Episode 21

2.6K 224 5
                                    

Selamat Membaca!
--------------------------

Setelah kemarin malam Abian dibuat emosi oleh Zara, kali ini ia kembali untuk menjemput perempuan tersebut sepulang kerja.

Ah, ya. Orang-orang banyak bertanya, sebetulnya laki-laki itu kerja apa? Kenapa sering mengunjungi Zara setelah tahu keberadaan perempuan tersebut?

Abian beberapa bulan lalu keluar dari tempat kerjanya untuk beralih menjadi penulis. Sebab, ia merasa tidak akan berkembang dan tidak dapat menjadi dirinya sendiri ketika bekerja di bawah tekanan orang. Maka dari itu ia salut dengan Zara yang mampu bekerja di bawah tekanan deadline sekaligus atasannya.

Saat ini ia sedang mengendarai mobil ditemani Zara di sisinya. Abian mengajak perempuan itu menuju tempat makan favoritnya ketika ia kuliah dulu. Berulang kali lelaki itu mencengkeram erat setir mobil dan menarik napas dalam untuk menghilangkan rasa gugupnya. Ia merasa bersalah telah membentak Zara meskipun tidak sengaja, karena tersulut emosi oleh pertanyaan perempuan yang sedari tadi diam saja di sampingnya.

Matanya sedikit melirik Zara yang sedang menyadarkan kepalanya, menatap jalanan luar melalui jendela. Abian berpikir, apakah keputusannya kali ini akan tepat? Karena, ia sadar jika pilihannya terkesan cepat untuk orang yang sudah lama tidak berjumpa. Ditambah perlakuannya di masa lalu yang kurang mengenakkan.

Namun, tidak salah untuk mencobanya bukan? Apalagi Zara akhir-akhir ini sedikit berubah menjadi lebih lunak dari awal perjumpaannya kala itu. Yah, masalah kemarin malam yang tak terduga sempat membuat Abian cemas kalau-kalau Zara berubah pikiran. Untung saja, perasaan itu tidak terjadi karena perempuan itu terlihat biasa saja walaupun hanya diam membisu.

Gedung-gedung menjulang tinggi dengan pepohonan besar berderet di tepi jalan menghiasi Jalan Slamet Riyadi—jantungnya kota Solo—malam itu.

Abian membuka percakapan, memecahkan keheningan. "Zara, kamu tau alesannya kenapa patung Slamet Riyadi dibangun?"

Abian melihat perempuan itu menggelengkan kepala dengan alis yang menukik.

"Ng ... buat ngingetin kita sama pahlawan Slamet Riyadi?"

"Ada benernya, ada salahnya."

Tepat di bundaran Gladak, patung tersebut berdiri dengan gagah. Dikelilingi oleh bangunan-bangunan penting di kota Solo, seperti Bank Indonesia, Balai Kota, pusat perbelanjaan kain batik, dan peninggalan sejarah—Benteng Vastenburg.

Terlihat beberapa pengemudi sepeda melintas di sisi kiri Zara dengan perlengkapan helm dan lain-lain. Ada pula yang hanya duduk berdua di pelataran jalan menikmati angin malam dan berbincang ringan. Karena bukan tentang tempat yang dituju tetapi dengan siapa kita menikmati momen-momen tersebut.

Termasuk Abian, sebenarnya bisa saja kemarin ke Tawangmangu ia sendirian seperti sebelum-sebelumnya. Akan tetapi, dirinya menginginkan Zara ada di sampingnya.

"Kok malah diem?" tanya Zara.

Abian dengan cepat menolehkan kepalanya sembari mengerjapkan matanya beberapa kali. "Oh itu ... ada benernya karena pemerintah pengen anak muda enggak lupa dengan sejarah  tapi salahnya karena faktanya pose ngacungin pistol ke atas itu cuma rekaan doang."

"Berarti kalau ada orang awam yang enggak ngerti apa-apa soal sejarah, bisa salah paham juga ya sama posenya?"

"Iyap, tapi pemerintah enggak sembarang buat desain pose ngacungin pistol gitu. Ada maknanya," ucap Abian menatap wajah Zara yang tidak terlalu jelas karena cahaya remang.

Afektasi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang