaran. "Yah, tapi aku udah sampe sini gimana dong?"

"Abian, denger baik-baik ya. Meskipun hubungan kita udah berubah, tapi kamu enggak perlu merasa punya tanggung jawab atau kewajiban buat anter-jemput aku, oke?"

Abian baru saja hendak melemparkan jawaban untuk membela dirinya, tetapi sudah dipotong oleh Zara. "Tapi—"

"Karena selagi aku masih sehat walafiat dan enggak kenapa-napa, aku bakal kerjain itu semuanya sendiri."

"But, now ... you have me, Zar."

"I know, Abian."

Afektasi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang