Selamat Membaca!
--------------------------Disclaimer: teks flashback akan saya beri italic.
Lima tahun yang lalu.
Zara yang saat itu berada di tengah-tengah usia remaja dengan dewasa, sepulang kelas ingin mengunjungi rumah karena rindu dengan ibu. Terbilang dua tahun semenjak ia memilih untuk ngekos, Zara sedikitpun tidak menengok ibunya. Sang ibu mengalah untuk putrinya, jadi ia yang sering berkunjung ke indekos Zara. Tentu saja, tanpa didampingi oleh suaminya atau ayah Zara.
Air yang menggenang di tiap lubang jalan karena bekas hujan deras yang tersisa di tanah, aroma petrichor yang menenangkan jiwa, dan gerimis kecil menemani langkah Zara menuju rumahnya setelah berhenti di depan komplek perumahan karena tadi ia memilih untuk menaiki Batik Trans Solo—semacam Transjakarta.
Ia menekan bel berulang kali sebelum Ibu Zara membukakannya dengan tergopoh-gopoh dari dalam rumah. Zara memasang senyum manis dan memeluk sang Ibu. Perempuan itu berani ke rumah karena dipikir sang ayah sedang bekerja, tetapi pikirannya salah. Sebab, sang ayah sedang duduk sembari membaca koran di pelataran teras yang tadi tak terlihat dari luar pagar.
Meskipun tatapan sang ayah fokus pada koran Solopos—yang ia lihat sekilas dari headline—dengan kaki sebelah kanan menjadi penopang kaki kiri yang ditekuk dan secangkir kopi yang masih mengeluarkan kepulan asap, tidak membuat rasa takut serta gugup itu menghilang dari Zara.
Namun, ia masih memiliki rasa hormat kepada sang ayah—sebagai orang yang lebih tua darinya, bukan sebagai orang tuanya—sehingga memilih untuk memberikan salam dan menyapa.
"Assalammu'alaikum, Yah," sapa Zara sembari mengulurkan tangan kanannya di hadapan sang ayah. Sayang, sapaan tersebut seperti angin lalu yang dilirik pun tidak.
Zara lalu menarik tangannya kembali dan mengembuskan napas kasar. Timbul rasa sakit hati dalam hatinya yang membuat Zara berpikir jika ia bukanlah anak kandung ayahnya. Akan tetapi, pikiran tersebut ia buang jauh-jauh karena jika sampai ibunya tahu akan sedih dan kecewa.
"Masuk ke dalem dulu ya, Yah," ucap Zara. Kemudian memasang senyum palsu di depan ibu dan mengangguk. Memberi kepastian pada ibunya jika dirinya baik-baik saja akan hal tersebut.
***
Tidak berselang lama setelah kesadarannya kembali, tiba-tiba tubuhnya dibawa ke dalam pelukan sang ayah. Rasa hangat dari badan ayahnya menjalar hingga kulitnya. Ia mengerjapkan mata memastikan jika apa yang ia alami bukanlah mimpinya semata. Bahkan tangan kasar dari laki-laki yang merengkuhnya itu terasa nyata di kepalanya. Kemungkinan yang ia pikirkan mengenai sang ayah, semuanya salah. Alih-alih mendapat amarah ataupun mendiamkannya, malah mendapat perlakuan yang tak pernah sedikit pun ia bayangkan.
Suasana sepi dengan suara jangkrik dari rerumputan depan teras dan angin yang menabrak daun yang menggantung di tangkai tanaman ibunya semakin menambah kesan haru pada Zara. Ia tak menyangka akan berada dalam pelukan ayahnya yang setelah bertahun-tahun menjauh—dalam artian psikis. Akan tetapi, ia belum bisa membalas pelukan tersebut karena masih terasa asing dan aneh. Zara hanya membiarkan hingga ayahnya sendiri yang akan melepaskannya.
"Ayah minta maaf," ujar Ayah Zara sesudah melepas pelukannya. Ia mengusap lembut kepala putri satu-satunya yang sempat ia campakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afektasi [SELESAI]
Chick-LitSetelah tiga tahun tak berjumpa, Zara yang bekerja sebagai editor ditakdirkan bertemu salah satu penulis yang ternyata adalah Abian-teman masa kuliah sekaligus cinta pertamanya. Hubungan mereka di masa lalu yang belum selesai, membuat Zara kelimpung...