You are the best thing i never planned, Elano. My happiness till i die. Thankyou for being my husband.
-Ny, Stanley.🌳🌳🌳
Indonesia, tiga tahun kemudian.
Jari Arganta mengetuk-ngetuk meja. Kemarin adalah ulang tahun perusahaan Elano yang ke-5. Jelas bukan saat yang tepat untuk menyampaikan sebuah rahasia besar yang disembunyikan oleh Ava maupun Arganta sendiri. Begitu perayaan itu selesai, tidak ada alasan lagi untuk berpura-pura tidak ada yang terjadi. Cepat atau lambat, keluarganya harus diberi tahu. Sudah beberapa menit ini ia menimbang-nimbang segalanya.
"Ayolah, Va. Lo jujur sama Elano tentang kondisi lo sekarang." Saran Arganta lantang. Arganta baru saja mengantarkan sahabatnya itu untuk kemoterapi mingguan lalu Ava memintanya untuk pergi ke cafe di Jakarta untuk mendiskusikan sesuatu hal.
Avalanna menggeleng keras, menyeka air matanya. "Gue belum siap, Gan. Gue lagi berusaha buat ngelupain penyakit yang ada di dalam tubuh gue ini. Gue masih mau nikmatin hidup sama Elano dan ketiga anak gue."
Arganta memijit pelipisnya. "Tapi mau sampai kapan, Ava? Lo udah nyembunyiin penyakit ini tiga tahun. Penyakit lo udah makin parah, penyakit ini udah menggerogoti tubuh lo secara perlahan."
Avalanna memang sangat cerdas menyembunyikan rasa sakitnya. Bahkan terhadap suami sendiri. Setelah dipaksa dan diberi nasihat oleh Arganta, sahabatnya. Barulah malam itu, ia memutuskan untuk berterus terang kepada Elano.
Ketika mereka berdua di balkon, Elano membelai kepala istrinya lembut. Dua tahun terakhir ini, Elano merasa ada yang tidak beres dengan istrinya. Mulai dari Ava yang cenderung pucat, pandangan nya kabur, sering pingsan serta pusing bahkan rambutnya selalu rontok tanpa sebab. Elano mencoba mengabaikan nya, ia semaksimal mungkin menikmati malam tenang bersama wanita cantik yang telah menempati relung hatinya sejak pertama kali ia melihatnya di dalam perpustakaan sewaktu sekolah menengah pertama dulu.
"Selama kita menikah lima belas tahun ini, aku rasa, aku tidak bisa menemani mu lagi di tahun-tahun yang akan datang." Gumam-nya pelan.
"Kamu bicara apa sih, Ve? Kok jadi gak jelas?" Elano terlonjak dan menatap istrinya heran.
Mata Ava mulai berkaca-kaca, ia mencium pipi kanan suaminya. "Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi, sayang."
Elano tertawa renyah. "Ini topik paling absurd yang pernah kita bicarakan, Aveega." Ia terus berkomentar, jantungnya ingin copot.
Ava tersenyum, "Ini juga topik paling menyakitkan untuk kita. Menyakitkan karena kita harus dipisahkan oleh semesta secepat ini."
Kening Elano makin berkerut, ia sama sekali tidak paham apa yang telah dibicarakan oleh istrinya ini. Ava selalu penuh dengan teka-teki jika sudah berbicara seperti ini.
"Elano, ketika nanti semuanya terjadi dan aku sudah tidak ada disampingmu lagi, percayalah, aku akan selalu hidup di hati kamu selamanya. Dan jika kamu nanti kesepian, kamu boleh mencari yang lain, berlabuh ke hati yang lain. Tolong jangan pernah menyalahkan takdir dan dirimu sendiri saat aku sudah pergi."
"Aveega?" nada suara Elano melunak. Ia mulai merasa tidak enak. Lelaki itu menjatuhkan bulir air matanya, menatap Ava yang terlihat terenyuh. Tuhan, apa yang terjadi pada istrinya ini?
"Jangan bicara yang tidak benar, Ve. You're my everything. Kamu tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Kamu ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi, sayang. Kamu tetap istriku. That's more than enough."
Ava tak tahan lagi membendung segalanya, ia keluarkan segala kegundahan dalam dirinya. Kepalanya sangat sakit, tubuhnya lemas tak berdaya.
"Aveega, stop talking please. Just tell me what's going on with your life? Aku bukan orang yang suka basa-basi, kamu tau itu, Ve. Jadi kumohon talk to me seriously, berbicaralah dengan baik!" bentak Elano tanpa sungkan-sungkan tapi masih terdengar lembut di telinga Ava.
Sejurus kemudian, Ava menghela napas, mengumpulkan segenap tenaga. Ini pasti menyesakkan suaminya secara mendalam, sama seperti ketika Elano menangis karena Daddy-nya meninggal dulu.
"Umurku tidak akan lama lagi. Cuma Ganta yang tau tentang ini," tiba-tiba Ava berkata dengan lirih.
Untuk beberapa saat, Elano menatap istrinya dengan perasaan membuncah. Bibirnya kaku. Seluruh aliran darah dalam tubuhnya mendadak terhenti. Bahkan, energi untuk bernapas sudah sulit. Berita ini memukul rata hidupnya. Ava suka bercanda, tapi kali ini ia terlihat begitu serius dan yakin.
"Dokter memvonis kalo umurku maksimal seminggu lagi. Aku sudah tau penyakit ini selama tiga tahun yang lalu. Kanker otak stadium akhir. Aku sudah di operasi dua kali, yang ada malah semakin parah. Kini, aku tengah berjuang berpacu melawan hari, El."
"Ini adalah alasan, kenapa aku memaksamu untuk kembali ke Indonesia, karena aku mau menghabiskan waktu aku sama keluarga besar kita. Aku hanya ingin melihat tawa dan senyum mereka untuk yang terakhir kalinya,"
Elano tercekat, napasnya mulai sesak. Air mata turun dari sudut kiri matanya, deras, tak henti-henti. "Aku suami yang bodoh, Aveega. Aku gagal merawatmu dengan baik."
"Kan sudah kubilang, jangan pernah salahkan dirimu atas apa yang terjadi padaku. Ini semua jalannya Tuhan, kita hadapi sama-sama. Aku tidak mau mengatakan nya karena aku masih mau bertahan hidup dengan kamu dan anak-anak tanpa harus memikirkan kanker ini. Aku tidak mau kalian sedih,"
Elano menarik istrinya kedalam pelukan nya, mencium dahi Ava lalu mengecup bibirnya sekilas. "Kenapa harus kamu yang menerima penderitaan penyakit itu, Ve? Kenapa?" desah Elano di antara sedu sedannya.
"Don't be sad. We have God. Kita nikmati saja hari-hari terakhirku dengan bahagia bersama anak-anak. Berjanjilah padaku, kalo aku sudah pergi, kamu harus move on. Belajar mencintai seseorang yang lebih baik. Aku yakin, hidupmu akan jauh lebih sempurna dibandingkan bersamaku. Maka dari itu, Tuhan mau aku cepat ikut bersamanya. Itu semua Ia lakukan karena Ia mengerti, ada sesuatu hal yang tidak dapat kamu temukan padaku tapi bisa dengan mudah kamu temukan di diri wanita lain. Tuhan mau kamu bahagia, sama seperti kamu membahagiakan aku."
Napas Elano menderu penuh amarah. "Tidak, Aveega. Aku sangat mencintaimu. Aku berjuang mati-matian, menelusuri dunia ini sendirian, menantang segala hal buruk, bertahan di tengah badai hanya untukmu. Tuhan lebih tahu seberapa dalam perasaan ini sama kamu. Aku menemukan apa yang aku mau dalam diri kamu. Semuanya, Aveega. Aku yakin, Tuhan sedang menguji kita. Aku percaya kamu akan sembuh. Bertahanlah, kumohon."
"Aku selalu mencoba bertahan, Elano. Tapi jika Tuhan sudah memanggilku, aku akan tetap mengikutinya."
"K.. kamu tidak boleh pergi, Aveega. Aku... Aku sangat mencintaimu." Isak lelaki itu terbata-bata. Betapa pedihnya sayatan tajam di hatinya saat ini. Mengapa bukan dia saja yang mengalami ini semua? Kenapa harus dibebankan oleh istri cantiknya ini? Kenapa, Tuhan?
Elano semakin erat memeluk Ava, tak ada celah sedikitpun. Ava membenamkan wajahnya di dada suaminya. Elano dengan lembut mengelus kepala istrinya.
Kakinya sudah tidak tahan, suhu tubuhnya menjadi dingin, bibirnya pucat juga kepalanya seperti ditikam mati.
"AVEEGA?!!"
Avalanna pingsan setelahnya.
🌫️🌫️🌫️
tahan, jangan nangis.
how you feel bout this chapter?
KAMU SEDANG MEMBACA
ELANOAVA [COMPLETED]
Teen FictionLayaknya mimpi dalam cerita. Saat kau hadir mengubah segala rencana. Layaknya mimpi dalam kenyataan. Seolah menghentikan jalan alur dunia. Menenangkan segala gundah gulana. Layaknya mimpi dalam laksana takdir. Tetap merindu walau sempat tersakiti...