Selamat Membaca!
--------------------------Dua pekan sudah Zara tak kunjung menghubungi Abian, meskipun laki-laki itu terkadang mengirimkannya pesan menanyakan kabar. Dapat dikatakan selama dua pekan itu Zara mencoba konsultasi dengan sang ibu dan menginap di rumahnya guna menghindari Abian untuk sementara waktu—meskipun ia juga masih merasa canggung jika berpapasan dengan ayahnya sendiri—Bukan, ia bukan bermaksud menghilang begitu saja tanpa menyelesaikan masalahnya. Zara perlu mencari tahu apakah keputusannya akan tepat untuk dirinya dan Abian. Ia juga perlu memastikan bahwa Abian akan tetap bahagia.
Siang ketika sedang berbincang ringan pada Mas Nafta mengenai terbitan buku baru dari salah satu penulis ternama di Indonesia, terbesit ia harus memberi penjelasan dan ketegasan pada Abian untuk menghindari adanya kerugian kedua belah pihak. Tokoh Sintong pada novel Selamat Tinggal memberinya secercah cahaya untuk permasalahannya. Dari Sintong, ia belajar untuk tidak terus-menerus menggantungkan perasaan orang lain yang memiliki harapan pada dirinya. Begitu juga dengan Zara, ia tidak bisa terus-menerus menghindar tanpa penjelasan apapun dari Abian. Laki-laki itu berhak tahu mengapa dirinya merasa tidak pernah percaya diri dan tidak bisa membawa Abian ke hadapan orang tuanya meskipun sang ibu sudah mengetahui seluk-beluknya.
"Ngelamun lagi, mikirin apa?" tanya Mas Nafta di meja pantry saat menyeduh kopi hitam yang disediakan oleh kantor.
"Nothing, Mas."
"Halah boong, dari mukamu aja enggak bisa bohong."
Zara terkekeh. "Ketauan banget ya, Mas?"
Mas Nafta mengangguk.
"Kayaknya aku emang enggak bisa punya hubungan lebih dari temen ke semua lelaki sebelum aku cinta sama diriku sendiri deh, Mas."
"Ya emang harusnya love yourself dulu baru bisa peduli ke orang lain. Kalau terus-terusan kamu mikirin kebahagiaan orang lain, tapi malah jadi enggak peduli sama kesehatan mental maupun fisik sendiri buat apa?" celetuk Mas Nafta seraya menyesap kopi di cangkirnya.
"Eh bentar, ini ada sangkut pautnya sama Abian?" tanya Mas Nafta, memastikan.
Zara hanya membuang napasnya dengan kasar sehingga helaan napas tersebut dapat terdengar oleh Mas Nafta. Dirinya pun juga menutup rapat mulutnya serta menghindari tatapan menyelidik yang dilayangkan oleh rekan kerjanya tersebut.
"Kamu udah mikirin masalah ini mateng-mateng? Kalian baru sebentar lho hubungannya."
Pelan, kepala Zara mengangguk merespon pertanyaan Mas Nafta.
"Waduh. Kamu udah mikirin dampaknya buat kalian berdua kalau hubungannya berakhir?"
"Iya." Zara mengangguk lagi.
"Aku sebenernya enggak mau cerita ke Mas Nafta, tapi aku butuh perspektif dari laki-laki yang mana mungkin tahu gimana jadinya," tutur Zara sambil menuang bumbu mi instan ke cup.
"Aku istilahnya cuma orang luar, Zar. Aku enggak berhak kasih saran karena takut kalau saran yang dikasih malah justru jadi bumerang di hubungan kalian. Cuma kalau kamu nanya gimana perasaan laki-laki yang udah sayang banget sama perempuan terus harus putus hubungan, jelas sakit. Kamu harus pelan-pelan kasih pengertian kenapa kamu ngelakuin itu? Alesannya apa? Baik enggak buat kalian berdua? Pokoknya semua hal itu harus dikomunikasiin dulu, jangan sembarangan ambil keputusan sepihak apalagi ini menyangkut perasaan kedua belah pihak kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Afektasi [SELESAI]
Literatura FemininaSetelah tiga tahun tak berjumpa, Zara yang bekerja sebagai editor ditakdirkan bertemu salah satu penulis yang ternyata adalah Abian-teman masa kuliah sekaligus cinta pertamanya. Hubungan mereka di masa lalu yang belum selesai, membuat Zara kelimpung...