Episode 10

4.5K 370 23
                                    

Selamat Membaca!
--------------------------

Tangan kanannya memegang mouse, sibuk menggulir dan membaca perlahan cerita Abian. Mengamati satu persatu kata dan tanda baca dengan tepat, memperbaiki kesalahan jika ditemukan dengan cara mencatat nomor bab, nomor halaman, dan kata yang tidak sesuai atau adanya keluputan dalam tanda baca.

Matanya telah berkutat menatap layar laptop selama dua jam, sesekali meregangkan otot dan bangkit dari kursi. Dengan pekerjaannya yang mengharuskan ia menatap layar lama, tak ayal menyebabkan Zara harus menggunakan kacamata radiasi untuk membantu penglihatan dan menghindari bertambah angka minus di lensanya.

Namun, saat itu ia lupa meletakkan kacamatanya di kursi dan mendudukinya begitu saja. Naas, nasib kacamata itu. Lensa retak di sebelah kiri dan gagangnya patah satu. Ia mengembuskan napas kasar, memandang lama kacamata kesayangannya. Ini mah enggak bisa dipake lagi.

Melihat tanggalan di sebelah laptopnya, ia semakin frustasi. Pasalnya, tanggal menunjukkan akhir bulan dan uang yang ia gunakan sehari-hari tinggal sedikit—menyisakan uang tabungan yang enggan ia ambil.

Sebenarnya ia bisa saja tidak mengenakan kacamata tetapi untuk pulang kerja sebisa mungkin ia selalu menggunakan. Cahaya matahari yang sudah tenggelam, membuat penglihatannya kabur antara sinar dari kendaraan dan sinar lampu jalan. Terkadang, ia harus menyipitkan matanya—menajamkan penglihatan—apabila dirasa ada orang yang hendak menyeberang.

Ia juga sudah lama tidak melakukan hal tersebut karena sedikit berbahaya baginya dan orang lain.

Tindakan frustasi Zara secara tidak sengaja diamati oleh Mas Nafta yang berdiri di pintu pembatas ruangan kantor dengan dapur dan kamar mandi.

"Kenapa, Zar?" tanya Mas Nafta.

"Hah?" Zara tidak mau orang lain tahu mengenai permasalahan yang sedang dialaminya, hanya menggeleng kuat dan duduk kembali di kursinya. Pura-pura sibuk dengan kerjaan yang ada di depannya.

"Kacamatamu rusak?"

"Enggak kok, Mas," balas Zara berbohong.

Mas Nafta tiba di depan meja Zara, melihat kacamata yang ada di genggaman perempuan itu dan merebut paksa. Mengamati kerusakan yang ada.

"Mass!" teriak Zara, kebohongannya terbongkar begitu saja. Ia berusaha mengambil kembali barang kepemilikannya, berjinjit dan tangannya ia angkat untuk meraih kacamata yang diangkat tinggi-tinggi oleh Mas Nafta.

Begitu Mas Nafta sadar jarak antara mereka semakin menipis, otomatis ia sedikit memundurkan badan. Jari telunjuknya menahan dahi Zara dan tangan satunya memberikan kacamata milik perempuan itu.

"Kok bisa rusak kayak gini?" tanya Mas Nafta.

"Enggak sengaja didudukin, hehe." Zara menertawakan dirinya sendiri yang sedikit ceroboh.

"Mau ganti lensa aja apa sekalian semuanya?"

"Kayaknya semuanya aja deh, Mas. Ini frame-nya juga udah patah."

"Mau beli kapan?"

"Kenapa? Mas Nafta mau beliin?" tanya Zara, cengar-cengir.

"Aku beliin frame-nya aja, enggak apa-apa? Lensanya beli sendiri."

"Eh ... enggak usah, Mas. Aku tadi bercanda, lagian juga aku masih bisa beli pake uangku sendiri kok," jawab Zara, menggelengkan kepala dan mengibaskan tangannya—menolak.

"Ya udah, nanti kalau mau beli bilang aja. Tak temenin."

"Kayaknya beli waktu istirahat nanti deh, Mas."

Afektasi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang