Episode 8

4.7K 402 28
                                    

Selamat Membaca!
--------------------------

Aroma telur dadar memenuhi ruangan kamar indekosnya. Pagi-pagi setelah salat subuh tadi, ia mencari makanan yang tersisa di kulkas—tetapi ia hanya menemukan dua butir telur. Jadilah ia hanya membuat telur dadar untuk santapan pagi. Pasalnya, perut yang belum ia perhatikan dari siang kemarin meronta-ronta meminta untuk diisi.

Jika saja ia tak selapar ini, biasanya Zara akan mencari bubur ayam di luar. Karena bubur ayam adalah makanan favoritnya ketika sarapan, apalagi kalau bubur itu ditaburi dengan sambal dan kecap lalu diaduk dengan rata beserta kerupuknya.

Meskipun terkadang seleranya itu dihujat oleh Anindira—karena katanya tidak sesuai dengan kaidah perbuburan, ia tetap menyukainya dan ketika Anindira sudah mengomel serta bergidik melihatnya makan, maka ia akan berdalih "Nin, sekelas Nicholas Saputra sama Dian Sastro aja makan buburnya diaduk lho", Anindira pun seketika terdiam.

Saat ia sedang asyik menyantap telurnya dengan ponsel di tangan kiri, tiba-tiba saja ponsel itu berdering dengan kencang.

Baru saja Zara membicarakan tentangnya, Anindira langsung menelepon. Seperti ada ikatan batin di antara mereka.

"Halo, Assalammu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Zar, buka dong pintumu, aku di depan nih."

"Hah? Ngapain pagi-pagi banget ke sini?"

"Udah, bukain dulu. Aku bawa bubur ayam nih."

"Beneran?"

"Iyaaa ... Zara. Makanya bukain dulu."

"Iya, ini lagi jalan." Panggilan tadi langsung terputus, bertepatan dengan Zara yang telah membuka pintu kamarnya.

Anindira mengayunkan sekantong kresek bening yang ada di genggamannya. Mata Zara sontak berbinar, melihat isi di dalamnya.

"Enggak boong kan aku?"

"Widih, thank you, Nin," ujar Zara sembari mengambil kantong kresek dan mengeluarkan isinya di meja makan.

"Ini kamu udah bikin sarapan, Zar?"

Zara yang sibuk memindahkan bubur dari sterofoam ke mangkuknya, hanya mengangguk tanpa berniat untuk menjawab.

"Yaudah kalau gitu, buburnya buat aku aja ya. Kamu enggak usah."

Spontan Zara menatap Anindira yang sedang mengelilingi kamarnya. "Eh, mana bisa? Barang yang udah dikasih ke orang lain, pamali kalau diminta lagi. Gimana, sih?"

"Bercanda, Zar. Aku udah sarapan duluan sebelum ke sini," balas Anindira disertai kekehan kecil di belakangnya.

Anindira selalu saja takjub melihat kamar indekos sahabatnya ini. Rapi, bersih, dan nyaman untuk ditinggali. Padahal, sepanjang ia tahu dulu saat masih kuliah, Zara sangatlah malas merapikan semua barang di indekosnya dan sangat ceroboh.

Namun, lihatlah, dalam waktu tiga tahun, perempuan itu bisa mengubah kebiasaannya. Kamarnya saat ini seperti kamar-kamar yang ada pada Pinterest, banyak tanaman yang diletakkan di tiap sudut ruangan, perabot rumah tangga yang berwarna putih gading ditata sedemikian rupa, dan tak lupa aksesoris-aksesoris lainnya yang berfungsi memperindah ruangan. Terlihat simpel memang, tetapi karena penyusunannya yang apik, ruangan itu menjadi terlihat elegan.

"Tumben banget, pagi-pagi udah ke sini, Nin."

"Aku mau ngecek temenku satu ini, dia baik-baik aja atau enggak."

Afektasi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang