"Permisi, Non... Ada tamu yang ingin bertemu dengan Non diluar."
Ava tersadar dari bayang-bayang kejadian menyakitkan kemarin. Sepertinya, titik alokasi pikiran nya telah hancur. Seolah segala pajangan dinding yang ia susun sekarang jadi benar-benar hancur berantakan.
"Suruh pulang aja, Bi. Saya lagi males ketemu sama orang," Ava yang sedang berbaring di sofa ruang tamunya hanya mendesah pelan.
"Tapi, Non. Katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan." Sahut asisten barunya.
Tanpa menjawab sepatah kata, gadis itu langsung menegapkan badannya lalu melangkah pelan menuju pintu utama rumahnya.
"Ava...," panggil seseorang ketika gadis itu sudah berada di hadapan nya. Ia bersyukur Ava masih mau menemuinya disini.
"Va, aku mau---" Lagi-lagi belum sempat Elano mengutarakan niatnya untuk berbincang dengan Ava, gadis itu ingin menjauh dari sana. Untung saja Elano sigap menarik lengan Ava pelan.
"Apa lagi? Kurang puas bohongin gue?" Nadanya merendah. Matanya memanas tiap kali memandang lekaki yang dihadapan nya sekarang.
Elano menatapnya lembut. "She's not my fiance. Kamu salah paham soal kemarin. Tolong kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya, jangan ngejauh dari aku kayak gini, Va..."
Air matanya mulai menetes ke pipinya yang halus. Ava menangis di hadapan nya. Hati Elano seperti digores pisau tajam lalu ditaburi dengan garam. Benar-benar sangat pedih rasanya melihat gadis yang begitu ia cintai, menangis.
"Kalo Regina bukan tunangan lo? Terus ini apa, hah?" katanya sekaligus memaparkan ponselnya dihadapan Elano. Disana ada gambar Elano dan Regina yang sedang bergandengan tangan dibalut dengan dress dan kemeja putih.
Shit! Ini semua pasti ulah Regina yang dengan sengaja mengirimkan foto itu pada gadisnya.
Elano bungkam. Andai saja Ava tahu, bahwa pemotretan tersebut dilakukan dengan berat hati. Rasa kebahagiaan tak terlihat dari foto tersebut, yang ada hanya beban dan ketidakikhlasan.
"See? Setelah liat foto ini lo ga bakalan bisa ngelak dari gue lagi kan? Lo gak bisa bilang ke gue kalo ini cuma salah paham, kan?" lanjutnya.
"Va...," panggilnya lemah. Hatinya benar-benar tersiksa.Air matanya semakin deras, tubuhnya lunglai. "Padahal gue udah percaya banget sama lo, El. Gue percaya karena gue yakin lo gak bakalan pernah bohongin gue, gak bakalan pernah nyakitin hati gue. Asal lo tau, satu-satunya orang yang bisa gue percaya sekarang itu cuma lo! Tapi apa? Lo udah ngerusak kepercayaan gue, lo cuma bisa ngehancurin apa yang selama ini gue banggakan dari lo, El!"
Ia menarik napasnya pelan. "Gue mau kita putus. So, please pergi jauh dari hidup gue mulai sekarang. Kasih gue waktu buat tenangin diri."
Elano tengah menahan genangan air di pelupuk matanya. Ava memutuskan hubungan lalu memintanya untuk pergi? Apakah ini jalan satu-satunya agar gadis itu bisa tenang dan bahagia? Elano melihat Ava dengan tatapan yang sendu. Ia tertunduk dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Sekuat-kuatnya Elano, ia adalah jiwa yang runtuh di hadapan Ava. Dengan sisa tenaganya, Ava langsung melangkah masuk kedalam rumahnya meninggalkan sosok yang tengah tertekan batinnya.
Ia mengangguk lesu. "Aku pergi, Va. Sesuai permintaan kamu. I love you more than you know. I hope you'll always happy."
Selang dua puluh menit, Elano tiba di rumah megahnya. Mendekat kearah keluarganya yang tengah berkumpul disana seraya berkata, "Aku ikut berangkat ke German."
🍂🍂🍂
Ava menoleh jam yang melingkar di tangan kirinya. Jam 10 malam. Ia menyandarkan punggungnya di kursi bar. Matanya menerawang beberapa orang yang menari di dance floor. Pikirannya kosong dan terasa sempit. Sejurus kemudian, ia langsung menenguk sebotol vodka yang di pesannya tadi lalu meraih kunci mobilnya.
"Gue pulang duluan." Pamitnya kepada beberapa orang yang menemaninya di club malam ini.
"Lo banyak banget minum vodka tadi. Hati-hati di jalan! Awas sempoyongan lo!"
"Ck, bawel lo!" tutur Ava sebelum sampai ke dalam mobilnya.
Ia tak lantas menjalankan mobilnya. Lama ia bersandar menenangkan diri. Sesekali ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Menghapus bayang-bayang kenangan manis dari benaknya. Perlahan, Ava menginjak pedal gas mobilnya dan meluncur meninggalkan halaman club yang ramai.
Jalanan malam itu cukup lenggang. Kebiasaan gadis itu muncul. Saat pikirannya tengah kalut dipenuhi banyak pikiran, Ava akan melampiaskannya dengan mengebut di jalan. Tanpa pikir panjang, dengan keadaan yang memungkinkan, Ava memacu mobilnya lebih cepat lagi, semakin cepat dan kian cepat. Melebihi seharusnya.
Sialnya, mobil Ava sudah dibuat tak beres oleh anak buah Regina. Seketika dari arah berlawanan juga meluncur sebuah minibus dengan kecepatan tinggi. Ava menginjak rem mobilnya.
Blong!
Rencana Regina lancar selancar-lancarnya.Sekali lagi gadis itu menginjak remnya, hasilnya tetap sama. Blong. Ava membanting setirnya ke kiri. Naas, mobilnya tak dapat menghindari jurang sedalam empat meter. Mobil yang di kendarainya rusak parah. Darah kental mengalir dari kepala dan hidungnya. Tubuhnya lunglai tak berdaya. Napasnya begitu sesak.
Dari sekian banyak luka yang menghampirinya,
Bisakah ia bertahan untuk tetap ada?Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
ELANOAVA [COMPLETED]
Novela JuvenilLayaknya mimpi dalam cerita. Saat kau hadir mengubah segala rencana. Layaknya mimpi dalam kenyataan. Seolah menghentikan jalan alur dunia. Menenangkan segala gundah gulana. Layaknya mimpi dalam laksana takdir. Tetap merindu walau sempat tersakiti...