Episode 13

3.7K 307 9
                                        

Selamat Membaca!
--------------------------

[Lima tahun lalu]

Sudah masuk tahun kedua, ia memendam rasa pada teman lelakinya. Perasaan yang dimiliki Zara pada Abian pun semakin dalam seiring bertambahnya waktu. Padahal biasanya jika ia memiliki rasa lebih dari teman hanya akan bertahan kurang lebih enam bulan dan setelah itu perasaannya akan memudar.

Namun, itu semua berbeda ketika dengan Abian, Zara merasa nyaman. Nyaman untuk berbagi cerita, nyaman untuk teman jalan, dan lainnya. Ditambah Abian sering kali menaruh perhatian pada dirinya, dimulai dari hal-hal kecil yang mungkin bagi orang lain tak penting ataupun hal besar seperti masalah kesehatan.

Seperti ketika Zara dan Abian pulang dari tempat perusahaan Bus, untuk survei bis yang akan digunakan saat UKM mereka pergi kunjungan ke Yogyakarta. Abian menghentikan laju motornya di depan minimarket dan masuk ke dalam untuk membeli minum. Zara menunggu di depan karena ia tak memiliki keinginan untuk membeli apapun. Lalu, Abian keluar dan memberikan sebotol minuman bulir jeruk padanya. Padahal Zara tidak meminta.

Atau hal lain, seperti Abian menjumpai Zara di pelataran parkir beberapa waktu lalu, perempuan itu terlihat lesu. Belum sempat Abian sapa, Zara sudah berbelok menuju ruang kelas. Hal yang tak diduga. Sesampainya Zara di indekos, ia dikejutkan oleh kehadiran Abian yang membawa plastik kresek berlogo apotek dekat kampus.

Setelah memberikan sekantong plastik yang ternyata berisikan obat pusing kepala dan maag, Abian hanya tersenyum dan berlalu pergi. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun pada Zara. Perempuan tersebut hanya memandang dengan kebingungan di depan pagar indekos.

Seingat Zara, ia tidak memberi tahu pada teman sekelas dan Abian mengenai sakitnya tadi pagi. Lantas, mengapa laki-laki itu tahu? Mau dikatakan cenayang pun tidak mungkin.

Abian memang bukan tipe lelaki yang banyak omong tapi kosong dalam bertindak dan hal itu lah yang membuat Zara sadar jika ia tidak lagi menganggap Abian hanya sebagai temannya tetapi lebih dari itu.

Ia pun tahu jika perbuatannya ini mungkin nanti dapat membuat sakit hati. Ia tahu resiko yang akan dihadapi. Sebab, semua perbuatan itu memang selalu ada konsekuensinya bukan?

Siang setelah rapat kepengurusan, Zara mengunjungi indekos Anindira. Raganya memang ada di ruang sekre, tetapi jiwanya melayang membayangkan malam nanti. Sepanjang rapat ia memikirkan apakah keputusannya akan membuahkan hasil yang menyenangkan atau justru sebaliknya.

"Ada mi enggak, Nin?" tanya Zara begitu tiba di depan kamar Anindira.

Anindira melepas sepatu dan membuka kunci kamar kosnya. "Ada. Mau makan siang masak mi aja?"

"Iya, sambil aku mau tanya pendapatmu ya, Nin."

Mereka berdua meletakan tas di lantai kamar, mencuci tangan, dan mengambil stok mi yang tersimpan rapi di lemari Anindira. Kemudian, berlalu menuju dapur yang berada di ujung lorong lantai dua.

Sembari menunggu mi matang, Anindira menuang bumbu ke piring masing-masing. Aroma bumbu bubuk menyeruak, memenuhi dapur.

"Nin ...," panggil Zara.

Anindira mengaduk mi supaya matang merata tanpa menengokkan kepalanya ke Zara. "Apa?"

"Enggak jadi deh, nanti aja habis makan ceritanya."

"Mau cerita soal Abian?"

"Iya."

Anindira tertawa pelan seraya mengaduk mi dan bumbu, lalu memberikan piringnya pada Zara. "Ya udah makan dulu aja, buat amunisimu cerita nanti."

Afektasi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang